Sabtu, 14 Agustus 2010

Trend Perkembangan Islam

MENCERMATI TREND PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
PASKA REFORMASI:
SUATU ARUS BALIK?

Oleh Fauzan Saleh*)

Thanks to the hard works of the walis, Islam has been a real force, more overwhelming than that of yours. If you strive against it and assault it, you will never be able to subjugate it. The only way workable is to embrace it to a limited extent. Give Muslims their delicious side dishes, but, candidly and gradually, reduce their meal. Clad in Muslim attire to incite their admiration, but fill the heart beyond that attire with new fascinating legends instead of with exhortations of the walis. Meanwhile make them threatened with your personal glory by inventing these legends…. like your love affairs with Nyi Roro Kidul [the South Ocean Goddess].
Ki Jurumartani

The Islamization of Indonesia is still in process, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that people who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
G.W.J. Drewes.


Mungkin Anda pernah membaca sebuah karya besar yang amat menarik dari novelis terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul Arus Balik. Novel sejarah ini bercerita tentang upaya mengembalikan arah perjalanan sejarah, menentang “arus utara” yang begitu kuat merambah kawasan Nusantara sejak awal abad ke-16. Karya besar Pramoedya ini juga membawa semangat dan missi ingin membangkitkan “arus selatan,” untuk menandingi kuatnya penetrasi “arus utara” yang mula-mula didatangkan oleh para penjelajah Portugis. Semangat “arus selatan” sebenarnya bukan hanya milik para Sultan di sepanjang pantai utara Jawa abad ke-16 dan 17, tetapi juga dikumadangkan oleh para penguasa Muslim di berbagai wilayah yang kekuasaan mereka mulai digerogoti oleh para pendatang dari Barat. Mereka mengusung semangat yang sama: bagaimana kejayaan yang tadinya berasal dari selatan—dan kemudian hilang—bisa diraih kembali.
Semangat selatan dalam menggerakkan “arus balik” dalam novel sejarah ini, sayangnya, tidak diakhiri dengan happy ending. Akhir cerita tersebut justru menunjuk-kan betapa semakin tak berdayanya Selatan berhadapan dengan Utara. Islam yang mulai bertahan sebagai kekuatan baru mewakili wilayah selatan (menggantikan kekuatan Hindu-Buddha sebelumnya) dan berusaha mengembangkan sayapnya di tanah Jawa tak mampu berhadapan dengan berbagai tantangan yang sangat kompleks: Ia belum mampu tampil sebagai kekuatan politik yang solid menyatukan seluruh wilayah bekas kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha yang digantikannya. Di sisi lain, Islam juga belum sepenuhnya berhasil merubah tatanan nilai dan struktur budaya setempat, sesuai dengan doktrin yang sebenaranya diajarkan oleh agama ini. Islam baru diterima secara superfisial, sekedar lapisan luar yang tipis di atas inti budaya animisme atau Hinduisme yang masih kokoh. Islam sekedar menjadi “wadah” dari substansi animisme atau budaya lokal yang belum banyak berubah. Bersamaan dengan itu, kekuatan Islam yang belum seberapa tersebut harus berhadapan dengan penetrasi Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain yang datang kemudian. Kedatangan para penjelajah Eropa ini tidak hanya berusaha merebut sumber-sumber ekonomi rakyat pribumi, tetapi juga ingin mempengaruhi tatanan nilai dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat. Jelasnya, mereka juga berkepentingan untuk mengubah keyakinan penduduk pribumi untuk beralih menjadi pengikut agama mereka. Menentang semua bentuk penetrasi Utara inilah sebenarnya yang menjadi semangat Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan novel sejarahnya.

Selintas tentang Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam batas-batas tertentu, Pramoedya dengan novelnya tersebut juga memberi gambaran tentang awal perkembangan Islam di Indonesia sebagai suatu kekuatan sosial, politik dan militer pada periode formative. Dalam novel tersebut kita juga mendapatkan suatu gambaran bahwa meskipun Indonesia berada begitu jauh dari pusat penyebaran Islam di Timur Tengah, proses Islamisasi di Indonesia—sekalipun berlangsung cukup lambat—tidak pernah berhenti. Pasang surut proses Islamisasi terus dialami oleh setiap generasi di berbagai wilayah Nusantara. Masa-masa surut tentu saja dialami pada era penjajahan Belanda selama beberapa ratus tahun. Penguasa Belanda secara serius ber-usaha membatasi ruang gerak ummat Islam dengan mendekati golongan aristokrat yang, karena alasan-alasan politik tertentu, dikenal sebagai penganut Islam “setengah hati” atau bahkan memusuhi pemimpin-pemimpin Islam yang dianggap “militan.” Dengan mendekati golongan aristokrat ini pula penguasa Belanda berusaha menyebarkan keyakinan mereka, dengan dalih “fishing with the net proved to be more efficient than fishing with the hook” (menangkap ikan dengan jaring atau jala terbukti lebih berhasil daripada menggunakan kail). Para aristokrat, sebagai penguasa lokal, telah diperguna-kan oleh Belanda sebagai “jaring” untuk mengajak rakyatnya berpindah agama secara massive. Atau, paling tidak, dengan memberikan pendidikan model Belanda yang anti-Islam kepada mereka, kalangan aristokrat tersebut menjadi semakin jauh dari Islam dan tak peduli dengannya. Mereka sangat dibatasi untuk mengenal Islam dan kepada mereka diajarkan bahwa agama yang sesuai dengan kepribadian dan budaya mereka adalah agama nenek moyang sebelum datangnya Islam. Islam seperti yang diajarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional dianggap tidak lebih dari sekedar “sampah dari abad pertengahan yang dibawa-bawa oleh penganut agama ini sepanjang sejarahnya.”
Namun di balik semua usaha kaum penjajah untuk menjauhkan penduduk pribumi dari Islam, Islam masih memiliki daya tarik tersendiri dan tetap menjadi benteng pertahanan yang cukup kuat untuk menghadapi penetrasi budaya asing tersebut. Ini terbukti dengan adanya enclaves atau kantung berupa kampung “kauman,” “putihan” dan pesantren di berbagai wilayah Nusantara. Terlepas dari propaganda pihak Belanda kepada kalangan aristokrat tentang kejelekan Islam, di wilayah-wilayah kantung ini Islam masih terus dijadikan keyakinan rakyat setempat dan menjadi sumber semangat mempertahankan diri dari penetrasi penjajah. Di tempat-tempat seperti inilah semua warisan tradisi keislaman dilestarikan. Di sini pula ummat Islam di Nusantara berusaha memperdalam keyakinan dan mengembangkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran agama. Bahkan pendidikan Belanda yang tadinya dimaksudkan untuk menjauhkan penduduk pribumi dari Islam, dalam batas-batas tertentu, juga memberi manfaat bagi penyebaran Islam sendiri. Di antara pegawai rendahan yang diangkat oleh Belanda (khususnya yang di Sumatra) ternyata masih banyak yang memiliki komitmen terhadap Islam. Mereka dianggap oleh rakyat sebagai kalangan terdidik yang telah mencapai kemajuan yang sangat hebat. Keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan dan menjalankan ajaran Islam juga sangat dikagumi rakyat dan menumbuhkan semangat mereka untuk tetap menganut agama ini. Di samping itu, penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara juga mempunyai peran yang sangat besar bagi penyebaran Islam. Salah satunya, karena bahasa Melayu (masih) menggunakan huruf Arab sebagai medium penulisannya maka hal itu memperteguh keyakinan sebagian rakyat bahwa mereka akan bisa maju dan terdidik jika mareka mau memeluk agama Islam. Di sisi lain, pengetahuan modern yang diberikan oleh lembaga pendidikan Barat telah membukakan wawasan rakyat pribumi untuk mengenal kemajuan dan mendorong mereka untuk meninggalkan tradisi animisme atau dinamisme, suatu proses pencerahan yang menjadi salah satu tujuan dari missi penyebaran Islam itu sendiri.

Polarisasi Modernis – Tradisionalis
Mengikuti perkembangan Islam di Indonesia semenjak diperkenalkannya sistim pendidikan modern oleh kaum penjajah kita menyaksikan berbagai variabel yang semakin mengkristal. Semenjak dekade kedua abad ke-20, ummat Islam di Indonesia terpolarisasi menjadi kelompok modernis dan tradisionalis, masing-masing dengan cirinya yang khas. Menurut pengamatan Clifford Geertz yang terkenal dengan kajiannya tentang karakteristik Islam di Indonesia yang ia bedakan menjadi santri, abangan dan priyayi, Islam di Indonesia pada dekade 1950-an dapat dicirikan sebagai adanya pertentangan antara kalangan modernis dan tradisionalis. Secara garis besar perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
1. Kalangan tradisionalis lebih menekankan hubungan dengan Tuhan dari sisi berkah dan ganjaran dari kebaikan moral dan amal adalah sepenuhnya merupakan ketentuan dari kehendakNya. Bagi kalangan modernis, bentuk hubungan dengan Tuhan ini diwujudkan dengan adanya kerja keras dan penentuan nasib sendiri (self determination).
2. Kaum tradisionalis cenderung berpandangan “totalistik” dalam hal peran agama dalam kehidupan, di mana seluruh aspek kehidupan didasarkan atas pertimbangan agama, dan batasan antara agama dan kehidupan profan menjadi kabur. Bagi kaum modernis hubungan antara agama dan kehidupan duniawi ini lebih sempit, yaitu sebatas hal-hal yang telah didefinisikan secara tegas, sehingga batasan antara yang sakral dan yang profan menjadi tegas.
3. Kelompok tradisionalis cenderung kurang peduli (meskipun masih tetap peduli) dengan issue kemurnian akidah mereka dan membiarkan praktek-praktek ritual non-Islam, setidak-tidaknya sebagian kecil darinya, untuk tetap dijadikan amalan mereka. Kalangan modernis lebih menjaga kemurnian akidah dan praktek keagamaan mereka dari hal-hal yang berasal dari luar Islam.
4. Kaum tradisionalis menekankan “aspek konsumtif” dari amaliah keagamaan, dan mementingkan pengalaman keagamaan. Bagi kaum modernis, aspek instrumental dari agama lebih ditekankan, dan mereka lebih peduli dengan sikap keagamaan, ketimbang pengalaman keagamaan semata.
5. Kaum tradisionalis cenderung membenarkan praktek-praktek yang didasar-kan pada adat-istiadat dan pendapat para ulama masa lalu. Kaum modernis lebih menggunakan jastifikasi keagamaan berdasarkan nilai-nilai pragmantis-nya dalam kehidupan kontemporer dan merujuk kepada teks-teks al-Qur’an dan Hadits serta menafsirkannya secara longgar.

Pada dasarnya pebedaan antara keduanya dalam hal doktrin dapat disimpulkan sebagai yang bersandar kepada “ketentuan nasib” lawan “penentuan nasib sendiri,” pandangan keagamaan yang totalistik melawan pandangan yang terbatas, yang sinkretis melawan yang puritan, kecenderungan mementingkan pengalaman beragama melawan penekanan kepada aspek instrumental dari agama, dan kecenderungan membenarkan praktek-praktek keagamaan berdasarkan adat-istiadat dan pendapat para ulama masa lalu berhadapan dengan pembenaran berdasarkan bunyi teks al-Qur’an dan Hadits. Berdasar-kan perbedaan ini semua, Geertz menegaskan bahwa bukanlah suatu kebetulan semata jika orang beranggapan bahwa kalangan tradisionalis, secara kultural, sebenarnya lebih dekat dengan kelompok abangan. Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa karena pembedaan ini didasarkan pada penelitian Geertz pada dekade 1950-an, maka tidak semua aspek yang dibedakan tersebut tetap berlaku sampai sekarang. Kaum tradisio-nalis, terlepas dari gambaran yang diberikan oleh Geertz di atas, sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Kalangan tradisionalis—sebagaimana halnya “kaum santri” lainnya—juga telah terangkat tingkat sosial dan ekonominya selama beberapa dekade belakangan. Bersamaan dengan itu, dengan semakin tingginya fluktuasi gesekan atau mobilitas yang mereka alami, mereka semakin terbuka terhadap pemahaman doktrin-doktrin yang lebih murni. Perubahan serupa juga dialami oleh kalangan abangan, meskipun dalam kadar yang berbeda.

Skripturalis – Substansialis
Dalam karyanya yang lain, Islam Observed (1967), Geertz masih menunjukkan kepeduliannya dengan karakteristik Islam di Indonesia, dengan menyoroti sikap keaga-maan kaum modernis yang cenderung mengarah kepada skripturalisme. Geertz meng-asumsikan betapa kuatnya kecenderungan skripturalis dari kalangan modernis ini, sehingga ia berkesimpulan bahwa kecenderungan inilah yang sangat dominan mewarnai kehidupan ummat Islam di Indonesia. Berdasarkan pengamatannya pula Geertz mene-gaskan bahwa dinamika modernisasi tidak mampu menggoyahkan pemikiran skripturalis ini. Lebih jauh Geertz beranggapan bahwa pemikiran skripturalis inilah yang menjadi mainstream Islam di Indonesia dan mendominasi perdebatan intelektual ummat Islam di negeri ini selama dekade 1950-an. Sayang, Geertz sudah kurang tertarik untuk melihat perkembangan Islam di Indonesia pada beberapa dekade sesudahnya. Pengamatan terha-dap perkembangan Islam di Indonesia selanjutnya diteruskan oleh para Indonesianis lain, seperti Robert W. Hefner, Mitsuo Nakamura, James L. Peacock, R. William Liddle, Daniel S. Lev dan lain-lain. Mereka mengemukakan pandangan yang berbeda-beda tentang perkembangan Islam di Indonesia di era kontemporer sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing.
Berbeda dengan pandangan pessimistis Clifford Geertz di atas, pengamatan lebih terkemudian terhadap perkembangan Islam di Indonesian menunjukkan bahwa ruang gerak pemikiran Islam skripturalis semakin menyempit, dan hampir kehilangan pesona-nya. Melalui proses sosio-kultural yang panjang, pemikiran-pemikiran keislaman yang bercorak skripturalis mulai melemah, sejalan dengan semakin luasnya kesempatan ummat Islam untuk mendapatkan akses ke pendidikan modern yang memperluas wawasan mereka. Sejak dekade 1970-an, corak pemikiran yang berkembang dan terus menguat ialah pemikiran keislaman yang substansialis. Model pemikiran ini semakin diminati dan mendapat sambutan yang semakin luas, karena dinilai lebih cocok dengan realitas masyarakat Indonesia yang plural. Proses modernisasi yang intensif sejak awal 1970-an telah mendorong penguatan pemikiran Islam substansialis dan sekaligus mem-persempit ruang gerak pemikiran kaum skripturalis, sekalipun tidak mungkin bisa meng-gantikannya atau menghilangkannya sama sekali.
Modernisasi telah membawa perubahan besar pada hampir semua dimensi kehi-dupan masyarakat. Modernisasi juga telah mengantarkan masyarakat Muslim ke sebuah wacana atau pemikiran baru yang lebih relevan dengan kemajuan zaman. Melalui proses modernisasi pula ummat Islam mampu tampil secara modern, merambah ke berbagai spektrum kehidupan sosial, budaya dan politik. Islam, jauh dari kesan tradisional, kolot dan terbelakang, telah begitu menjiwai modernitas zaman serta menjadi spirit dalam dinamika kemodernan itu sendiri. Ini tercapai, antara lain, berkat semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan modern, baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun yang diupayakan oleh lembaga-lembaga swasta. Pendidikan, dalam hal ini, telah berfungsi sebagai fasilitas yang menjembatani kesenjangan antara kebodohan dan konservatisme massa rakyat dengan modernitas yang ditonjolkan oleh kalangan penguasa.
Mengapa ruang gerak skripturalis menjadi sempit dalam proses modernisasi tersebut? Ini tidak lepas dari beberapa ciri pemikiran skripturalis, antara lain: (1) Bersifat normatif, bertumpu semata-mata pada teks yang menjadi pedoman bakunya. (2) Kurang memberi tempat kepada upaya penafsiran baru atas teks-teks normatif. (3) Sering menutup rapat pintu dialog untuk mengembangkan wacana pemikiran alternatif. (4) Kurang toleran terhadap perbedaan pendapat, karena terkungkung oleh nilai-nilai normatif yang menjadi pegangannya, dan (5) lebih mengutamakan dimensi formalisme-legalisme dan simbolisme. Dengan ciri-ciri seperti ini maka dapat dikatakan bahwa ekspresi pemikiran keislaman skripturalis cenderung mementingkan label daripada substansi, kemasan jauh lebih diutamakan dari isi. Ide tentang negara Islam, partai Islam, dan segala sesuatu yang berlabel Islam merupakan wujud nyata dari pandangan skripturalis ini.
Berbeda dengan ciri-ciri skripturalis di atas, pemikiran substansialis dapat disebutkan ciri-cirinya, antara lain: (1) Tidak terkungkung semata-mata oleh nilai normatif, sehingga lebih leluasa dalam memahami teks dan tradisi Islam secara terbuka dan dinamis. (2) Teks dan tradisi Islam tidak dijadikan sebagai sistim kredo yang beku, sehingga tidak menutup peluang bagi interpretasi baru sesuai dengan perkembangan kontemporer. (3) Dalam pemikiran kaum substansialis, teks-teks normatif itu akan lebih bermakna bila dilakukan penafsiran ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, di mana pemahaman terhadap teks tak bisa lepas dari pemahaman terhadap konteks. (4) Isi jauh lebih dipentingkan dari bentuk atau label, sehingga sedapat mungkin berusaha menjauhi hal-hal yang bersifat simbolis, legal formalistis semata. (5) Berusaha agar nilai-nilai universal Islam seperti keadilan sosial, demokrasi, toleransi dan egalitarianisme dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat untuk dijadikan etika sosial. Dalam hal terakhir ini upaya mewujudkan keadilan sosial jauh lebih penting dari berdebat soal negara Islam atau partai Islam.
Selain faktor modernisasi, pemikiran substansialis dapat berkembang lebih subur karena kesadaran akan adanya pluralisme. Berbeda dengan asumsi Geertz tahun 1950-an, pada era 1980-an ke depan pemikiran Islam substansialis telah menjadi mainstream dalam pemikiran keislaman di Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia yang majemuk telah menyediakan lahan subur bagi berkembangnya pemikiran substansialis ini. Para pemikir substansialis lebih peduli dengan upaya menyuarakan pesan moral daripada menonjolkan atribut formal, sehingga memungkinkan untuk mengakomodasi kepen-tingan bangsa yang lebih luas. Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia selama lebih kurang dua dekade terakhir juga ditandai oleh munculnya ketegangan-ketegangan kreatif antara kedua corak pemikiran yang berdeda tersebut, terutama pada tataran artikulasi politik. Dalam hal ini artikulasi pemikiran politik kalangan skripturalis lebih kental warna ideologisnya, dengan semangat memperjuangkan agar Islam menjadi kekuatan legal dalam kehidupan kenegaraan. Wujud kongkrit yang dicita-citakan ialah penegasan Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Dalam memperjuangkan agenda politiknya mereka menggunakan pendekatan non-integratif dan bersifat partisan, serta memandang bahwa parlemen merupakan pilihan tunggal untuk dijadikan medan perjuangan. Dengan menggunakan logika linear, mereka beranggapan bahwa partai Islam adalah wadah satu-satunya untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam.

Suatu Perkembangan Baru
Namun dari berbagai macam perkembangan tersebut ada suatu bentuk perkem-bangan baru yang cukup menjanjikan bagi suasana kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang. Selama beberapa dekade terakhir abad ke-20, Islam di Indonesia telah tampil secara lebih elegan, bisa diterima oleh berbagai pihak dengan mengesampingkan kecurigaan-kecurigaan atau asumsi-asumsi negatif yang pada masa sebelumnya cukup lekat dengannya. Islam sudah tidak dicurigai sebagai agama yang ekstrim, hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dan tidak peduli dengan kepentingan bangsa secara umum. Kecurigaan tehadap ambisi ingin mendirikan negara Islam di Indonesia sudah semakin tipis, dan kesediaan ummat Islam untuk ikut serta dalam proses modernisasi dan pembangunan sudah cukup nyata kelihatan. Tokoh-tokoh yang tampil sudah bukan dari kalangan yang sebelumnya dicurigai sebagai yang terobsesi ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Terlepas dari berbagai kritikan dan koreksi terhadap “pemaksaan” penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial dan politik yang ada, hal tersebut telah mengkondisikan adanya kehar-monisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan intern ummat bergama juga semakin kondusif untuk saling membuka diri dan memungkinkan dieliminirnya sekat-sekat sektarianisme atau keterikatan primordialisme.
Untuk menjadi Muslim yang baik, orang tidak harus menetapkan label golongan tertentu atau mengikuti suatu madzhab tertentu sebagai anutannya. Sebaliknya, kecen-derungan untuk saling mencemooh atau mendeskreditkan kelompok lain karena perbe-daan cara-cara mengamalkan ritual agamanya juga semakin berkurang. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa suatu masjid yang tadinya diklaim sebagai milik kelompok tertentu juga didatangi oleh anggota kelompok lain untuk melaksanakan ibadah atau menghadiri pengajiannya. Bahkan semakin banyak masjid dibangun tidak atas nama suatu kelompok atau mewakili suatu warna kelompok tertentu. Demikian pula dengan fasilitas pendi-dikan yang dikelola oleh suatu kelompok sering dipenuhi oleh pemuda-pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan dari anggota kelompok lain yang berbeda afiliasi keagama-annya. Dalam hal ini fasilitas pendidikan agama yang diberikan oleh pemerintah juga sangat besar sekali peranannya. Sebagai lembaga pendidikan publik yang difasilitasi pemerintah ia harus mengayomi semua golongan dan sudah barang tentu tidak boleh memihak atau mencirikan warna golongan tertentu. Ini sesuai dengan janji pemerintah bahwa pemerintahan dibangun untuk melindungi kepentingan semua golongan, terma-suk dalam hal ini ialah yang berkaitan dengan aqidah dan keyakinan. Yang jelas, selama masa tersebut, sekat-sekat sektarianisme tampak begitu mencair dan tidak ada hambatan psikologis untuk saling menyapa dan bersahabat akrab.
Dalam kondisi seperti itu pula sebenarnya ummat Islam telah menuai banyak keuntungan kultural. Kalau dulu, pada tahun 1950-an, orang saling mencaci karena pendukung partai tertentu dianggap “tidak santri” meskipun ia taat beribadah dan menjalankan semua perintah agamanya, pada masa dekade-dekade terakhir abad ke-20 orang semakin sadar bahwa untuk menjadi Muslim yang baik orang tidak mesti harus mendukung suatu partai atau kelompok tertentu yang mengusung label Islam secara eksklusif. Hilangnya sekat-sekat sektarianisme di kalangan ummat Islam sungguh merupakan suatu prestasi yang layak disyukuri dan dipertahankan oleh semua pihak. Ini merupakan hasil perjuangan dan penyadaran yang terus menerus diupayakan dengan tidak mengenal lelah selama bertahun-tahun. Dengan mengedepankan Islam yang inklusif, tidak sektarian, Islam telah mampu menarik banyak kalangan untuk bergabung atau menyatakan diri secara tegas sebagai Muslim yang taat. Lebih dari itu semua, sekarang tidak ada hambatan bagi seseorang untuk menyatakan diri sebagai Muslim atau menggunakan simbol-simbol identitas keislaman. Kenyataan terkini bahwa pendirian partai politik berlabel Islam tidak menimbulkan banyak kecurigaan—bahkan dilihat sebagai hal yang wajar untuk menyuarakan hak politik suatu kelompok—pada dasarnya merupakan bagian dari “keuntungan kultural” ini.
Bila kita cermati keseluruhan perkembangan Islam di Indonesia sejak kurang lebih tiga dekade terakhir abad ke-20, akan kita lihat beberapa kemajuan yang dapat di-sebut sebagai perluasan budaya santri atas budaya abangan, sejalan dengan semakin semaraknya kesadaran beragama pada sebagian besar anggota masyarakat. Ada bebe-rapa faktor yang dapat digaris-bawahi sebagai pendukung terhadap perluasan budaya santri ini, seperti:
1. Adanya upaya terus menerus dari para ulama dan intelektual Muslim untuk mem-berikan rumusan doktrin teologis yang mudah diterima dan bisa dijadikan pedoman dalam memperkuat keyakinan. Formulasi instan dalam wacana teologis ini barang-kali pertama-tama diberikan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1929, dalam rumusan Kitab al-Iman. Dengan menggunakan rumusan bahasa Indonesia, di samping teks Arabnya, Kitab al-Iman telah memberikan kemudahan kepada masya-rakat luas untuk memahami doktrin pokok keyakinan ini. Begitu rumusan dasar ini telah digariskan secara mapan dan dilanjutkan dengan elaborasi beberapa pokok keyakinan berkaitan dengan upaya-upaya pemurnian tauhid oleh tokoh-tokoh yang lain (K.H. Mas Mansoer, A. Hassan, Hamka, dll.), maka tampillah Harun Nasution dengan rumusan teologisnya yang lebih sistimatis dengan muatan-muatan yang lebih kompleks. Upaya-upaya Harun Nasution telah membuahkan sukses besar, terutama karena dukungan kelembagaan yang diberikan oleh IAIN dalam menyebarkan pandangan-pandangan teologisnya yang innovatif. Kedatangan Nurcholish Madjid memperteguh keberhasilan pengembangan wacana teologis yang dipelopori Harun Nasution. Madjid tidak hanya memperbaiki substansi dasar wacana teologis yang diberikan oleh Nasution, tetapi juga memperluas basis wacana tersebut dengan menjabarkan bagaimana menempatkan wacana teologis yang lebih canggih ini dalam konteks budaya Indonesia yang bisa diterima secara luas untuk menunjang proses demokratisasi.
2. Pembaharuan sistim politik yang secara tidak sengaja telah memberikan dukungan terhadap penyebaran budaya santri. Salah satu kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru ialah kebijakan “massa mengambang” (floating mass), yang dengannya partai politik tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas politiknya di tingkat desa. Demi menunjang keberhasilan pembangunan, rakyat di-depolitisir, atau dijauhkan dari persoalan-persoalan politis, kecuali sekali dalam lima tahun, yaitu dalam pemilihan umum. Bagi ummat Islam, meskipun kebijakan ini dinilai telah merugikan hak-hak politik mereka, mereka tetap mendapatkan manfaat tersendiri, yaitu dengan semakin berkurangnya konflik-konflik ideologis yang ditim-bulkan oleh perbedaan afinitas ideologis-primordial. Demikian pula halnya dengan kebijakan asas tunggal yang semula banyak ditentang, ternyata masih bisa memberikan dampak positif tersendiri bagi ummat Islam berupa terciptanya kohesifitas ummat. Dalam masa seperti itu, tidak ada lagi satu partai Islam pun yang secara legitimate bisa mengklaim ideologi partainya sebagai satu-satunya representasi Islam di Indonesia. Lebih dari itu, seperti telah disinggung di atas, tidak ada lagi ancaman politis bagi warga masyarakat untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang sebenarnya. Menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang taat sudah tidak perlu dicap sebagai orang yang fanatik, sehingga semakin banyak pula orang yang tidak ragu-ragu untuk menyatakan keislamannya, baik di tempat kerja, ruang publik maupun di tempat-tempat rekreasi.
3. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama sangat besar sekali peranannya dalam mengembangkan budaya santri ini. Semua siswa pada seluruh tingkat pendidikan diharuskan mengikuti pelajaran agama, termasuk dalam pendidikan umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi juga semakin menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan mahasiswanya dalam mengamalkan perintah agama atau memperdalam pengetahuan agama mereka. Banyak dana telah dihimpun untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan di kampus ini. Oleh karena itu tidak heran jika justru dari perguruan-perguruan tinggi umum inilah tampil banyak pemimpin agama atau muballigh yang tekenal secara luas, seperti Imaduddin Abdurrahim, Jalaluddin Rahmat, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan M. Amien Rais, sekedar menunjuk beberapa contoh.
4. Intensifikasi pelaksanaan dakwah Islam. Kegiatan dakwah yang semakin intensif telah memenuhi sebagian besar keinginan masyarakat untuk memperkaya pengeta-huan agama mereka. Dakwah yang bersifat fleksibel dan disajikan dengan berbagai variasi ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan budaya santri. Tampaknya dengan intensifikasi pelaksanaan dakwah ini pula sisa-sisa animisme, takhayul dan khurafat semakin terkikis. Salah seorang pengamat Barat yang mengkaji tentang tradisi slametan menunjukkan bahwa pelaksanaan dakwah yang intensif telah ikut berperan dalam mengurangi sisa-sisa animisme dalam tradisi slametan ini. Slametan yang tadinya merupakan ritual pemberian sesaji kepada kekuatan ghaib untuk mendapatkan perlindungan dari segala bencana atau mala-petaka, menurut Eldar Braten, sudah semakin diwarnai oleh unsur-unsur keislaman. Bahkan istilah slametan sekarang sudah banyak ditinggalkan, diganti dengan istilah tahlilan, suatu terminologi yang bersumber dari doktrin Islam. Oleh karena itu, terlepas dari makna simbolis dari makanan yang disajikan (ini pun juga sudah semakin jauh dari makna animistis), slametan sudah semakin dekat dengan tradisi yang diakui oleh Islam. Demikian pula halnya dengan tradisi ziarah qubur yang tadinya lebih kental dengan simbol-simbol animistis berupa pemujaan kepada arwah nenek moyang untuk mendapatkan berkah, wangsit dan pangestu dengan memberi-kan sesaji tertentu, sekarang sudah semakin banyak ditinggalkan. Dengan semakin dalamnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran agamanya, sekarang ziarah qubur tidak lagi dimaksudkan untuk mendapatkan berkah tetapi sekedar untuk mendoakan ahli kubur atau mengingatkan seseorang akan akhir kehidupan duniawinya. Dengan kata lain, orientasi keagamaan yang bersifat animistis dengan “memuja” nenek moyang telah berubah menjadi lebih dekat kepada doktrin Islam yang sebenarnya, dengan mereorientasikan keyakinan mereka kepada Allah semata. Namun yang lebih penting lagi ialah suatu kenyataan bahwa nama Allah lebih banyak disuarakan dan disebut dalam kehidupan sehari-hari, lewat pengeras suara di masjid-masjid, pengajian umum, dan oleh anak-anak yang belajar membaca kitab suci al-Qur’an.
Dengan gambaran seperti di atas, tampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya Islam di Indonesia, secara teologis, sudah berkembang semakin positif. Semakin banyaknya anggota masyarakat Muslim yang menyadari perlunya meninggalkan tradisi-tradisi lama yang tidak memiliki dasar dalam sumber doktrin Islam merupakan cerminan dari perluasan budaya santri di atas budaya abangan. Kondisi seperti ini pula kiranya yang menjadi perhitungan pihak-pihak pengambil keputusan dalam bidang politik semenjak beberapa waktu yang lalu. Ummat Islam sebagai konstituen terbesar di tanah air, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, layak menda-patkan perhatian secara proporsional dari setiap penentu kebijakan. Mungkin atas dasar pertimbangan seperti ini pula bahwa pemimpin partai pemenang pemilu 1999 yang lalu harus meluruskan persepsi bahwa nasib ummat Islam di Indonesia sebetulnya tidak hanya menjadi perhatian dan kepedulian partai-parati berlabel Islam semata, tetapi juga harus menjadi kepedulian seluruh partai yang memiliki kesadaran terhadap perlunya mempertahankan kesatuan atau integritas bangsa.

Paska Reformasi?
Sekarang, bagaimana kita melihat perkembangan lebih lanjut dari semua prestasi yang pernah dicapai seperti diuraikan di atas? Kalau kita semua sepakat bahwa hilang-nya sekat-sekat sektarianisme sebagai suatu prestasi yang layak kita syukuri bersama serta mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan Islam, maka sejauh mana kondisi sekarang ini mendukung “prestasi” tersebut. Bisakah suasana saling akrab dan ramah menyapa antara sesama Muslim di Indonesia yang pernah terbina sebelum ini kita wujudkan kembali? Atau, gambaran apa yang sebenarnya lebih tepat kita gunakan untuk mendeskripsikan hubungan antar ummat Islam sekarang ini, setelah gelombang reformasi berjalan selama kurang lebih empat tahun? Apakah suasana saling menghujat, bahkan seruan yang amat ekstrim “menghalalkan darah” orang Islam lain—karena perbedaan visi politik—itu bukan merupakan titik balik dari semua upaya membangun Islam yang inklusif selama ini? Masih bisakah kita temukan sisa-sisa pengakuan atas hak-hak asasi orang lain untuk mengemukakan aspirasinya tanpa merasa terancam keselamatannya oleh kelompok yang merasa dominan? Indonesia yang diklaim sebagai negara hukum—bukan negara kekuasaan—tampaknya semakin jauh dari idealisme seperti itu jika kita mengacu kepada perkembangan yang terjadi belakangan. Ketidak mampuan suatu kelompok untuk melihat adanya perbedaan tampaknya akan membalik-kan kita semua kepada suatu masa di mana segala sesuatu harus seragam (pakaian, ideologi, wacana, dan bahkan mungkin pola fikir), dan menyalahi keseragaman adalah hambatan yang harus dimusuhi, bahkan kalau perlu dibasmi.
Kembali kepada “arus balik” yang disuarakan oleh Pramoedya Ananta Toer di awal uraian ini, ada semacam kekhawatiran bahwa semangat itu sekarang sedang ditum-buhkan oleh mereka yang berkepentingan. “Arus balik” bisa dimunculkan untuk suatu kepentingan tertentu dan dengan menggunakan berbagai pretext, termasuk upaya-upaya dekonstruksionisme yang menjiwai postmodernisme atau post-tradisionalisme. Apakah memang arah itu yang sedang ditempuh dalam perjalanan bangsa kita ke depan? Mudah-mudahan asumsi ini tidak benar, dan barangkali akan sangat bijak jika kita ikuti suatu seruan untuk memelihara hal-hal yang baik dari khazanah masa lalu yang mendatangkan manfaat, sementara kita juga bersikap akomodatif dan terbuka terhadap hal-hal baru yang sekiranya akan mempersegar semangat kita untuk berinovasi dalam menyongsong masa depan. Pengakuan dan kesa-daran bahwa pluralisme adalah suatu keniscayaan sejarah seharusnya dapat membim-bing kita kepada kedewasaan untuk mempercepat proses demokratisasi. Perkembangan Islam yang telah diupayakan sebagai agama yang ramah, santun dan mengayomi hendaknya terus kita pertahankan, bukan lagi Islam—meminjam istilah Akbar S. Ahmed—yang diasosiasikan dengan ancaman bom, keberingasan, pembakaran atau pengrusakan.
Memang harus diakui bahwa, seperti yang dikemukakan oleh Drewes dalam kutipan di awal tulisan ini, sampai saat ini pun proses Islamisasi di Indonesia masih belum final. Islamisasi di tanah air kita masih terus berlangsung; bukan hanya dalam pengertian bahwa Islam terus menyebar kepada masyarakat pagan, tetapi juga bahwa anggota masyarakat yang telah mengaku menganut agama Islam sejak berpuluh-puluh atau bahkan beratus tahun yang lalu sekarang semakin sadar akan perlunya memenuhi standar kehidupan yang lebih Islami. Setidak-tidaknya hal tersebut tercermin dalam penampilan simbolis yang semakin semarak. Namun yang simbolis itu masih belum cukup, meskipun sudah lebih baik. Ada yang lebih essensial dari sekedar menampakkan simbol, yaitu mewujudkan kommitmen keagamaan dalam kehidupan yang lebih kongkrit dalam bentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial, serta perilaku keaga-maan yang lebih cerdas. Dalam euforia reformasi yang masih terus menggelora, kita tidak boleh kehilangan momentum untuk meningkatkan kualitas kehidupan bergama ini. Kommitmen kita pada ajaran-ajaran Islam harus dapat kita wujudkan dalam upaya memperkokoh semangat menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih positif.
Kesadaran atau komitmen terhadap kebenaran agama harus kita refleksikan dalam mencegah segala bentuk penyimpangan baik dalam perilaku sosial, praktek-praktek ekonomi maupun perilaku politik berupa penyalah-gunaan kekuasaan. Untuk itu perlu diingatkan kembali seruan salah seorang pemimpin nasional kita, Dr. M. Amien Rais, beberapa tahun yang lalu tentang perlunya menjunjung tinggi supremasi moral, dengan menjadikan moralitas sebagai “panglima.” Korupsi, kebiasaan menyuap, kolusi dan nepotisme yang benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan ini harus dihentikan, kalau kita menghendaki tegaknya supremasi hukum. Untuk itu, seperti yang dianjurkan oleh M. Amien Rais lagi, sistim moralitas yang lembek harus segera ditinggalkan, diganti dengan sistim atau tatanan moralitas yang tegas dan rigid. Dengan tatanan moralitas yang tegas dan rigid inilah kiranya batasan halal dan haram itu diakui dengan tegas, sehingga hal-hal yang dalam istilah agama disebut syubuhat itu akan dengan mudah dijauhi. Namun sistim moralitas yang tegas itu tampaknya tidak akan terwujud kalau landasan teologisnya tidak kuat. Dengan kata lain, untuk mewujudkan tatanan moralitas yang tegas diperlukan adanya sandaran teologis yang tegas pula. Untuk itu, teologi al-Asy’ari yang telah berabad-abad dijadikan anutan oleh kalangan ummat Islam Sunni, termasuk yang di Indonesia, perlu ditinjau ulang, terutama karena sifatnya yang permissive dan terlalu toleran terhadap pelanggaran norma-norma agama dan moral. Memang untuk menjadi Muslim, pertama-tama orang hanya dituntut untuk mengucapkan syahadat. Namun sebagai seorang Muslim ia selanjutnya dituntut untuk menjalankan syari’at agamanya, mengikuti semua doktrin teologis dan menunjukkan kommitmennya terhadap tatanan moralitas yang diajarkan oleh agama ini.

Theistic Subjectivism –Rationalistic Objectivism
Kiranya sudah tiba saatnya bagi ummat Islam di Indonesia untuk mengarahkan perhatiannya kepada teologi rasional sebagai landasan untuk menegakkan tatanan moralitas yang lebih tegas. Moralitas lembek (soft morality) dan permissive yang biasa dikaitkan dengan teologi al-Asy’ari telah sering disalahgunakan untuk mentolerir berba-gai bentuk penyimpangan dalam perilaku sosial seseorang maupun dalam kegiatan- kegiatan ekonomi dan politik. Moralitas lembek juga tak mampu berbuat banyak untuk mengembangkan upaya-upaya meningkatkan disiplin pribadi seseorang. Ini terutama karena lemahnya rasa tanggungjawab manusia dalam sistim “teologi permissive” al-Asy’ari yang mendasarinya. Teologi al-Asy’ari yang banyak dianut oleh ummat Islam Indonesia (termasuk kaum modernisnya) lebih menyandarkan segala keputusan kepada kehendak Allah yang Maha Kuasa. Oleh karena itu sistim moralitas yang dibangunnya pun bersifat “theistic subjectivism.” Sebutan “subjektivisme” dipakai untuk menunjuk-kan bahwa setiap nilai atau kualitas dari suatu tindakan ditentukan oleh “kemauan” subjek yang menghendaki terjadinya tindakan itu, baik berupa perintah, pernyataan, anjuran, larangan ataupun persetujuan dan ketidak-setujuan. Ia juga disebut “theistic” karena subjek dimaksud adalah Tuhan sendiri. Pemahaman teologi seperti ini kurang memberi tempat yang tegas pada tanggungjawab manusia atas tindakan-tindakan yang dilakukan. Bahkan secara arbitrer, orang yang menganut faham teologis seperti ini merasa tidak bersalah atas suatu tindakan yang merugikan orang lain, dengan alasan “tidak sengaja” atau menganggap tak ada jalan lain untuk memenuhi keinginannya. Dengan begitu ia dengan enaknya merasa tak bersalah dan ingin bebas dari segala tuntutan atau tanggungjawab serta tidak peduli dengan akibat kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh tindakannya itu atas diri “korban”-nya. Dalam lingkungan masyarakat yang cukup kental warna “feodalisme religious”-nya sikap theistic subjectivism mendapat lahan yang subur untuk berkembang, karena tokoh-tokoh tertentu dianggap memiliki otoritas lebih untuk berbicara tentang atau atas nama agama, tanpa kritik dari pengikut mereka. Lebih lanjut, “feodalisme religious” sering berkembang menjadi “spiritual slavery,” suatu bentuk penghambaan spiritual bukan kepada Tuhan yang menjanjikan kebebasan individu, tetapi suatu penghambaan kepada sesama manusia atas keunggulan otoritas spiritual yang diklaimnya.
Lawan dari theistic subjectivism adalah “rationalistic objectivism.” Dalam pan-dangan rationalistic objectivism, setiap tindakan, baik yang dilakukan oleh manusia maupun Tuhan, memiliki nilai etisnya tersendiri secara objektif. Baik dan buruk bukan ditentukan oleh adanya perintah dan larangan dari Tuhan semata-mata, tetapi karena karakteristik dari perbuatan itu sendiri. Karena nilai baik dan buruk adalah suatu entitas yang objektif, dia tidak bisa berubah sekedar karena adanya keinginan, pernyataan atau pemikiran pihak luar yang ingin melakukan value judgement, sekalipun yang meng-hendaki seperti itu adalah Tuhan sendiri. Sebagai contoh, berbuat adil itu adalah baik bukan karena Tuhan memerintahkan manusia berlaku adil, tetapi semata-mata karena nilai-nilai objektif dari kebaikan yang terkandung dalam keadilan itu sendiri. Jadi keadilan itu baik bukan karena hal itu diperintahkan oleh Tuhan, tetapi karena karakter perbuatan itu sendiri dan nilai-nilai objektif yang tekandung di dalamnya.
Karena nilai baik-buruk adalah suatu hal yang objektif, maka manusia, sesuai dengan prinsip al-lutf yang memungkinkan adanya taklif dari Allah, harus mampu menemukannya sendiri dan menjadikannya pedoman dalam perilaku sosialnya. Lebih dari itu, karena baik dan buruk semata-mata tidak ditentukan oleh “kehendak subjektif” dari Tuhan, maka manusia memiliki tanggungjawab yang penuh atas semua tindakan yang dilakukannya. Ia tidak mudah melemparkan tanggungjawab atas kesalahan yang ditimbulkan oleh perbuatannya kepada pihak lain dengan alasan “tidak sengaja,” atau karena adanya “hambatan” dan “keterpaksaan” yang tak mungkin dihindari. Hidayat Ilahi dalam konteks ini lebih berfungsi sebagai upaya mempermudah proses penyadaran tentang nilai-nilai baik-buruk yang bersifat objektif itu. Oleh karena itu, jika kesadaran teologis yang seperti ini dapat kita wujudkan dalam sikap hidup seorang Muslim, maka moralitas yang lebih tegas akan dapat kita tegakkan dan pengaruh negatif dari moralitas yang lembek akan mudah dieliminir, sehingga akhirnya moralitas benar-benar dapat kita jadikan sebagai “panglima.”

Kilas Balik
Secara simbolis, Islam di Indonesia paska reformasi sudah berkembang jauh lebih dinamis dibandingkan masa-masa sebelumnya. Namun dari sisi komitmen teologis dapat dikatakan kualitasnya masih belum banyak berubah. Berbagai wacana memang telah berkembang amat pesat, baik yang bercorak fundamentalis, liberal, maupun yang cenderung kekiri-kirian. Demikian pula halnya dengan semangat mengekspresikan nilai-nilai keagamaan pada level simbolis-institusional. Wanita Muslimah berjilbab sudah sangat umum, masjid dibangun hampir di setiap sudut kampung, dan semangat pergi haji atau umrah mengalahkan perhitungan-perhitungan ekonomis riel, dan bukan sekedar memenuhi tuntutan menjalankan kewajiban agama semata. Namun di balik realitas luar seperti itu belum nampak adanya peningkatan kualitas kehidupan yang mencerminkan kommitmen kegamaan yang lebih mendalam. Ini dapat dilihat, misalnya, dari kenyataan bahwa meskipun wanita Muslimah telah banyak menggunakan jilbab, namun, pada saat adzan maghrib dikumandangkan, mereka justru memadati supermarket atau pusat-pusat perbelanjaan di kota, sementara masjid yang dibangun di mana-mana hanya diisi oleh satu-dua baris jamaah dan hanya sebagian kecil daripadanya adalah jamaah putri. Meskipun ratusan masjid pada saat-saat sholat fardu masih banyak yang kosong, semangat membangun masjid baru tidak pernah kendor. Ironisnya lagi, pertambahan jumlah masjid di pusat-pusat pemukiman ummat Islam tidak selalu identik dengan menurunnya tingkat dan kualitas kejahatan yang terjadi di lingkungan tersebut. (Inikah yang belakangan ditengarai sebagai merebaknya “gejala STMJ,” sholat terus, maksiat [tetap] jalan?).
Beberapa pengamat Barat terkagum-kagum dengan dinamika Muslimah di negeri kita. Meskipun mereka tetap berjilbab dengan amat rapi, mereka tidak kurang lincah dan trampil dalam kehidupan sosial dan aktifitas publik, termasuk …. mengemudikan mobil sendiri di jalan raya. Hal seperti itu, kata pengamat Barat tersebut, tak mungkin mereka dapati di Timur Tengah atau di Pakistan. Namun mereka, para pengamat Barat itu, mungkin saja tidak memperhatikan bagaimana sebagian mahasiswi di perguruan tinggi Islam negeri (yang berjilbab) itu berboncengan sepeda motor dengan laki-laki yang belum tentu muhrimnya dengan mempertontonkan kemesraan, layaknya sedang berpa-caran. Dalam beberapa hal, jilbab yang mereka kenakan pun belakangan lebih nampak sekedar formalitas saja dan belum menunjukkan semangat yang semestinya dari makna jilbab yang mereka kenakan itu. Belum lagi jika dipertimbangkan kehidupan kampus UIN/IAIN/STAIN yang sering ditengarai semakin “liberal,” bukan hanya dalam pemikiran, tetapi juga dalam soal kebebasan hubungan sesama mahasiswanya, antara yang laki-laki dan perempuan. Beberapa kasus pelanggaran norma hubungan lelaki-perempuan yang terjadi di antara sesama penghuni kampus sering mencuat tanpa bisa ditutup-tutupi lagi.
Sementara upaya-upaya mencerdaskan kehidupan beragama terus digalakkan melalui perguruan-perguruan tinggi agama sampai ke tingkat magister dan doktoral, seorang tokoh yang bertitel haji di daerah jalur Pantura Jawa mengembangkan bisnisnya dalam pelayanan jasa bagi mereka yang memerlukan berbagai jenis azimat, khizib, mantra, rajah, mahabbah dan lain-lainnya, dengan memasang iklan yang cukup besar di sebuah koran lokal. Kepatuhan anggota masyarakat terhadap hukum, seperti kita ketahui bersama, juga sangat memprihatinkan, seolah-olah agama yang katanya menji-wai kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak ada pengaruhnya sama sekali pada penyadaran akan perlunya mentaati kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Bahkan terdapat kecenderungan untuk menafikan hukum dengan sering bertindak main hakim sendiri. Daftar ini tentu bisa dibuat lebih panjang lagi dengan mencatat semua bentuk paradoksi dari semaraknya kehidupan beragama paska reformasi.
Contoh-contoh kejadian seperti ini sepertinya telah membenarkan suatu sinyale-men bahwa adanya setumpuk norma dan sederet khotbah agama tidak menjamin sese-orang menjadi lebih baik akhlaqnya dan menjadi seorang yang agamis. Hal ini, seperti diungkap oleh Dr. Komaruddin Hidayat, antara lain karena yang menggerakkan perilaku seseorang bukan setumpuk kaidah agama yang diceramahkan lewat pengajian, radio atau TV, tetapi emosi dan nilai-nilai yang telah terinternalisasi ke dalam sistim bawah sadar seseorang, yang merupakan akumulasi dari kebiasaan, cita-cita dan naluri instingtif manusia. Wacana dan retorika keagamaan bisa saja memenuhi ruang angkasa dan dunia percetakan. Tetapi sepertinya tidak banyak dari retorika moral kegamaan itu yang cukup meresap dan menjiwai perilaku kehidupan ummat. Ini karena yang mengisi lapisan bawah sadar masyarakat kita adalah emosi dan imajinasi lain yang justru bersebarangan dengan norma-norma agama yang banyak diceramahkan tersebut.
Kalau paradoksi-paradoksi seperti ini terus bertambah, maka apa yang terjadi sekarang menunjukkan bahwa perkembangan kehidupan beragama di Indonesia belum terlalu jauh berbeda dari gambaran yang diberikan oleh Ki Jurumartani yang dikutip pada permulaan tulisan ini.… “clad in a Muslim attire to incite their admiration, but fill the heart beyond that attire with new fascinating legends instead of with the exhortations of the walis.” Artinya, to a certain degree, Islam di Indonesia masih diterima secara superfisial. Islam sebagai sistim keyakinan hanya berfungsi sebagai “wadah” dari “isi” tradisi Jawa yang kental dengan unsur-unsur budaya lama. Mudah-mudahan ini tidak harus diartikan bahwa “to be a Javanese does not necessarily means to be a Muslim, but merely an abangan,” suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan yang terjadi di Malaysia, bahwa “to be a Malay equally means to be a Muslim.”

BIBLIOGRAPHY

Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise. London and
New York: Routledge, 1992.
Benda, Harry J. “Christian Snouck Hurgronje and Foundation of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” dalam Ahmad Ibrahim et al. (eds.), Readings on Islam in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985, h. 61-69.
Berg, C.C. “The Islamization of Java.” Studia Islamica, vol. 1 (1953), h. 111-142.
Braten, Eldar. “To Colour, Not Oppose: Spreading Islam in Rural Java,” in Leif Manger
(ed.), Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts. Surrey, England:
Curzon Press, 1990, h. 150-172.
Cederroth, Sven. “Indonesia and Malaysia,” dalam David Westerlund dan Ingvar
Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World. New York: St. Martin’s Press,
1999, h. 253-277.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glenco, 1960.
Hidayat, Komaruddin. “Menimbang Harga Diri Bangsa,” Kompas, 6 Maret 2001, h. 4-5.
Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbar. Oxford:
Clarendon Press, 1971.
--------. “Divine Justice and Human Reason in Mu’tazilite Ethical Theology,” dalam
Richard G. Hovannisian (ed.), Ethics in Islam. Malibu: Udena Publications,
1983, h. 73-83.
Ibrahim, Ahmad et al (eds.) Readings on Islam in Southeast Asia Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 1985.
Koentjaraningrat, “Javanese Terms for God and Supernatural Beings and the Idea of
Power,” dalam Ahmad Ibrahim et al (eds.), Readings on Islam in Southeast Asia Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985.
Liddle, R. William. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sydney: Asian
Studies Association of Australia, 1996.
--------. “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik
Islam di Indonesia Masa Orde Baru,” dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali-
Fauzi. Bandung: Mizan, 1998, h. 283-311.
Ma’arif, A. Syafii. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Martin, Richard C. et al., Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval
School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld, 1997.
Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1983.
Pranowo, Bambang. Islam Faktual antara Tradisi dan Relasi Kuasa. Jakarta: Adi Cita,
1999.
Radar Yogya – Jawa Pos, 27 Februari 2001.
Rais, M. Amien. Refleksi Amien Rais dari Persoalan Semut sampai Gajah. Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
--------. “Panglima.” Republika Online, http://www.rad.net.id/republika/9603/14, 14 Maret
1996.
Ricklefs, M.C. “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam. New York: Holmes and Meier, 1979, h. 100-128.
Saleh, Fauzan. Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century
Indonesia. Leiden: E.J. Brill, 2001.
Simon, Gottfried. The Progress and Arrest of Islam in Sumatra. London: Marshall
Brothers, 1912.
Toer, Pramoedya Ananta. Arus Balik: Sebuah Novel Sejarah. Jakarta: Hasta Mitra,
1995.
Wertheim, W.F. Indonesian Society in Transition: A Study in Social Change. The
Hague: W. van Hoeve, 1964.
Westerlund, David dan Ingvar Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World. New
York: St. Martin’s Press, 1999.
Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of
Yogyakarta. Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
--------. (ed.) Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj.
Ihsan Ali-Fauzi. Bandung: Mizan, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar