Sabtu, 14 Agustus 2010

Jika Tuhan Maha Baik,...

“Jika Tuhan Maha Baik, Dari Manakah Datangnya Kejahatan”

ORASI
PENGUKUHAN GURU BESAR FILSAFAT AGAMA
STAIN KEDIRI

Fauzan Saleh, Ph.D.

21 September 2006

Rabbi,
awzi’ni an asykura ni’mataka al-lati an’amta ‘alaiya,
wa-‘ala walidaiya
wa-an a’mala shalihan tardhahu
wa-adkhilni bi-rahmatika fi-‘ibadika al-shalihin
(Q.S. 27:19)

Hadirin, hadirat, bapak-ibu yang saya hormati

Saya telah berhutang budi kepada sekian banyak pihak, baik perorangan maupun lembaga hingga saya dapat berdiri di hadapan bapak ibu pada kesempatan yang amat berbahagia hari ini. Pertama-tama tentu kepada ibundaku tercinta, Hj. Siti Fatimah, yang dengan penuh kesabaran dan doanya yang tiada terputus telah menyertai kehidupanku, meski dari jauh, hingga di usianya yang telah senja. Saya berterimakasih kepada beliau terutama karena telah merelakan dan merestui salah seorang anaknya digaet oleh cewek Kediri, yang sekarang jadi istri setia dan ibu dari anak-anak kami. Tanpa kerelaan dan restunya untuk menjadi menantunya orang Kediri, rasanya tak mungkin saya bisa menjadi pegawai negeri, tak mungkin saya bisa sekolah keluar negeri, dan tak mungkin saya bisa meniti karier akademik hingga, katanya Mendiknas Bambang Sudibyo, saya telah menjadi guru besar. Penghargaan dan ucapan terimakasih saya sampaikan untuk istriku tercinta, Hj. Siti Djariyah, dan anak-anak tersayang, Mega dan Fitrina, yang telah banyak berkorban dengan merelakan suami dan ayah mereka merantau untuk sekolah lagi di negeri yang jauh, pada usianya yang sudah tidak muda lagi, selama bertahun-tahun.
Saya menghaturkan ribuan terimakasih kepada semua guru-guru saya, sejak Madrasah Ibtidaiyah, SD, KMI Pondok Modern Gontor dan dosen-dosenku semua di IPD-ISID Gontor dan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah mengikhlaskan sebagian ilmunya untuk dapat saya miliki, sebagai bekal utama dalam kehidupan saya. Selanjutnya, ucapan terimakasih tak terhingga saya haturkan kepada almarhum Bapak H. Djoko Pranowo, Bapak H. Saifullah Utsman, Bapak H. Nurcholis AS, dan Bapak H. Muharrom Muslimin, para dosen senior dan perintis STAIN Kediri. Mereka telah banyak berjasa kepada saya dengan memberi peluang untuk menjadi PNS di lingkungan STAIN Kediri.
Ucapan terimakasih yang tulus juga saya sampaikan kepada Prof. Bisri Affandi, yang di awal tahun 1990-an telah memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi salah satu Calon Mahasiswa Pascasarjana di McGill University, Canada. Ucapan terimakasih tak terhingga juga saya sampaikan kepada Kanda Prof. Ahmad Jainuri, the one who had paved my way to Montreal. Kepada guru-guru saya di Montreal, terutama Prof. Eric Ormsby, Prof. Federspiel, Prof. Turgay, Prof. Bollata, Prof. Little, Prof. Landolt, dan Prof. Muhaggeg, serta (mendiang) Prof. Daniel S. Lev (Pak Dan) dari Washington University di Seattle dan Prof. Sheila McDonough dari Concordia University, saya haturkan banyak terimakasih atas bimbingan dan pelatihan akademik yang mereka relakan untuk saya jadikan bekal dalam meniti karir di dunia pendidikan tinggi. Demikian pula saya menyampaikan penghargaan yang tulus kepada para pejabat di Departemen Agama, khususnya di Ditbinperta (saat itu), serta di WUSC dan CIDA serta seluruh staff di McGill-Indonesia Development Project, yang telah memfasilitasi pembelajaran saya di negeri Kanada. Kepada Bapak Drs. H. Ahmad Subakir, M.Ag., selaku Ketua STAIN dan Ketua Senat, serta seluruh keluarga besar STAIN Kediri saya menyampaikan banyak terimakasih atas terselenggaranya Rapat Senat Terbuka untuk pengukuhan guru besar hari ini.
Kepada seluruh hadirin-hadirat, bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati saya menghaturkan ribuan terimakasih atas kehadiran dan kesediaannya untuk mengikuti acara pengukuhan hari ini.

Bapak-bapak, Ibu-ibu, hadirin-hadirat yang saya hormati

Orasi saya tentang Filsafat Agama, rasanya terlalu berat untuk diuraikan secara mendetail dalam kesempatan Rapat Senat Terbuka ini. Bicara soal filsafat di hadapan hadirin yang heterogin seperti ini tentu kurang tepat, apalagi kalau materinya terlalu krusial dan sensitif untuk dibicarakan dalam forum yang terbuka. Namun karena kebetulan SK Pengangkatan Guru Besar saya adalah dalam bidang Filsafat Agama maka mau tidak mau saya akan berbicara dalam bidang ini. Untuk itu saya mohon maaf apabila dalam uraian ini terdapat banyak hal yang terlalu rumit dan teknis, bahkan sensitif.
Dalam mengawali perkuliahan Filsafat Agama, khususnya ketika berbicara tentang keberadaan Tuhan, “menu” pertanyaan ini biasanya selalu dikemukakan lebih dulu sebagai sajian pembuka: “Mengapa manusia harus berfilsafat jika Tuhan telah memberi wahyu untuk menunjukkan keberadaan diri-Nya?” Pertanyaan itu dapat dikemukakan secara sebaliknya: “Mengapa Tuhan perlu mengutus para nabi untuk menunjukkan keberadaan diri-Nya jika manusia dapat menemukan kebenaran tentang keberadaan Tuhan melalui filsafat?”
Terhadap pertanyaan ini kajian Filsafat Agama biasanya selalu merujuk kepada St. Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa jika Tuhan tidak mewahyukan diri-Nya maka hanya sedikit orang yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Tidak semua orang ditakdirkan menjadi filosof; dan hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan untuk menyusun pemikirannya agar sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan. Di samping itu, diperlukan banyak waktu untuk mencapai tingkatan intelektual yang terlatih sehingga orang bisa berfikir secara filosofis.
Tanpa wahyu manusia juga tidak akan bisa mengambil manfaat dari adanya dimensi spiritual dalam kehidupannya. Yang jelas, akal sangat terbatas dan mudah keliru, sehingga secara tidak sadar orang akan sering terjerumus dalam kekeliruan cara berfikirnya. Wahyu, dengan demikian, akan membetulkan atau mengoreksi kesalahan cara berfikir manusia. Mengenai pertanyaan kedua, Aquinas menjelaskan bahwa tidak semua orang mau menerima otoritas kitab suci yang bersumber dari wahyu Tuhan. Oleh karena itu peran rasio masih sangat diperlukan untuk meyakinkan mereka tentang kebenaran doktrin agama dengan memanfaatkan rumus-rumus filsafat yang mendukung kebenaran doktrin agama tersebut.
Meskipun kitab suci dan akal bisa bekerjasama dan dapat dipandang sebagai satu jalan dengan dua jalur untuk mengetahui adanya Tuhan, masih terdapat berbagai kebenaran tentang Tuhan yang terlalu tinggi bagi akal manusia untuk menjangkaunya. Menurut para teolog, kita masih perlu menerima kebenaran wahyu semata-mata dengan keyakinan, dan keyakinan seperti itu akan memperkokoh apa yang kita anggap sebagai pengetahuan murni tentang Tuhan. Keyakinan seperti itulah yang diperlukan manusia jika ia ingin mencapai kesadaran tertinggi tentang Tuhan.

Bapak-bapak, Ibu-ibu yang saya hormati,

Meskipun kajian Filsafat Agama banyak didominasi oleh upaya-upaya untuk membuktikan adanya Tuhan, ada juga sejumlah argumen yang mencoba menolak bukti-bukti teisme tersebut. Orang-orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, terutama kaum materialis, menuduh bahwa pengetahuan yang diberikan oleh agama tentang adanya Tuhan dan klaim kebenaran lainnya hanyalah ilusi, khayalan belaka. Paling tidak, pengetahuan yang diberikan oleh agama itu tidak meyakinkan dan tidak bisa membawa kepada kebenaran. Secara a priori, bukti-bukti yang menentang keberadaan Tuhan menyebutkan bahwa konsep tentang keberadaan Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang secara logika incoherent, tidak masuk akal. Di sisi lain, secara a posteriori dinyatakan bahwa dunia dengan keadaannya seperti ini lebih tepat jika disebut tidak menunjukkan adanya Tuhan. Argumen-argumen yang menentang keberadaan Tuhan ini biasanya meliputi the presumption of atheism, the problem of evil, problem with omnipotence, heaven and hell, immortality, petitionary prayers, dan the arguments from autonomy. Dalam tulisan ini hanya dibahas satu aspek saja dari sekian asumsi atheisme tersebut, yaitu the problem of evil, khususnya bagaimana persoalan ini dibahas dalam khazanah pemikiran Islam abad tengah, dengan mengacu pada salah satu pemikir Mu’tazilah generasi kedua, al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani (w. 1025).
Sebagaimana agama-agama besar lain di dunia, Islam memandang adanya kejahatan sebagai suatu problem yang teramat rumit, dan telah mengakibatkan banyak perselisihan di antara para ahli teologi. Hampir semua orang pernah mengalami adanya kejahatan. Tetapi tidak setiap orang menaruh perhatian terhadap bagaimana kejahatan itu muncul di dunia ini. Di satu sisi, kejahatan dirasakan sebagai suatu ancaman yang datang dari luar terhadap diri kita, dan menjadikan diri kita sebagai korban. Di sisi lain, manusia sendiri bisa berbuat jahat, atau bahkan menjadi sumber kejahatan, seperti mengakibatkan orang lain menderita.
Terjadinya kejahatan di dunia ini telah membangkitkan berbagai bentuk pemikiran spekulatif di antara para ahli teologi dan filosof terkait dengan sifat Tuhan, sebab jika memang Tuhan adalah mahabaik dan benar-benar mahaperkasa maka tentunya Dia berkuasa untuk menghilangkan kejahatan. Dalam kerangka monoteisme, terjadinya kejahatan sering disebut sebagai hambatan terbesar bagi keimanan. Adanya kejahatan telah menjadi teka-teki teramat pelik bagi monoteisme, sebab Tuhan diyakini bukan saja sebagai sumber segala kebaikan, tetapi juga sebagai pencipta dari semua makhluk yang serba terbatas, sedang Tuhan sendiri kekuasaan-Nya tiada terbatas.
Islam sebagai agama monoteis juga menganggap adanya kejahatan sebagai suatu persoalan yang sulit diselesaikan. Sejak awal pertumbuhan teologi Islam, problem tentang kejahatan ini telah menjadi salah satu persoalan yang paling banyak dibicarakan di antara para ahli teologi. Bahkan sebenarnya problem kejahatan ini pula yang telah menjadi subjek perdebatan paling serius di awal pembentukan teologi Islam, terkait dengan persoalan “pelaku dosa besar, the capital sinner, murtakib al-kaba’ir.” Persoalan ini pula yang telah memunculkan berbagai aliran teologi dalam Islam, dari yang cenderung rasionalistis hingga fatalistis, dan aliran sempalan yang sangat ekstrim. Semua aliran ini muncul sebagai bentuk respon atas wacana bagaimana “menghukumi” status pelaku dosa besar, apakah dia masih bisa disebut mukmin atau sudah masuk kategori kafir.
Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamadzani, sebagai seorang tokoh Mu’tazilah yang sangat produktif, di dalam mengembangkan wacana teologisnya tidak lepas dari pijakan awal yang menjadi “titik tolak bersama” para mutakallimin tersebut. Namun dalam kajian yang telah ia kembangkan dalam berbagai karyanya, terutama al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa’l-‘Adl dan Syarh al-Ushul al-Khamsah, persoalan pelaku dosa besar ini sudah tidak lagi menjadi fokus perhatiannya, tetapi telah bergeser pada aspek yang lebih luas, terkait dengan arti tanggungjawab manusia di hadapan kemahakuasaan dan kemahaadilan Tuhan.
Pelaku dosa besar pada hakekatnya adalah orang yang melakukan tindak kejahatan. Apa yang disebut sebagai kejahatan? ‘Abdul al-Jabbar menggunakan istilah al-qabih, al-syarr dan al-fasad untuk menunjuk arti kejahatan, yang kesemuanya adalah sinonim. Tulisan ini akan mengkaji pandangan ‘Abd al-Jabbar tentang problem kejahatan dan untuk menjelaskan bagaimana dia mempertahankan makna kemahaadilan Tuhan, sebagai salah satu doktrin pokok Mu’tazilah. Berbicara tentang kemahaadilan Tuhan dihadapkan pada realitas kejahatan itulah sebenarnya yang menjadi inti persoalan theodicy.


KEJAHATAN DALAM WACANA TEOLOGI DAN FILSAFAT

Pembahasan tentang kejahatan telah mendapat perhatian begitu besar dari para pemikir klasik dan Abad Tengah. Namun sampai sekarang pun persoalan ini masih terus menjadi perdebatan yang tak pernah bisa diselesaikan, dan dipandang sebagai teka-teki atau misteri yang tak pernah bisa diungkap secara tuntas. Menurut J.L. Macky, kejahatan merupakan suatu problem hanya bagi orang yang percaya akan adanya Tuhan yang bersifat mahakuasa dan mahabaik. Oleh karena itu, adanya kejahatan bukanlah problem ilmiah maupun problem praktis, tetapi problem logika yang menuntut seseorang mampu menjelaskan dan mengompromikan sejumlah keyakinan. Dengan demikian adanya kejahatan tidak bisa dikesampingkan begitu saja dengan mengatakan kejahatan adalah sesuatu yang harus dihadapi, bukan sekedar untuk diwacanakan.
John Hick menyatakan bahwa pada umumnya kejahatan dapat dibedakan menjadi dua bentuk: kejahatan moral dan kejahatan non-moral. Kejahatan moral adalah segala bentuk immoralitas atau semua kejahatan yang berasal dari tingkah laku dan sifat manusia, seperti sifat egoistis, irihati, tamak, curang, dengki, pengecut, atau dalam bentuk yang lebih besar: peperangan. Sedangkan kejahatan non-moral ialah kejahatan yang timbul di luar perbuatan manusia. Kejahatan jenis ini termasuk semua kejahatan fisik dan alamiah (physical and natural evil) yang mengakibatkan penderitaan dan kerugian pada manusia, baik secara fisik maupun mental.
Berdasarkan penjelasan di atas maka kejahatan sebagai suatu problem dapat dibahas dengan skema sebagai berikut: Kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil, kejahatan karena tidak diperolehnya suatu kebaikan, kejahatan sebagai sesuatu yang riil tetapi dapat dibenarkan keberadaannya, dan kejahatan moral (evil as unreal, evil as privation, evil as real but justified, and moral evil).

Kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil, evil as unreal

Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Plotinus (c. 205-270). Ia menganggap kejahatan sebagai sesuatu yang tidak memiliki realitas. Dia melandasi pandangannya pada suatu kenyataan bahwa kejahatan adalah suatu tingkat di mana suatu wujud masih tergantung pada materi, atau sekedar tahapan yang diperlukan dalam sejarah perkembangan alam semesta.
Plotinus beranggapan bahwa setiap wujud memiliki sisi yang jahat dan sisi yang baik. Kejahatan hanyalah apa yang nampak dari luar, sekedar sebagian aspek, pendapat yang keliru, dan karena adanya pandangan yang terbatas dalam menilai sesuatu. Oleh karena itu kejahatan hanyalah khayalan yang keberadaannya dianggap sebagai bagian dari realitas yang disalahfahami. Dia merupakan suatu tahapan yang harus ditempuh untuk mencapai suatu kesempurnaan, dan oleh karena itu keberadaannya dapat dibenarkan demi tercapainya suatu tujuan tertentu, atau sebagai suatu faktor integral dalam mencapai kesempurnaan itu sendiri.
Jika ide tentang kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil ini diterapkan pada kejahatan fisik atau alam maka kepedihan dan penderitaan bukanlah kejahatan dalam arti yang sebenarnya, dan demikian pula semua bentuk penyimpangan gejala-gejala alamiah. Hal tersebut harus difahami sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi karena sebab-sebab tertentu atau karena proses hukum alam yang belum dimengerti.
Orang bisa saja mengatakan bahwa kepedihan dan penderitaan akibat bencana alam dan lain-lain tersebut sebagai kejahatan, karena ia tidak melihatnya dalam konteks keseluruhan secara utuh. Oleh karena itu penderitaan yang dialami saat ini bisa disebut tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan kejayaan (pahala) yang akan diperoleh oleh manusia kelak, atau bisa dianggap sebagai sesuatu dengan apa keseluruhan pengalaman hidup akan berproses menjadi lebih baik dan lebih sempurna.
Sudah menjadi keyakinan banyak orang bahwa tiada kebahagiaan tanpa penderitaan. Paling tidak, banyak penderitaan yang merupakan prasyarat bagi diperolehnya kebahagiaan. Adanya kejahatan bisa dianggap sebagai cobaan bagi manusia untuk bisa mencapai hasil yang lebih besar.

Kejahatan karena tidak diperolehnya kebaikan, evil as privation of good

Kejahatan jenis ini biasanya dibicarakan dengan mengacu kepada ungkapan yang sering dikemukakan oleh St. Augustinus, privatio boni, tidak tercapainya suatu kebaikan. Pendapat ini merupakan jalan tengah antara kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil dengan kejahatan sebagai sesuatu yang benar-benar riil. Oleh sebab itu pandangan ini dapat dipakai untuk menolak anggapan bahwa Tuhan bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan. Dalam hal ini St. Augustine menyatakan bahwa kejahatan tidak memiliki hakekat tetapi sekedar hilangnya suatu kebaikan.
Tetapi pandangan tentang kejahatan dalam arti tidak diperolehnya kebaikan ini bukan sekedar hilangnya kebaikan dalam arti seperti sebatang pohon yang tidak memiliki nyawa sebagaimana layaknya makhluk hidup yang lain. Lebih dari itu, bukanlah suatu kejahatan apabila suatu makhluk diciptakan dalam tingkat wujud yang lebih rendah dari yang lain: suatu makhluk yang diciptakan dalam bentuk cacing adalah tidak lebih jelek dari yang diciptakan dalam bentuk singa. Oleh karena itu manusia yang tidak bermoral adalah orang-orang yang tindakannya timbul dari tatanan yang kurang baik, sebagaimana halnya kejahatan fisik timbul dari tidak tercaipainya suatu bentuk kebaikan sebagaimana semestinya.
Secara umum pandangan ini menyebutkan bahwa kejahatan adalah sesuatu yang negatif, berupa kekurangan dan kehilangan. Lebih lanjut St. Augustine menyatakan bahwa ketika tubuh kita merasa sakit atau terluka maka itu sama artinya dengan terganggunya kesehatan kita. Jika kita sembuh dari penyakit atau dari luka maka hal itu sama artinya dengan hilangnya penyakit tersebut, yang berarti penyakit atau luka itu sudah tidak memiliki wujud lagi di tubuh kita.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa St. Augustine terlalu simplistis dan sekaligus merefleksikan cara berfikirnya yang terlalu optimistis tentang dunia ini. Dia melihat kejahatan sebagai bagian dari keseluruhan gambaran metafisis alam semesta, terutama diakibatkan oleh pandangan Kristen dalam menginterpretasikan kehidupan, di mana ide tentang privatio boni memperoleh arti dan pembenarannya. Karena dunia ini diciptakan oleh Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik, kejahatan tidak bisa disebut sebagai bagian yang positif atau pokok dari alam semesta, tetapi sekedar hilangnya ukuran, bentuk dan tatanan alamiah yang semestinya, atau sekedar penyalahgunaan dari sesuatu yang sebenarnya adalah baik.

Kejahatan sebagai sesuatu yang riil tetapi dapat dibenarkan, evil as real but justified

Pandangan bahwa adanya kejahatan dapat dibenarkan mengacu kepada pengertian umum tentang problem kejahatan, dengan mempertanyakan apakah suatu kejahatan secara moral dapat dibenarkan jika Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik benar-benar ada. Jika adanya kejahatan dapat dibenarkan maka kebaikan (dalam bentuk kompensasi yang sebanding atas kejahatan tersebut) tampaknya akan menjadi satu-satunya kriteria yang cocok untuk membenarkannya. Maksudnya, terjadinya suatu kejahatan harus seimbang dengan kebaikan yang akan diperoleh dan bahwa kebaikan tidak bisa dicapai tanpa melakukan kejahatan tersebut. Ini semua, menurut Ahern, merupakan syarat untuk diperolehnya pembenaran atas tejadinya kejahatan. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa jika kejahatan semacam ini dapat dibenarkan pelakunya akan dibiarkan bebas begitu saja tanpa suatu tuntutan. Kesengajaan dalam menimpakan kejahatan, dalam batas-batas tertentu, tetap merupakan kejahatan. Rasa sakit yang biasanya menyertai pembedahan (operasi) seharusnya dimitigasi dan tidak secara sengaja ditimpakan kepada penderita, apabila pelaku pembedahan tersebut secara moral ingin bebas dari tuntutan.
Berkenaan dengan pendapat bahwa kejahatan non-moral atau kejahatan alamiah adalah sesuatu yang rill tetapi bisa dibenarkan biasanya didasarkan pada keyakinan bahwa kejahatan berfungsi sebagai peringatan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar mau mengakui kekuasaan-Nya, atau berfungsi sebagai hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia. Dalam hal ini Tuhan menyatakan kekuasaan-Nya dengan menyebabkan timbulnya bencana alam, dengan harapan manusia akan merespon kejadian-kejadian itu dengan perasaan gentar, sehingga mereka mau tunduk dengan menyembah dan mentaati perintah-perintah-Nya, serta secara moral mereka akan menjadi lebih baik. Biasanya kepercayaan seperti ini dikaitkan dengan tradisi keagamaan mengenai doktrin tentang pertobatan dan keabadian jiwa.
Namun persoalan ini masih banyak diperselisihkan: apakah bencana bisa mendorong tercapainya perbaikan moral dengan membangkitkan sikap takut atau hormat kepada Tuhan? Sebaliknya bencana alam seperti itu mungkin justru akan mengakibatkan sikap skeptis atau bahkan mengingkari kebaikan Tuhan sendiri. Jika Tuhan sengaja menimbulkan bencana alam dengan tujuan membangkitkan sikap hormat mereka pada-Nya maka akan sulit dimengerti bahwa Tuhan itu mahabaik dan mahatahu.



Kejahatan moral, moral evil.

Kejahatan moral bukan berarti sekedar kesalahan moral. Lebih dari sekedar kesalahan moral, kejahatan dalam bentuk ini mengandung arti menjauhi hukum-hukum Tuhan dan mengingkari keberadaannya. Sekalipun demikian, orang yakin bahwa Tuhan dalam menciptakan manusia telah lebih dahulu mengetahui bahwa manusia berpotensi melakukan kejahatan-kejahatan moral. Adalah sangat mudah untuk menemukan berbagai bentuk kejahatan moral dalam kehidupan sehari-hari, dan adalah sangat wajar untuk mencela tindakan-tindakan seperti itu serta menganggapnya sebagai suatu perbuatan dosa.
John Hick berpendapat bahwa semua bentuk kejahatan moral bersumber dari dosa. Menurut dia, realitas dosa berdampak pada hubungan horizontal manusia dengan alam, di mana dosa tersebut terekspresikan dalam berbagai bentuk tindakan destruktif terhadap warga masyarakat dan alam. Oleh karena itu perbuatan dosa dianggap sebagai inti utama dari problem kejahatan, dan oleh sebab itu pula adalah sah untuk bertanya mengapa Tuhan yang mahabaik dan mahakuasa membiarkan adanya dosa. Suatu upaya untuk menjelaskan problem ini biasanya dikaitkan dengan elaborasi tentang adanya ‘kehendak bebas’ atau free will. J.L. Mackie menjelaskan bahwa timbulnya kejahatan tidak bisa dirujukkan kepada Tuhan tetapi kepada adanya kebebasan dalam diri manusia.
Tetapi mengapa Tuhan yang mahabaik memberikan kebebasan kehendak pada manusia, meskipun Dia tahu bahwa hal itu akan mendorong terjadinya tindak kejahatan? Ini merupakan suatu persoalan yang amat serius berkaitan dengan problem kejahatan moral serta yang paling banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ahli teologi.
Kehendak bebas telah dipandang sebagai dasar untuk membenarkan terjadinya kejahatan moral yang diakui oleh Tuhan sendiri. Dan oleh karenanya kejahatan moral hanyalah merupakan suatu konsekwensi dan kemungkinan kegagalan, yang tanpa itu manusia tidak akan dapat memperoleh kemenangan. Kejahatan moral terjadi karena adanya suatu hipotesa bahwa di sana terdapat suatu subyek yang memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan dosa atau yang secara moral mampu berbuat salah.
Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang cerdik dan pintar yang selalu menyadari akan semua tindakannya. Berbeda dengan binatang, manusia pada dasarnya akan menyesali semua tindakan yang merugikan orang lain. Binatang, secara alamiah, diciptakan dengan tabiat seperti itu, dan tidak bisa berbuat lain terhadap mangsanya kecuali dengan kekejaman dan kebuasan.

PROBLEM KEJAHATAN DALAM WACANA TEOLOGI ISLAM

Perhatian utama ‘Abd al-Jabbar dalam membahas problem kejahatan terletak pada obyektifitas nilai. Ia menentang pandangan kelompok subyektifis yang menyatakan bahwa nilai suatu perbuatan itu ditentukan secara eksklusif oleh adanya kehendak Tuhan. Dengan pendekatan obyektifitas ini ‘Abd al-Jabbar menyatakan bahwa nilai baik-buruk dari suatu subyek atau tindakan bukan karena adanya kemauan, pernyataan, pemikiran atau perasaan dari pihak luar, bahkan sekalipun pihak luar itu adalah Tuhan sendiri.
‘Abd al-Jabbar mendukung pandangan bahwa rasio manusia dapat berfungsi sebagai sumber yang autoritatif bagi pengetahuan moral atau sebagai ukuran baik-buruk. Ini berarti bahwa manusia mempunyai kemampuan itelektual untuk menentukan mana yang baik dan benar, bahkan untuk mendefinisikannya secara independen, terlepas dari adanya kehendak Tuhan. Dengan kata lain, nilai baik-buruk adalah suatu hal yang obyektif, dan manusia dapat mengetahuinya sebagaimana ia dapat mengenali fenomena yang nampak secara langsung (al-mudrakat). “Secara langsung kita dapat mengetahui bahwa ketidak-adilan, berbohong, dan tidak tahu berterimakasih (ingratitude) adalah kejahatan, sebagaimana kita mengetahui bahwa kejujuran, keadilan dan berterimakasih adalah kebaikan.”

Dasar-dasar penilaian baik-buruk

‘Abd al-Jabbar menyebutkan ada delapan aspek untuk menilai suatu tindakan itu jahat, yaitu ketidak-adilan, kezaliman atau kesewenang-wenangan (zulm), perbuatan sia-sia (‘abats), berbohong (kidzb), tidak tahu berterimakasih (ingratitude, kufr al-ni’mah), kebodohan (jahl), kehendak berbuat jahat (iradat al-qabih), menyuruh berbuat jahat (amr al-qabih), dan membebani kewajiban di luar kemampuan seseorang (taklif ma-la yuthaq).
Sekedar contoh, ‘Abd al-Jabbar mengatakan bahwa suatu tindakan yang netral bisa menjadi jahat karena dikaitkan dengan salah satu atau lebih dari aspek-aspek di atas. Berbicara, misalnya, adalah tindakan yang netral. Namun ia bisa menjadi jahat karena hanya sifatnya yang sia-sia, tidak ada isinya (pointless), atau karena digunakan untuk menyuruh berbuat jahat (amr al-qabih), dan digunakan untuk berbohong.
Kehendak atau kemauan juga bisa menjadi jahat karena digunakan untuk kejahatan (a will for evil), atau untuk menipu dan memanipulasi suatu urusan. Bahkan keyakinan pun bisa menjadi jahat jika didasarkan pada kebodohan atau angan-angan tanpa dasar dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kebodohan bisa menjadi dasar dari kejahatan dalam berkeyakinan tersebut. Salah satu contoh lagi yang perlu mendapat perhatian kita di sini ialah bahwa penderitaan itu sendiri sebenarnya, menurut ‘Abd al-Jabbar, bukanlah suatu kejahatan, kecuali jika disebabkan oleh kesia-siaan atau akibat ketidak-adilan.

Masalah Penderitaan (Suffering, al-Alam)

‘Abd al-Jabbar juga membahas al-alam (penderitaan) sebagai suatu bentuk kejahatan. Kupasannya dalam hal ini sebagian besar terdapat dalam volume ke-13 dari al-Mughni, yang ia sajikan setelah penjelasan mengenai kasih sayang Tuhan (al-luthf, divine grace). Al-Luthf, sebagai tema sentral dalam buku ini, ialah sesuatu yang mendorong seseorang untuk dapat memenuhi kewajibannya, baik secara suka rela ataupun terpaksa.
Mengenai hubungan antara penderitaan dan kejahatan, ‘Abd al-Jabbar menjelaskan dalam bagian kedua dari al-Mughni volume ke-13, dengan mengacu kepada berbagai pandangan para teolog lain di masanya. Antara lain disebutkan bahwa menurut kelompok dualis (al-Tsanawiyah) penderitaan adalah suatu kejahatan. Pendapat lain menyebutkan bahwa penderitaan adalah kejahatan jika ditimpakan secara tidak semestinya (undeservedly) kepada seseorang karena dosa yang ia lakukan atau karena kelalaiannya dalam melaksanakan kewajiban. Pandangan ini dianut oleh para pengikut metempsychosis (al-Tanasukhiyah). Sementara pandangan lain menyebutkan bahwa penderitaan adalah kejahatan kecuali jika bisa mendatangkan manfaat yang semestinya, namun bukan sebagai kompensasi, tetapi sekedar sebagai pelajaran (i’tibar) agar manusia lebih berhati-hati dan selalu waspada.
Berbeda dengan pandangan di atas, Abu Hasyim al-Jubba’i, sebagaimana dikutip ‘Abd al-Jabbar, berpendapat bahwa penderitaan adalah jahat karena menimbulkan bahaya (dharar). Namun ia sependapat dengan bapaknya, Abu Ali al-Jubba’i, bahwa penderitaan merupakan suatu kejahatan jika tidak memenuhi salah satu dari tiga faktor berikut, yaitu adanya manfaat, mencegah bahaya yang lebih besar, dan sebagai hukuman yang layak ditimpakan kepada penderitanya.
Berdasarkan uraian di atas, Abu Hasyim memandang adanya penderitaan yang ditimpakan oleh Tuhan kepada manusia bisa merupakan suatu kejahatan jika dimaksudkan semata-mata untuk menciptakan penderitaan itu sendiri, tanpa adanya i’tibar. Namun penderitaan tersebut menjadi suatu kejahatan bukan karena ia salah—sebab Tuhan diyakini tidak akan menimpakan suatu penderitaan tanpa memberi kompensasi pada penderitanya—tetapi karena hal itu menjadi sia-sia (lam yakun fiha ma’na).
Masih mengutip pendapat Abu Hasyim, ‘Abd al-Jabbar menyebutkan bahwa adanya siksa api neraka adalah baik, meskipun kenyataannya amat menyeramkan. Orang yang berbuat dosa dengan melakukan perbuatan maksiat adalah bagaikan orang yang mendesak untuk segera memperoleh keuntungan atas pekerjaan yang ia lakukan. Kasus serupa dapat dianalogkan dengan gaji atau bayaran yang diberikan terlebih dahulu untuk suatu pekerjaan, maka resiko apa pun yang timbul dari pekerjaan itu harus tetap dihadapi.
Ketika ditanyakan jika Tuhan menimpakan penderitaan itu pada orang yang beriman adalah untuk tujuan memberi manfaat, maka apakah penderitaan yang ditimpakan pada orang kafir tidak bisa mengurangi siksa yang akan dideritanya di akhirat? Atas pertanyaan ini ‘Abd al-Jabbar menjelaskan bahwa semua manusia, baik beriman atau kafir, berhak memperoleh kompensasi dan manfaat dari Tuhan, dan bahkan bisa saja Tuhan memberikan kompensasi tersebut di depan (mu’ajjalan) kepada orang-orang kafir.
Tetapi jika Tuhan menundanya hingga di akhirat, maka hal itu akan menjadi bagian dari siksa yang ditimpakan padanya. Ini bukan karena orang kafir tersebut berhak atas siksa itu untuk ditimpakan secara demikian, tetapi karena ketika siksa itu ditunda hingga saat yang tak mungkin lagi dapat dipenuhi maka hal itu harus diganti dengan sesuatu yang lain. Perlakuan semacam ini diterapkan pada orang yang memiliki hutang. Jika orang itu tidak mungkin bisa membayar hutangnya—karena bangkrut, misalnya—tetapi dia masih memiliki aset lain yang sebanding dengan nilai hutangnya, maka ia harus memberikan aset tersebut sebagai ganti membayar hutangnya.

Tuhan dan realitas kejahatan

Mengacu pada prinsip kemahaadilan Tuhan, ‘Abd al-Jabbar berpendapat manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Ia menegaskan bahwa manusialah yang bertanggungjawab atas semua tindakan yang ia lakukan, termasuk kebaikan dan kejahatannya. Manusia tidak bisa melemparkan tanggungjawab atas perbuatan jahatnya kepada pihak mana pun di luar dirinya dengan alasan dia tidak mampu menghindar. Hal itu sesuai dengan penegasan ‘Abd al-Jabbar bahwa kejahatan tetap merupakan kejahatan, terlepas dari siapa yang melakukannya.
Pandangan di atas bertentangan dengan pendapat kelompok Mujbirah (compulsionist) yang menyatakan bahwa manusia tidak melakukan tindakannya sendiri dalam arti yang sebenarnya, sebab hanya Tuhanlah yang benar-benar bisa berbuat. Jika suatu perbuatan dikaitkan dengan manusia maka hal itu hanya dalam arti metaforis saja. Namun bagi kelompok moderat (pengikut Asy’ariyah), manusia masih dipandang sebagai pelaku bagi perbuatannya, atau pihak yang mampu (the able agent, al-qadir), namun bukan sebagai pencipta dari tindakan-tindakannya.
Terdapat suatu teori bahwa manusia bukan satu-satunya pihak yang menyebabkan terjadinya kejahatan, dan bahwa dirinya sendiri sering menjadi korban dari kejahatan—seperti akibat bencana alam, penyakit, busung lapar, cacat tubuh bawaan, dan lain-lain. Dalam hal ini tidak mungkin manusia dianggap sebagai penyebab dari semua kejahatan tersebut. Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa bisa jadi Tuhan sendiri yang menimpakan penderitaan pada seseorang, sekalipun tidak dapat dipandang sebagai suatu kejahatan bagi-Nya, hal itu menunjukkan bahwa Tuhan dapat disebut sebagai penyebab terjadinya kejahatan.
Tentu saja pandangan di atas banyak ditentang dan tidak bisa diterima dengan mudah. Bahkan para pengikut Mu’tazilah sendiri pun tidak satu suara dalam menyikapi pendapat ini. ‘Abd al-Jabbar, dengan mengacu pada tokoh Mu’tazilah yang lain, menjelaskan bahwa tidak mungkin Tuhan memiliki kekuatan untuk melakukan kejahatan, atau tidak memilih sesuatu yang terbaik dan paling tepat (al-ashlah), sebab, jika tidak, maka hal itu menunjukkan adanya kekurangan dan kebutuhan pada diri-Nya.
Sebagaimana para pengikut Mu’tazilah lain, ‘Abd al-Jabbar berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuatan untuk melakukan kejahatan. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa Tuhan benar-benar mau melakukannya. ‘Abd al-Jabbar tidak setuju dengan pandangan para pengikut Asy’ariyah yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadikan manusia berbuat jahat sebagai penyebab pertama, meskipun hal itu bukan suatu kejahatan bagi Tuhan; karena Dia tidak melanggar perintah dari siapa pun. ‘Abd al-Jabbar tidak setuju dengan cara penyelesaian persoalan seperti itu. Sebab, suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk bukan karena adanya larangan atau menyalahi suatu perintah, tetapi karena kualitas obyektif dari perbuatan itu sendiri. Pada prinsipnya Tuhan tidak memiliki motif atau kepentingan apa pun untuk berbuat jahat.

RETROSPEKTIF

Penderitaan, sebagai salah satu bentuk manifestasi problem kejahatan, telah dialami oleh umat manusia sejak pertama kali mereka mendiami planet bumi ini. Hampir tidak ada bayi yang lahir hidup di muka bumi ini tanpa menangis. Itu artinya dia menyadari betapa berat beban derita yang akan dia tanggung dalam kehidupan yang akan datang. Namun dia akan segera berhenti menangis, diam dan merasa tenang, setelah merasakan dekapan kasih sayang dan asupan air susu ibunya yang mengalirkan kehidupan di dalam tubuhnya. Ia mungkin lupa tentang beban derita yang semula telah ia sadari. Betapa lemahnya manusia ketika ia begitu mudah lupa, terlena oleh kenikmatan yang sesaat.
Para nabi diutus ke muka bumi, dan para filosof pun lahir melengkapi missi para nabi—dengan berspekulasi mencari jawab atas misteri alam yang dihadapi manusia. Para nabi diutus untuk menunjukkan jalan yang mudah dalam mencapai kebenaran—karena dibimbing wahyu dan kitab suci. Sementara itu para filosof berspekulasi dengan berbagai kemungkinan salah dan benar, termasuk dalam menjawab misteri mengapa kehidupan dipenuhi penderitaan dan kejahatan demi kejahatan. Ini bukan berarti mereka hanya menginginkan adanya kehidupan yang serba menyenangkan, tanpa problem apa pun.
Siddharta Buddha Gautama (550-480 SM), yang pernah dimanjakan oleh kemewahan kehidupan istana dan selalu diawasi dan dijaga agar tidak ada satu pun kesusahan menghapiri dirinya, ternyata justru malah merasa terbelenggu jiwanya. Sang Sakyamuni dan pendiri Buddhisme ini pun kemudian memberontak, ingin melepaskan diri dari semua kenikmatan yang dianggapnya palsu dan superficial itu. Dia ingin menemukan kesejatian hidup dengan mengembara, mengarungi kehidupan secara utuh, lengkap dengan duka-deritanya. Dia menginginkan penderitaan itu sebagai realitas untuk dihadapi, bukan dihindari.
Para pemulung, tukang becak, para buruh tani yang miskin dengan beban penderitaan yang berat adalah fenomena yang merata hampir di setiap sudut negeri ini. Problem sosial ekonomi mereka yang berat sering diabaikan oleh penguasa yang lebih memihak kepada orang-orang kaya, para pemilik modal besar. Penggusuran dan penistaan sering ditimpakan secara sewenang-wenang kepada kelompok lemah dan tertindas. Mereka tentu tidak sama dengan Siddharta Gautama yang menghadang derita untuk menemukan kesejatian hidup. Mereka, saya yakin, telah menemukan kesejatian hidup mereka sendiri dalam kesahajaan sehari-hari. Kesejatian hidup mereka bisa jadi lebih autentik dibandingkan dengan yang diperoleh para selebritis yang tingkah polahnya selalu menyesaki tayangan infotainment televisi swasta di negeri kita sepanjang hari.
Kembali kepada pandangan ‘Abd al-Jabbar tentang problem kejahatan, kajian yang ia lakukan tentang problem yang amat krusial ini pada dasarnya dimaksudkan membela konsep kemahaadilan Tuhan (divine justice). Fokus persoalannya diarahkan pada apakah Tuhan benar-benar menciptakan kejahatan di alam semesta ini. ‘Abd al-Jabbar menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah menghendaki adanya kejahatan, dan tidak butuh untuk melakukannya. Adanya penderitaan adalah karena hal itu layak terjadi pada orang-orang tertentu sebagai bentuk hukuman (di depan juga disebutkan sebagai suatu hal yang pasti sebagai hukum alam). Jika bukan untuk tujuan seperti itu maka si penderita pasti akan diberi kompensasi oleh Tuhan. Hal ini tidak sulit untuk bisa diterima oleh orang yang masih percaya pada adanya kehidupan di hari akhirat.
Tentu saja solusi yang terdengar simplistis ini tidak harus dimaknai bahwa kita tidak perlu peduli dengan berbagai kesusahan yang diderita oleh para korban bencana alam yang melanda sebagian wilayah negeri kita belakangan ini secara bertubi-tubi. Kita tidak bisa bersikap acuh (ignorant) dengan mengatakan itu semua adalah urusan Tuhan yang telah menghendaki semua bencana tersebut terjadi. Kejahatan alam (naturtal-physical evils) dalam bentuk malapetaka atau bencana yang menimpa orang lain mengindikasikan adanya kelalaian kemanusiaan secara universal, sehingga Tuhan perlu memberikan peringatan dalam berbagai bentuk fenomena alam yang menakutkan tersebut. Semua bentuk ketamakan dan kerakusan yang menyertai kehidupan manusia modern secara tak terkendali telah melukai rasa kemanusiaan kita, sehingga nurani kemanusiaan kita harus didobrak oleh kejadian-kejadian teramat dahsyat di depan mata kita. Apakah nurani kita masih tetap tumpul dan bebal melihat akibat dari kedahsyatan bencana yang menimpa saudara-saudara kita?
Manusia juga sering tidak menyadari bahwa bumi yang kita pijak pun tidak selamanya rata dan indah serta subur, dapat dilalui kendaraan-kendaraan mewah kita dengan lancar dan aman tanpa kendala. Ternyata ada dinamika yang tinggi dari dalam perut bumi yang sering menjadi ancaman bagi makhluk hidup di atasnya: gempa tektonik yang menghempaskan gelombang tsunami, guguran lava pijar yang meruntuhkan semua kehidupan di lereng perbukitan Merapi, dan terakhir luapan lumpur panas Banjaran Panji di Porong, Sidoarjo. Kiranya Tuhan sedang mengingatkan kita, sebagaimana Dia telah mengingatkan umat nabi-nabi terdahulu, seperti yang menimpa bangsa ‘Ad, Tsamud, dan umatnya Nabi Nuh, Nabi Musa, dan lain-lain. Jangan dikira ketika manusia telah memasuki abad modern Tuhan akan terus membiarkan manusia leluasa mendustakan firman-firman-Nya. Tetapi memang manusia lebih banyak lalainya dan hanya ingin dimanja oleh kenikmatan yang memabukkan.
Penderitaan dan kesengsaraan dalam hidup adalah suatu keniscayaan. Bahkan, mengacu kepada pengalaman Siddharta Gauttama di atas, derita itu diperlukan, bukan untuk kepentingan individu, tetapi untuk kepentingan kemanusiaan universal. Alam pada awalnya adalah ancaman bagi kehidupan manusia, sampai akhirnya manusia mampu menundukkannya. Namun, dasar watak manusia, setelah ia mampu menundukkan alam lantas dia menjadi sombong dan sewenang-wenang. Saat itulah manusia lalai dan, celakanya, semakin rakus. Malapetaka, bencana, dan semua bentuk kesengsaraan adalah tantangan agar manusia menjadi lebih matang dan lebih dewasa; agar dia tidak hanya bisa merengek-rengek, minta dimanjakan.
Tanpa harus dimaknai ingin menjastifikasi pandangan Kapitalisme Global dengan kecenderungan Darwinisme-sosialnya, manusia unggul akan tercipta manakala secara dewasa dan bijaksana dia mampu mengatasi problem-problem kemanusiaan, baik yang ditimbulkan oleh alam (natural evils) maupun oleh persoalan moral manusia (moral evils). Sebaliknya, manusia akan menjadi kerdil dan infantil manakala ia hanya bisa menangisi penderitaannya sendiri, tidak bisa berbuat yang lain. Piwulang Jawa yang adiluhung telah mengajarkan kepada kita: Yen wanio ing gampang, wedi ing pakewuh, sabarang nora bakal kalakyan. Jer basuki mowo beo.
Penderitaan tak akan habis atau hilang dari kehidupan manusia, baik yang ringan maupun yang berat. Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan suatu kearifan agung bagi umatnya, agar mereka mau memandang kesengsaraan sebagai sesuatu yang pasti. Namun, dalam kondisi sejelek apa pun, kita tidak boleh kehilangan iman kita. Seberat apa pun derita yang kita hadapi kita akan tetap selamat, selama iman masih dapat kita pertahankan dalam diri kita.

Alangkah mengagumkan kehidupan orang yang beriman. Tidak ada ketetapan Allah yang diberikan kepadanya kecuali hal itu akan menjadi kebaikan baginya. Dan hal itu tidak terjadi kecuali pada diri orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan ia akan bersyukur, dan itu lebih baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan ia akan bersabar, dan itu lebih baik baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar