Sabtu, 14 Agustus 2010

Islam di Amerika Utara

ISLAM DI AMERIKA UTARA:
Perkembangan, Harapan dan Tantangannya

Oleh Fauzan Saleh

Dunia Islam harus segera memperbaiki mispersepsi
yang berkembang di kalangan masyarakat Barat
yang menganggap Islam sebagai agama yang mendorong
militansi ekstrem, dan menginformasikan kepada mereka
mengenai Islam yang sesungguhnya.

Parwez Musharraf, Presiden Pakistan.

Perkembangan Islam di Amerika Utara mengalami pasang surut dan dinamika yang cukup tinggi. Tidak cukup jelas kapan mula-mula komunitas Mulim terbentuk di Amerika Utara ini. Yvonne Y. Haddad menyebutkan bahwa kelompok imigran yang pertama kali membawa Islam ke Amerika adalah orang-orang muda dari pedesaan yang kebanyakan adalah buta huruf dan dengan penguasaan bahasa Inggris yang minim. Karena kepentingan utama mereka adalah untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang layak maka mau tidak mau mereka harus bersikap low profile, tidak menonjolkan diri, dan menyembunyikan jati diri serta keyakinan mereka. Kebanyakan dari mereka pun tidak memiliki kesadaran dan pemahaman keagamaan yang cukup tinggi.
Mula-mula mereka mengalami banyak kesulitan dalam menjalani kehidupan di dunia yang baru, dan dapat dibayangkan bagaimana mereka bisa menjalankan perintah-perintah agamanya di tempat yang asing ini. Bahkan, sesuai dengan peraturan imigrasi yang berlaku saat itu, ketika mereka dipaksa menggunakan nama Kristen pun mereka tidak dapat menolak. Jumlah mereka yang sangat sedikit dan terpencar-pencar serta kemampuan bahasa Inggris yang tidak memadai menjadikan mereka kelompok minoritas yang semakin terasing, sebab mereka tidak dapat berkomunkiasi dengan warga masyarakat lainnya. Untuk berumah tangga pun mereka juga harus mendatangkan calon istri dari negara asal mereka. Setelah mereka punya anak tidak jarang anak-anak mereka ini berpindah agama menjadi Kristen, terutama ketika mereka kawin dengan penduduk setempat.
Namun sepanjang abad ke-20 yang lalu gelombang imigran banyak berdatangan dari berbagai bagian dunia Islam. Mereka juga ingin mendapatkan pengalaman hidup di dunia yang baru sambil membawa pemahaman agama yang lebih baik. Pada tahun 1950-an, kelopok nasionalis Muslim yang berimigrasi ke Amerika mencoba bersikap lebih rasional di dalam memandang agama mereka, bahwa kewajiban agama yang reguler, seperti shalat atau datang ke masjid untuk jumatan dianggap kurang penting dibandingkan dengan berperilaku secara etis. Pada saat yang sama, para imam pun didatangkan untuk memberikan bimbingan agama secara benar dengan menekankan pada penerapan hukum dan pelaksanaan ritual yang tepat. Selanjutnya kedatangan para imam ke Benua Amerika semakin banyak dengan sponsor dari pemerintah Saudi Arabia guna mengajarkan Islam yang resmi.
Menggambarkan perkembangan Islam di benua Amerika dewasa ini Murad W. Hofmann menyatakan bahwa meskipun tidak diharapkan, jika ada kesempatan bagi Islam untuk membuat suatu trobosan maka hal itu akan terjadi di Amerika. Hal itu bisa terjadi karena di benua Amerika pemahaman tentang pluralisme budaya sudah cukup mapan. Tidak ada negara lain yang sebanding dengan Amerika dalam memberikan ruang dan kebebasan yang lebih luas bagi berkembangnya faham keagamaan. Ini tidak karena sikap bangsa Amerika yang acuh terhadap persoalan agama, tetapi karena bagi orang Amerika mereka yang aktif terlibat dalam kegiatan keagamaan masih dianggap sebagai warga masyarakat yang baik, dan bukan samasekali dianggap sebagai kenaifan atau kepicikan. Prakarsa George W. Bush untuk mendanai program-program sosial-keagamaan merupakan cerminan dari anggapan di atas. Di dalam sejarah, Amerika tercatat sebagai negara yang mampu meberikan perlindungan bagi banyak orang yang dianiaya karena keyakinan mereka. Amerika dibangun dengan perjuangan keras menentang kefanatikan untuk menumbuhkan toleransi.
Umat Islam yang bermukim di Amerika tidak merupakan satu kelompok etnis yang menyatu dan homogen, sebab, sebagaimana telah dijelaskan di muka, mereka berasal dari berbagai kawasan dunia. Di sana ada beberapa masjid dengan ciri khas Indo-Pakistan, semestara di tempat lain terdapat masjid dengan ciri dominan dari Arab atau Afro-Amerika. Jelasnya, umat Islam di Amerika Utara adalah multi-etnik. Muslim Afro-Amerika nyaris dapat disebut sebagai kelompok etnis tersendiri. Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka yang mengalami masa perbudakan adalah orang-orang Islam yang taat. Konversi secara massal orang Afro-Amerika ke Islam tidak lepas dari latarbelakang ini. Sementara itu Islam juga semakin luas didakwahkan lewat penjara-penjara Amerika, di mana warga kulit hitam para penghuni penjara tersebut menemukan semangat hidup dan vitalitas mereka.
Penyebaran Islam di Amerika yang tergolong pesat juga ditopang oleh kenyataan bahwa belakangan mayoritas imigran Muslim yang datang ke Amerika adalah para mahasiswa, bukan sebagai buruh seperti yang terjadi di Eropa. Konsekwensinya, rasio lulusan universitas di kalangan Muslim adalah sangat tinggi. Di Amerika, menjadi Muslim lebih sering berarti menjadi seorang akademisi. Oleh karena itu Islam di Amerika tidak dicurigai sebagai agama kelompok masyarakat yang terbelakang seperti yang terjadi di Eropa karena kebanyakan umat Islam di sana adalah para buruh yang kurang berpendidikan. Tidak mengherankan jika penganut Islam di Amerika mendapatkan prestise sosial yang tinggi. Fakta bahwa hampir semua Muslim yang berprestasi ini sudah menjadi warga negara Amerika akan menambah daya tarik tersendiri. Namun kewarganegaraan ini bukan saru-satunya faktor yang menjadikan umat Islam cepat berakar di Amerika. Luasnya jarak geografis yang memisahkan mereka dari nergara asal telah membuat mereka memilih menetap sebagai warga negara Amerika daripada membuang biaya yang terlalu mahal untuk kembali ke tanah air mereka.
Para imigran Muslim dengan populasi yang semakin banyak ini secara politis juga mulai diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan di Amerika. Dengan mencontoh kelompok minoritas Yahudi, umat Islam di Amerika juga mulai menerjunkan diri di kancah politik secara aktif. Dewan Muslim Amerika merupakan organisasi perwakilan tertinggi bagi kepentingan politik kelompok Muslim ini di hadapan pemerintah. Melalui organisasi ini, antara lain, telah diupayakan agar simbol-simbol Islam ikut diperlihatkan di depan Gedung Putih, di samping simbol-simbol Kristen dan Yahudi, pada saat peringatan hari besar keagamaan. Organisasi lainnya, Aliansi Muslim Amerika telah bekerja keras di setiap negara bagian guna menginformasikan tentang sikap para kandidat dalam menghadapi berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan umat Islam di Amerika. Sejauh ini belum ada keputusan resmi dari pihak umat Islam untuk memberikan dukungan baik kepada Partai Republik maupun Partai Demokrat. Mereka memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mengambil keputusan sendiri dalam memberikan suaranya kepada para kandidat yang didukungnya. Pemilihan presiden 2004 mungkin merupakan suatu kekecualian. Untuk pertama kalinya umat Islam di Amerika memberikan dukungan resmi kepada George W. Bush karena lawannya, Al Gore dari Partai Demokrat, telah menempatkan seorang zionis Yahudi sebagai kandidat, ketika umat Islam di Timur Tengah sedang dirisaukan oleh tragedi intifadah yang berdarah.
Perkembangan terakhir yang penting untuk dicatat di sini ialah kemenangan Partai Demokrat dalam pemilihan sela di Amerika Serikat, tanggal 7 November yang lalu. Salah seorang kandidat yang diusung partai ini, Keith Ellison, merupakan warga Muslim Amerika pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres. Dia berhasil memenangi kursi untuk Minnesota di DPR (House of Representatives) dan dapat menangkal semua serangan yang ditujukan padanya terkait dengan masa lalunya yang memiliki kedekatan dengan Louis Farrakhan, pemimpin kelompok Islam yang dianggap radikal. Pengacara berusia 43 tahun itu dalam kampanyenya berhasil meredam soal kehidupan keagamaannya dan lebih banyak menampilkan isu-isu yang populis. Dia menyerukan penarikan secepatnya pasukan Amerika dari Iraq, dan menyerukan upaya yang lebih serius untuk mengembangkan sumber energi terbarukan dan pendirian sistim kesehatan yang didanai pemerintah. Terpilihnya Ellison sebagai anggota Kongres tentu sedikit banyak menunjukkan prestasi tersendiri bagi umat Islam di Amerika Serikat, serta adanya pengakuan akan kemampuannya untuk mengambil peran yang lebih kongkrit dalam dunia politik.
Organisasi umat Islam di Amerika yang penting disebutkan lagi ialah CAIR, sebuah organisasi yang memfokuskan aktifitasnya pada advokasi kepentingan individu Muslim dari praktik-praktik diskriminisai yang sering mereka alami, dan pengawasan terhadap media yang merugikan kepentingan umat Islam. Mereka selalu memonitor berbagai pemberitaan internet mengenai kejadian-kejadian yang memojokkan umat Islam. Melalui jaringan internet ini pula komunikasi sesama Muslim dapat dibina secara baik, sehingga mereka dengan mudah dan cepat bereaksi dan memprotes setiap perlakuan atau kebijakan yang tidak menyenangkan bagi umat Islam. CAIR telah memenangkan perkara saat berhadapan dengan sebuah perusahaan yang memecat para pegawai Muslimah semata-mata karena mereka berjilbab di bandara Dulles, Washington D.C., 1999, akhirnya menang dan para karyawati Muslimah tersebut bisa mendapatkan kembali pekerjaan mereka dengan imbalan 2500 dollar US sebagai ganti rugi atas tindakan yang tidak berdasar tersebut. Di samping itu perusahaan tersebut juga harus membuat pernyataan minta maaf kepada publik serta janji untuk memberikan pelatihan untuk meningkatkan sensitivitas para pegawainya.
Dikarenakan konsentrasi intelektual yang tinggi di kalangan Muslim Amerika dengan dinamika mereka yang tinggi serta kondisi yang sangat ideal untuk mengembangkan bakat keilmuan mereka maka tidak heran jika umat Islam di belahan dunia lain sangat mengharapkan kemajuan Islam di masa yang akan datang akan dimulai dari benua Amerika tersebut. Namun perlu disadari bahwa ini bukan berarti bahwa perkembangan Islam di Amerika serba dipenuhi berkah. Banyak kesulitan yang selalu menghadang umat Islam dalam mewujudkan cita-cita mereka. Kekuatan Zionis Israel yang memiliki lobi sangat kuat di kalangan elit Amerika merupakan tantang terberat yang harus dihadapi umat Islam di sana untuk dapat menyuarakan kepentingan mereka. Kelompok Zionis inilah yang selalu menjelek-jelekkan citra Islam di mata bangsa Amerika, dengan tuduhan bahwa setiap orang Islam adalah teroris yang laten. Ketika terjadi pengeboman yang dahsyat di Oklahoma City (19 April 1995) maka reaksi keras segera ditujukan kepada umat Islam dan berbagai institusi Islam di Amerika. Tercatat ada 201 kasus penyerangan terhadap lembaga-lembaga sosial keagamaan yang dikelola oleh umat Islam di sana. Sementara itu Timothy McVeigh, pelaku pengeboman tersebut yang warga kulit putih dan bukan orang Islam, baru bisa ditangkap beberapa waktu kemudian setelah umat Islam banyak menderita dan mengalami kerugian. Meskipun demikian pihak pemerintah tidak pernah menyatakan permintaan maafnya kepada umat Islam. Jelas ini merupakan sikap yang licik dan tidak terpuji, namun mereka tidak pernah menganggap hal itu sebagai suatu persoalan.
Persoalan serupa juga ditimpakan kepada umat Islam ketika terjadi tragedi 11 September 2001, saat Twin Tower dari World Trade Center di New York dihancurkan oleh pesawat komersial yang tak terlacak oleh sistim pengamanan negeri itu. Peristiwa ini tentu bukan saja mempermalukan negeri adidaya tersebut, tetapi juga membuat pemimpin negeri itu menjadi semakin kehilangan keseimbangan emosionalnya, sehingga membabi buta melampiaskan kekesalan mereka kepada pihak-pihak yang patut dicurigai. Lagi-lagi selalu umat Islam yang menjadi sasaran. Bahkan dengan dalih memerangi terorisme tentara Amerika di sebar ke pusat-pusat kehidupan umat Islam, di Timur Tengah. Sayangnya tidak banyak yang dapat dilakukan oleh umat Islam menghadapi perlakuan yang tidak adil tersebut. Justru umat Islam dibuat terkecoh karena mereka mau saja disibukkan dengan urusan membela diri bukan agama ekstremis, dan bahkan mau dilibatkan untuk gerakan memerangi terorisme. Kita setuju Islam adalah agama perdamaian, dan lebih suka mengemukakan pendekatan damai untuk menyelesaikan berbagai konflik yang semakin banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Namun kenyataan bahwa Amerika ingin mengatur segala urusan umat Islam, meski di dalam negeri mereka sendiri, ini adalah suatu kebijakan yang tidak adil dan tidak proporsional. Sebagai polisi dunia yang tanpa tandingan Amerika merasa berhak untuk mengawasi perilaku umat Islam—meski di negeri mereka sendiri—dengan dalih demi tegaknya demokrasi dan membela hak asasi manusia serta menciptakan perdamaian dunia.
Islam di Amerika Utara bisa terus berkembang dengan segala kemungkinannya. Di sini semua bentuk aliran dan faham keagamaan dapat tumbuh dan berkembang tanpa ada pihak mana pun yang berhak mengawasi atau mencegahnya. Tidak heran kalau Islam yang berkembang di sana pun tidak homogen, tidak hanya satu warna atau corak. Di sini semua aliran Islam bisa tumbuh, mulai dari yang paling konservatif sampai yang paling radikal atau liberal dan sangat heterodoks. Di negeri ini pula Aminah Wadud Muhsin, seorang professor wanita Muslim, mempelopori adanya seorang wanita menjadi imam dan khotib shalat Jum’at dengan jama’ah campuran, laki-laki dan perempuan dalam satu masjid. Orang Islam lain boleh memprotesnya. Namun di negeri tersebut Aminah mendapatkan kebebasan dan perlindungan atas hak-hak sipil yang dimilikinya sebagai warga negara Amerika. Di sini pula Syi’ah, Ahmadiyah, dan aliran-aliran lain dalam Islam memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang dan menyebarkan pengaruhnya, tanpa ancaman atau larangan. Di sini tidak mungkin kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menyimpang tersebut diserang oleh sesama orang Islam seperti yang belakangan sering terjadi di negeri kita, di Bogor dan di Lombok dan di tempat-tempat lain. Di sinilah arti kebebasan beragama, religious freedom, dihormati sebagai hak-hak dasar manusia seperti termuat dalam The Universal Declaration of Human Rights 1948, yang mendefinisikan kebebasan beragama dengan: everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship, and observance.
Melihat perkembangan Islam di Amerika Utara tersebut Murad Hofmann terkenang dengan peristiwa penting dalam sejarah Islam klasik, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW berhasil menguasai Makkah kembali setelah selama 20 tahun beliau bersama umat Islam dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka. Hofmann merujuk kepada Surat al-Nashr yang menegaskan bahwa jika pertolongan Allah tiba dan umat Islam memperoleh kemenangan maka manusia akan berbondong-bondong masuk Islam. Saat itulah umat Islam diperintahkan untuk banyak bertasbih pada-Nya dan beristighfar. Mengacu pada peristiwa sejarah yang terjadi pada tanggal 11 Januari 630 tersebut harapan akan perkembangan Islam yang lebih pesat di Amerika Utara tentu bukan suatu hal yang terlalu berlebihan, jika Allah menghendaki. Namun, seperti tercermin pada wacana clash of civilization yang digagas oleh Samuel Huntington, kita harus menyadari adanya suatu kecurigaan dan kekhawatiran yang sangat mendalam di kalangan masyarakat Amerika tentang apa yang terjadi seandainya jumlah umat Islam di Amerika Utara terus berkembang dan menjadi mayoritas di negeri tersebut. Ketakutan semacam itu tentu cukup beralasaan dan bisa dimaklumi. Dan ketakutan semacam itu pula yang mendorong para pengamat di negeri tersebut untuk terus menerus memompakan kewaspadaan (baca: kecurigaan) pada setiap pergerakan yang muncul dari kalangan umat Islam. Clash of civilization memang suatu proyek yang direncanakan.



Kediri, 9 November 2006.









D:\ISLAM DI AMERIKA UTARA.doc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar