Sabtu, 14 Agustus 2010

Tajdid Pemikiran

TAJDID PEMIKIRAN
DAN WACANA MEMBANGUN “THE GREATER TRADITION”
Dalam Persyarikatan Muhammadiyah

Oleh Fauzan Saleh*)

Hari-hari ini kita menyaksikan saudara kita, kalangan nahdliyin, sedang “ribut” menggelar gawe besar, muktamar NU ke-31, di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Sejak dua dekade yang lalu, dalam setiap muktamar seperti ini, mereka disibukkan oleh persoalan keharusan menjaga konsistensi khitah 1926 sebagai landasan gerak jam’iyah ini. Pada dasarnya wacana yang berkembang menghendaki agar NU tidak kehilangan jati dirinya sebagai jam’iyah diniyah dengan mengembalikan karakter organisasi kepada khittah yang disakralkan ini. Kontroversi selalu muncul dan orang dibuat tersedot perhatiannya untuk membicarakan soal yang satu ini, khususnya ketika kelompok elit mereka selalu tergoda untuk membawa organisasi ini ke kancah politik, atau cenderung untuk menjadikannya sebagai kendaraan politik.
Saya tidak berpretensi ingin membandingkan “keributan” NU dalam membahas khittah dengan kalangan Muhammadiyah, yang sedang punya gawe besar juga, dalam mengupas soal tajdid. Namun atensi publik dari konstituen kedua organisasi ini tampak tidak jauh berbeda terhadap kedua isu tersebut, khittah 1926 dan tajdid. Tajdid, seolah-olah telah menjadi trade mark dan karakter dasar pergerakan Muhammadiyah sejak awal kelahiran persyarikatan ini. Oleh karena itu, sampai kapan pun tajdid tidak bisa lepas dari Muhammadiyah, sehingga sekarang orang masih terus mencari-cari relevansi tajdid dalam konteks bermuhammadiyah di awal millenium ketiga ini. Mungkin ada semacam kekhawatiran jika tajdid tidak direvitalisasi, Muhammadiyah akan kehilangan jati dirinya.
Suatu kajian yang cukup komprehensif mengenai tajdid saya dapatkan dalam bukunya Dr. Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (2004), khususnya pada. Bab I. Tajdid dalam hal ini memiliki makna “pembaharuan” atau “reformasi” yang erat kaitannya dengan makna revivalisme, purifikasi, dan sekaligus modernisasi, sesuai dengan konteks zaman dan budaya yang memunculkannya. Tajdid dalam Islam memiliki landasan teologis yang cukup valid, seperti diyakini bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya seorang pembaharu bagi agama ini pada setiap seratus tahun. Di samping itu tajdid sangat dibutuhkan dalam rangka merevitalisasi kehidupan keagamaan dan menyegarkan semangat umat, setelah berbagai faktor sosial-politik dan ekonomi mengakibatkan kejenuhan dan melemahkan gairah keagamaan yang ditimbulkan oleh berbagai penyimpangan. Perlu ditambahkan bahwa Islam, sebagaimana diklaim juga oleh Yahudi dan Kristen, adalah agama yang sangat peduli terhadap kemurnian doktrinnya. Upaya mempertahankan kemurnian doktrin ini menjadi sangat menonjol dan telah memunculkan banyak tokoh yang dikenal sebagai heresiographers, semisal al-Asy’ari, al-Ghazali, al-Baghdadi, al-Syahrastani dan lain-lain. Mereka telah menuliskan karya-karya yang sangat berpengaruh dalam menunjukkan kepada umat Islam doktrin agama yang “standar” dan baku, terlepas dari berbagai bentuk penyimpangan.
Dalam bahasa agama, para tokoh ini telah mengupayakan berlangsungnya proses “ortodoksifikasi” dalam Islam, seperti diistilahkan oleh Fazlur Rahman. Ortodoksi sendiri merupakan suatu istilah yang sangat umum dalam semua agama, dan dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan antara ajaran yang benar dan yang salah, yang murni dan yang sudah menyimpang. Memang istilah ortodoksi itu sendiri tidak memiliki padanannya dalam bahasa Arab dan tidak memiliki tempat dalam Islam. Namun hampir tidak mungkin untuk mengatakan bahwa konsep itu tidak dikenal di kalangan umat Islam. Dengan merujuk kepada pengertian umum tentang ortodoksi sebagai keyakinan yang benar dan murni sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi—tidak dicampuri oleh unsur-unsur asing yang berasal dari luar Islam—maka dapat dimengerti jika umat Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap konsep ini. Dalam hal ini Muhammadiyah, melalui gerakan tajdidnya, jelas sangat peduli terhadap upaya-upaya menjaga kemurnian doktrin dan praksis keagamaan dengan mengeliminir semua bentuk penyimpangan yang diistilahkan dengan takhayyul, bid’ah, dan khurafat. Inilah fakta yang amat fenomenal dari persyarikatan ini sejak awal berdirinya, tahun 1912.
Seperti telah banyak dibahas oleh para pengamat, di dalam mengembangkan misi tajdidnya, Muhammadiyah sejak awal berusaha memudahkan pemahaman keagamaan bagi konstituennya. Islam yang murni adalah agama yang cukup sederhana, simpel, rasional dan tidak dibebani oleh tradisi-tradisi yang menjadikan agama ini sangat absurd. Karena itulah Muhammadiyah mempelopori adanya khutbah berbahasa Indonesia (atau Jawa), penerangan agama untuk publik (baca: pengajian umum), dan menerjemahkan teks-teks suci keagamaan ke dalam bahasa lokal. Sekali lagi ini dimaksudkan agar umat Islam lebih mudah memahami hakekat doktrin agamanya. Ini merupakan terobosan yang, untuk konteks waktu itu, tergolong radikal. Masih sangat kuat anggapan sebagian besar umat Islam di Indonesia bahwa khutbah Jum’at, sebagai suatu ritual yang sakral, hanya boleh disampaikan dalam bahasa Arab, meskipun isinya tidak bisa difahami oleh jama’ah yang hadir. Karena itulah pemahaman keagamaan menjadi sangat lambat, untuk tidak mengatakan mandeg. Bahkan pengajaran agama di pesantren hampir seluruhnya disampaikan dengan menggunakan teks-teks berbahasa Arab yang berasal dari tulisan para ulama’ abad tengah yang konteks sosial-budayanya sudah terlalu jauh dari pengalaman sehari-hari masyarakat kita. Merubah metode pengajaran seperti itu dianggap haram dan menyimpang, dan oleh karena itu ditentang habis-habisan. Sebagian besar pemuka agama di tanah air ketika itu memandang inovasi-inovasi kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai sesuatu yang tidak benar dan, akibatnya, menimbulkan banyak ketegangan antara kedua belah pihak.
Dengan memberikan pemahaman yang mudah dan sederhana seperti itulah sebenarnya persyarikatan Muhammadiyah mengajak umat Islam di Indonesia untuk dapat menjalankan agamanya dengan benar, sesuai dengan semangat dan dinamika asli yang diajarkan oleh agama itu. Para pemuka Muhammadiyah awal, terinspirasi oleh gerakan-gerakan pembaharuan yang sudah bermunculan sejak abad kesembilanbelas di berbagai belahan dunia, merasa sangat prihatin terhadap keterpurukan umat Islam di negeri ini. Mereka kemudian melakukan berbagai ijtihad untuk mengatasi keterpurukan itu dengan berusaha menggali kembali semangat dasar yang diajarkan oleh agama ini. Mereka yakin bahwa Islam tidak menghendaki umatnya menjadi tertindas dan terpuruk, jatuh di bawah hegemoni bangsa Barat yang kafir. Mereka juga percaya bahwa jika ajaran Islam difahami secara benar maka umat Islam akan tampil sebagai bangsa yang maju. Islam tidak harus identik dengan ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan. Selain itu, mereka percaya bahwa hanya dengan keyakinan yang benar dan murni mereka akan mampu merasionalisasikan ajaran-ajaran pokok agama mereka dan dapat beradaptasi dengan kehidupan modern yang semakin maju.
Mulai saat itu muncullah jargon-jargon penuh semangat membangkitkan kesadaran umat Islam, agar mereka mau berusaha untuk keluar dari keterpurukan dan keterbelakangan. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari berbagai battle cry yang diambil dari al-Qur’an, seperti “Allah tidak akan merubah kondisi atau nasib suatu bangsa, jika bangsa itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubah dirinya” (Q.S. 13:11), “Berlomba-lobalah dalam kebaikan” (Q.S. 2:148, 5:48), “Kamu adalah sebaik-baik umat” (3:110), “Nun, demi qalam dan apa yang mereka tuliskan” (68:1), dan lain-lain. Ayat-ayat ini telah menjadi jargon penggugah semangat yang sangat efektif untuk melakukan tajdid, menyegarkan jiwa, dan meningkatkan kesadaran keagamaan umat. Jargon-jargon ini pula yang kemudian menjadi tema utama dari wacana pembaharuan yang dilancarkan oleh para kader persyarikatan, dan akhirnya menjadi karakteristik yang membedakan gerakan ini dari gerakan keagamaan lain yang bermuculan setelah kelahiran Muhammadiyah. Demikianlah, seperti diakui sendiri oleh kalangan tradisionalis, jika Muhammadiyah banyak mengusung tema-tema perubahan dan semangat pembaharuan—dengan mengacu pada ayat-ayat di atas—kelompok tradisionalis, sebaliknya, lebih suka mengangkat tema-tema keakhiratan, tawakal, dan submisifme dalam beragama untuk materi khutbah atau ceramah keagamaan mereka.
Secara teologis, perkembangan wacana tajdid oleh persyarikatan Muhammadiyah sejak awal berdirinya dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut.
1. Dimulai dari penjabaran dasar-dasar keimanan berbahasa Arab disertai penjelasannya dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan dalil-dalil tekstualnya seperti tertuang dalam “Kitab al-Iman” dari Himpunan Putusan Tarjih (mula-mula dirumuskan tahun 1929). Meskipun kelihatan sederhana, penjabaran ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran umat tentang keyakinan yang harus mereka ikuti, sehingga mereka akan meluruskan jalan hidup mereka sesuai dengan doktrin agama yang benar dan membebaskan diri mereka dari berbagai keyakinan palsu yang berasal dari tradisi lokal, yang bertentangan dengan doktrin Islam.
2. Pada tahapan berikutnya tampil K.H. Mas Mansoer (w. 1949) dengan rumusan purifikasi yang tegas. Mansoer menekankan bahwa untuk memperkokoh aqidah umat Islam mereka harus menjauhkan diri dari unsur-unsur politeisme yang secara tidak sadar dijalankan oleh umat Islam. Padahal, unsur-unsur politeisme yang berasal dari tradisi lokal itu telah menyebabkan kelemahan dan keterbelakangan umat Islam selama ini. Dalam risalahnya yang cukup sederhana, Risalah Tauhid dan Sjirik, dia mengkritisi kebiasaan meminta-minta kepada arwah orang yang sudah meninggal untuk keperluan duniawi, seperti mengobati penyakit, mendapatkan jodoh, mencari kekayaan, dan lain-lain. Praktik seperti itu, menurut Mansoer, jelas-jelas perbuatan syirik, sebab orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada pihak lain selain Tuhan. Dengan kata lain orang tersebut telah mempercayai adanya kekuatan lain di luar Tuhan yang mampu memenuhi permohonannya. Perbuatan seperti itu, menurut Mas Mansoer, jelas-jelas yirik. Di luar Muhammadiyah upaya purifikasi serupa juga dilakukan oleh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam melalui tulisan dan karya-karyanya, khususnya penentangannya terhadap konsep tawassul yang sudah terlalu banyak disalahartikan oleh umat Islam di Indonesia sehingga menjurus ke arah kemusyrikan. Tawassul memang masih mendapatkan legitimasi dalam agama, sejauh hal itu dilakukan dengan benar, yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan mentaati seluruh perintah-Nya. Hassan ingin menegaskan bahwa manusia harus membangun hubungan secara langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara, seperti melalui roh orang-orang yang sudah meninggal. Kedua tokoh ini, Mansoer dan Hassan, dapat dipandang sebagai representasi dari era penegasan dasar-dasar akidah, dengan memurnikan keyakinan dari elemen-elemen politeisme yang banyak menjangkiti perilaku keagamaan umat Islam saat itu.
3. Pada era berikutnya, Hamka (1908 – 1981), tampil sebagai sosok yang mampu membuka terobosan baru dalam mengembangkan wacana tajdid di persyarikatan ini. Dia dapat dipandang sebagai representasi dari era rekonstruksi pemahaman umat Islam tentang agamanya. Wacana yang dikembangkan Hamka bukan lagi masalah adat yang bertentangan dengan kebenaran wahyu, tetapi sudah menyangkut kemampuan akal manusia untuk memahami kebenaran. Dia menekankan perlunya umat Islam memiliki pemahaman yang benar tentang doktrin agama mereka bagi kemajuan kehidupan duniawi mereka. Dalam uraiannya tentang qadla’ dan qadar, misalnya, Hamka menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan masalah taqdir adalah dimaksudkan untuk membangkitkan semangat umat Islam dan sekaligus menyatukan mereka dalam satu tujuan yang sama untuk mencapai kemajuan. Hamka, dengan demikian, telah mempelopori suatu pandangan teologis yang cukup radikal dengan mengadopsi suatu penafsiran yang rasional tentang keyakinan pada qadla’ dan qadar ini. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa pengaruh negatif dari doktrin fatalisme dan hilangnya jiwa kebebasan kehendak (free will) telah mengakibatkan umat Islam di Indonesia jatuh ke dalam keterbelakangan dan keterpurukan. Oleh karena itu, ayat-ayat fatalistik yang terdapat di dalam al-Qur’an seharusnya tidak dimaknai untuk memberikan lisensi pada umat Islam untuk bersikap submissive, serba pasrah, atau berjiwa kekanak-kanakan dengan mengandalkan akan memperoleh perlindungan dari Allah. Mereka dituntut untuk berusaha, melakukan ikhtiyar, guna mendapatkan kesejahteraan duniawi mereka. Penegasan Hamka ini tidak lepas dari pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an yang telah disinggung di muka, bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubah nasib mereka. Dalam mengutarakan pemikirannya seperti tersebut di atas, Hamka memang tidak sendirian. Selain Hamka, layak disebut beberapa tokoh lain di lingkungan Muhammadiyah, seperti H.A. Malik Ahmad dan Abd Rahim Nur, sekedar untuk menyebut beberapa contoh. Mereka ini juga memiliki persepsi tidak jauh berbeda dengan Hamka dalam memaknai qadla’ dan qadar, dan mengusung semangat yang sama dalam menekankan pentingnya merombak pola fikir umat agar tidak terjebak dalam stigma fatalisme dalam menyikapi kehidupan. Namun konsepsi Hamka yang tersebar luas melalui karya monementalnya, Tafsir al-Azhar, layak merepresentasikan semangat zamannya. Di samping itu, wacana yang ditawarkan oleh Hamka ini pada hakekatnya merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara perkembangan pemikiran teologis sebelumnya (baca: Kitab al-Iman Himpunan Putusan Tarjih, Mas Mansoer, Hassan), dengan perkembangan pemikiran yang terjadi sesudanya di tangan para sarjana yang kebanyakan adalah produk pendidikan tinggi di Barat dan memiliki komitmen untuk tetap berkhidmah di persyarikatan.
4. Pada tahapan keempat ini tampil tokoh-tokoh yang telah mampu memadukan pemikiran teologis mereka dengan perkembangan ilmu-ilmu modern, yang memberikan spektrum lebih luas terhadap pemahaman doktrin Islam dalam konteks kekinian. Banyak tokoh yang layak disebutkan di sini, seperti M. Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Muslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah, dan Abdul Munir Mulkhan. Mereka telah menelorkan berbagai produk pemikiran dalam karya-karya yang cukup signifikan dan memiliki pengaruh luas bagi perkembangan wacana teologis di lingkungan persyarikatan dan di luarnya. Di sini tidak perlu dirinci lebih jauh tentang ide-ide dasar yang telah mereka tawarkan dan telah memperkaya khazanah pemikiran umat secara lebih luas. Sekedar menyebut sebuah contoh, tawaran M. Amien Rais tentang Tauhid Sosial dan Membangun Politik Adiluhung, kiranya perlu diperhitungkan lebih cermat untuk memaknai wacana tajdid pemikiran kali ini. Perlu ditekankan pula di sini bahwa seluruh rangkaian wacana teologis mulai dari penjabaran arkan al-iman dalam “Kitab al-Iman” hingga “Tauhid Sosial” ini merupakan suatu continuum yang tak terpisahkan. Semuanya merupakan suatu rangkaian yang menunjukkan adanya perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan tahapan sebelumnya merupakan landasan yang harus diciptakan untuk memberikan akses bagi perkembangan berikutnya.
Demikianlah, jika dewasa ini kita melihat kegelisahan anak-anak muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), maka kegelisahan semacam itu adalah suatu hal yang positif dalam rangka mengaktualisasikan diri di tengah kekayaan wacana yang telah berkembang begitu pesat, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di luar itu. Mereka bukan saja merasa tertantang oleh superioritas wacana yang ditampilkan oleh para senior mereka, tetapi juga oleh dinamika dan progresifitas pemikiran yang cenderung liberal yang dimunculkan oleh saudara-saudara mereka di kalangan muda nahdliyin dan kelompok-kelompok lain. Demikian pula dengan munculnya berbagai tuntutan yang memerlukan responsi cepat seperti perlunya merealiasikan dakwah kultural yang hingga kini belum menemukan formatnya yang jelas. Mungkin kelompok inilah yang cukup berhasil mengekspresikan kepekaan mereka terhadap pentingnya dakwah kultural ini. Mereka menyadari betul perlunya mengimplementasikan ajaran Islam dengan cara mengapresiasi realitas kultural secara konstruktif, rasional dan objektif, tanpa terjebak dalam sindroma menjauhi, memusuhi, atau bahkan menolaknya dengan alasan budaya seperti itu akan merusak kemurnian akidah.
Di sinilah persoalannya. Jargon purifikasi yang mendasari gerakan tajdid di kalangan Muhammadiyah selama ini ditengarai telah membawa nuansa keagamaan yang kering, rigid dan kurang imajinatif. Tidak jarang timbul kesan Muhammadiyah menjadi asing dengan budaya yang berkembang di masyarakat, sementara ia sendiri tidak bisa memberikan alternatif model budaya Islami mana yang paling sesuai untuk dikembangkan di tanah air. Persoalan yang mendasar ini kiranya sudah cukup terlambat untuk disadari oleh para pemuka persyarikatan, sebab baru pada awal abad ke-21 ini saja wacana tentang dakwah kultural dimunculkan secara eksplisit. Dibandingkan dengan kelompok tradisionalis, dalam menangani budaya lokal ini Muhammadiyah jelas kurang beruntung. Dari sudut pandang teologis Muhammadiyah sudah memposisikan diri pada sikap aloof atau mengambil jarak, sebagai konsekwensi logis dari seruannya untuk mengedepankan kemurnian doktrin Islam, meskipun untuk keperluan tersebut tidak identik dengan membuang jauh-jauh semua bentuk peradaban lokal dan menjadikan Islam di Indonesia persis betul dengan format budaya Islam Timur Tengah. Oleh karena itu harus diakui bahwa kalangan tradisionalis lebih diuntungkan sebab mereka tidak memiliki beban psikologis yang terlalu berat untuk akrab dengan kalangan grass root dan tradisi abangan, dengan corak budayanya yang bermacam-macam. Mereka mampu menawarkan atmosfir keagamaan yang lebih sejuk dan imajinatif, tidak kering dan rigid. Ini, antara lain, karena mereka cukup kental dengan tradisi Sufisme yang menjadi ciri keberagamaan mereka, meskipun dalam hal ini berbagai kritik cukup sering dilontarkan.
Membawakan Islam yang murni ke tanah air memang suatu kebutuhan dan, bagi Muhammadiyah, merupakan suatu tuntutan tajdid serta sudah menjadi keniscayaan sejarah yang tak bisa dihindari. Namun Islam yang murni saja tidak cukup. Ia harus dibawa turun pada realitas kongkrit yang dihadapi umat manusia yang akan menerima doktrin itu. Sangat tepat sekali ungkapan yang disampaikan Nurcholish Madjid, bahwa ada dua tugas utama bagi umat Islam Indonesia untuk dapat berperan secara konstruktif dalam membangun kehidupan sosial-budaya dan politik di negeri ini: Pertama adalah memahami doktrin agamanya secara benar, dan yang kedua memahami karakter budaya masyarakat di mana doktrin agama itu akan diterapkan. Tanpa itu, Islam akan tetap mengawang-awang, tidak membumi, dan tidak banyak memberi makna pada upaya peningkatan kualitan kehidupan umat manusia di negeri ini.
Dalam kurun waktu satu dekade ke depan, insya Allah Muhammadiyah akan genap berusia satu abad. Berbahagialah warga persyarikatan yang dapat menyaksikan peringatan satu abad Muhammadiyah, tahun 2012 yang akan datang. Sementara itu pergulatan pemikiran terus berlangsung dengan dinamika yang semakin tinggi. Masalah tajdid yang selalu menjiwai gerak langkah persyarikatan harus terus dilaksanakan secara konsisten. Untuk itulah tajdid dalam konteks pemikiran ini harus selalu mendapat perhatian dari para kader. Perlunya tajdid dalam bidang pemikiran ini ialah agar Muhammadiyah selalu dapat menawarkan konsep-konsep baru sesuai dengan dinamika yang dihadapi umat dalam realitas berbangsa dan berbudaya. Sesuai dengan karakter dasar dari persyarikatan ini maka tajdid pemikiran tersebut sebenarnya telah memiliki landasan yang cukup kokoh, khususnya jika dirujukkan pada pandangan teologis yang diadopsi oleh persyarikatan ini.
Sebagaimana halnya dengan kelompok-kelompok lain umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah secara teologis menganut faham Sunni dan mengikuti ajaran Ahl al-Haqq wa’l-Sunnah, seperti tertera dalam buku Himpunan Putusan Tarjih. Arah pembaharuan yang dijalankan oleh persyarikatan ini, dengan mengacu pada prinsip di atas, adalah bagaimana membangun konsistensi dalam menjalankan doktrin agama, tanpa mengabaikan faktor sosial-budaya masyarakat penerima doktrin itu. Kalau di atas diuraikan kecenderungan kaum tradisionalis yang sangat akomodatif terhadap budaya lokal—dan dengan begitu mereka lebih diuntungkan—maka sebenarnya Muhammadiyah tidak terlalu “dirugikan” dengan konsistensi teologis cum-tajdid yang dibangunnya. Dapat dibayangkan akan menjadi seperti apa Islam yang berkembang di Indonesia seandainya Muhammadiyah tidak pernah lahir di negeri ini. Mungkin tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di beberapa wilayah di Amerika Tengah, di mana Islam tinggal simbol-simbol seremonial dan tradisi keagamaan populer yang sudah tercerabut dari akar doktrinnya. Hal itu terjadi akibat proses Islamisasi yang tidak pernah berjalan sempurna, karena terputus dari sumber ortodoksi Islam di Timur Tengah. Jika gerakan purifikasi tidak pernah dilancarkan oleh Muhammadiyah maka yang akan dominan di sini adalah Agami Islam Jawi—meminjam istilah Koentjaraningrat, atau Islam singkretis yang didominasi oleh spiritualisme Jawa, dan Islam selamanya akan menjadi lapisan tipis di atas tradisi Hindu-Buda dan Animisme yang sangat kokoh (a light veneer of symbols attached to a solid core of animistic and Hindu-Buddhist meaning). Jadi Muhammadiyah dengan gerakan tajdidnya telah berhasil mendekonstruksi tradisi keislaman yang selama berabad-abad didominasi oleh unsur-unsur asing yang berasal dari ajaran animisme dan Hindu-Budisme, untuk dikembalikan kepada semangat dan karakternya yang asli.
Di sisi lain, kehadiran Muhammadiyah telah berhasil merombak performance dan citra Islam di mata kelompok elit. Di mata penguasa, Islam pada awal abad keduapuluh tidak lebih dari sampah tradisi yang terus dibawa-bawa sepanjang sejarahnya sejak abad tengah. Citra Islam yang buruk seperti itulah yang dicekokkan penguasa Belanda kepada elit Jawa agar mereka semakin jauh dari Islam, dan lebih memihak kepada penguasa kolonial. K.H. Ahmad Dahlan melihat kondisi tersebut sebagai sebuah tantangan yang harus direspon dengan tepat. Oleh karena itu dia mengarahkan gerakannya untuk dapat merangkul kalangan elit, agar mereka tidak terlalu alergi terhadap Islam. Kyai Dahlan berusaha menampilkan Islam yang maju, rasional, progresif dan mencerahkan, dengan mengadopsi ide-ide pembaruan dari Timur Tengah serta bersikap akomodatif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan modern ala Barat. Ketika Islam ternyata dapat ditampilkan dalam format yang modern dan mampu beradaptasi dengan kemajuan seperti itulah maka sedikit demi sedikit kalangan priyayi mulai menunjukkan simpatinya pada Islam. Bahkan, dalam banyak kasus, Islam mampu mengukuhkan jati diri mereka sebagai pemimpin rakyat, dan akhirnya menjadi simbol perlawanan mereka terhadap penguasa kolonial itu.
Nurcholish Madjid, di hadapan K.H. A.R. Fakhruddin, di awal tahun 1980-an, pernah menyatakan indebtedness-nya pada Muhammadiyah. Dia menyatakan banyak belajar dari Muhammdiyah dalam menyikapi penguasa yang otoriter dan selalu berusaha memarjinalkan posisi umat Islam di tanah air. Selama berpuluh-puluh tahun umat Islam selalu disudutkan sebagai kelompok yang hanya beraspirasi untuk mendirikan negara Islam, dan itu berarti menjadi musuh negara. Dia berkesimpulan tidak ada salahnya untuk mengambil langkah mundur beberapa jengkal ke belakang, agar kelak dapat melompat lebih jauh ke depan. Prinsip itulah yang ia pegangi untuk menawarkan konsepnya tentang gerakan Islam kultural, terlepas dari fanatisme ideologis yang selalu dilekatkan oleh penguasa kepada para pemimpin umat sebelumnya. Dia mencoba menawarkan gerakan yang lebih akomodatif dan membuka kemungkinan untuk bisa bekerjasama dengan elemen bangsa yang lain, termasuk kalangan tehnokrat, birokrasi dan (waktu itu) ABRI. Dia berusaha menampilkan Islam yang bisa diterima oleh kalangan elit penguasa dan, seperti yang dicontohkan oleh Kyai Dahlan, menjadikan para pemimpin elit tidak alergi terhadap Islam. Didukung oleh kekuatan kaum intelektual, khususnya yang dimotori Harun Nasution, gerakan kultural ini mampu menyajikan Islam yang lebih ramah dan bisa diterima oleh fihak-fihak yang lebih luas, tanpa beban psikologis yang terlalu berat. Untuk menjadi Muslim yang baik, dalam atmosfir ini, tidak harus menjadi anggota organisasi keagamaan atau Partai Islam tertentu. Islam bisa diakses secara lebih terbuka oleh siapa saja. Gerakan kultural seperti itu layak untuk menjadi agenda kita bersama, agar Islam tidak menjadi agama kaum pinggiran.
Di sini penulis tidak bermaksud menyarankan agar Muhammadiyah meniru apa yang berhasil dilakukan oleh orang lain. Muhammadiyah sejauh yang saya tahu, telah menggariskan platform gerakannya sendiri berdasarkan landasan teologis yang kuat. Keberhasilan amal usaha yang merambah berbagai sektor kehidupan sosial ekonomi dan budaya menunjukkan betapa persyarikatan ini tetap menguasai medan dan “memenuhi tuntutan pasar.” Kegelisahan kader-kader muda persyarikatan, sebagaimana diungkapkan di atas, menunjukkan betapa mereka berusaha merebut ruang ekspresi yang lebih luas. Dibandingkan dengan kalangan muda NU yang telah membentuk jaringan yang cukup mapan dan luas, kehadiran JIMM hendaknya tidak didasari niat untuk “memberontak” pada tatanan yang digariskan oleh Muhammdiyah. Jika kehadiran jaringan anak-anak muda NU diidentikkan dengan les enfants terribles, maka JIMM, terlepas dari bentuk wacana yang mereka tawarkan, hendaknya tetap berada dalam bingkai pengembangan tajdid pemikiran yang bermanfaat baik bagi persyarikatan maupun umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Mereka tidak perlu meniru predikat les enfants terrible tersebut, sebab kondisi kelahiran serta bentuk hubungan mereka dengan induknya tidak persis sama dengan kelahiran anak-anak muda NU tersebut. Di sini perlu digarisbawahi kiranya bahwa suasana egalitarianisme (musawah) yang menonjol di kalangan anggota Muhammadiyah akan sangat bermanfaat untuk mendinamisasikan tajdid pemikiran. Sejauh yang saya tahu, Muhammadiyah menentang berkembangnya religious feudalism and spiritual slavery.
Dengan semua potensi yang dimiliki Muhammadiyah berupa tradisi, kelembagaan dan sejarah yang mengantarkannya menjadi seperti apa yang ada sekarang ini sebenarnya persyarikatan ini telah memainkan peran yang amat penting dalam membangun “tradisi besar” (the greater tradition) bagi perkembangan Islam di Indonesia. Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mengarahkan perhatiannya agar Islam yang berkembang di Indonesia tidak didominasi oleh tradisi-tradisi lokal sehingga agama ini kehilangan elan vital-nya. Kehadiran persyarikatan ini sejak hampir satu abad yang lalu telah memelopori bangkitnya semangat keagamaan yang didasarkan pada rasionalitas dan keinginan untuk meraih kemajuan, dengan tetap memperhatikan tuntutan riil kehidupan manusia abad modern, agar agama tidak terpinggirkan. Pasang surut perkembangan pergerakan ini telah menghantarkan umat Islam pada keyakinan bahwa kemampuan merasionalisasikan doktrin agama (baca ijtihad) dalam konteks kemajuan zaman telah membantu menciptakan kondisi di mana Islam bisa diterima secara lebih luas dan meningkatkan citra agama itu sendiri. Pada perkembangan lebih lanjut, semangat seperti itu ternyata tidak hanya dimiliki oleh warga Muhammadiyah saja. Keinginan agar Islam menjadi milik warga bangsa dengan nilai-nilai kultural yang bisa diserap secara mudah semakin mewarnai semangat pemikiran keagamaan yang dimunculkan oleh perorangan maupun kelompok. Sebenarnya Muhammadiyah telah memelopori terciptanya bangunan tradisi keagamaan yang lebih besar di negeri ini. Namun ia tidak boleh ketinggalan dari kelompok lain ketika kejenuhan sudah mulai menggayuti kreatifitas berfikir para kader mudanya. Di sini tajdid pemikiran harus dikembangkan dengan mengarahkan perhatian para pemimpin dan kadernya kepada faktor-faktor kultural di mana Islam ini akan terus dijadikan anutan oleh warga bangsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar