Sabtu, 14 Agustus 2010

Problem Kejahatan

Problem Kejahatan
dan Kemahakuasaan Tuhan

Oleh Fauzan Saleh

Adanya kejahatan di dunia ini telah menimbulkan banyak spekulasi tentang Tuhan.
· Apakah Dia benar-benar mahakuasa, atau bahkan
· Apakah Dia benar-benar ada.
Masalah ini masih tetap hangat diperbincangkan, meskipun masalah itu sendiri sudah dimunculkan sejak masa Epicurus (341-270 SM).
Dia mengatakan:
· Mungkin Tuhan berkehendak untuk menghilangkan kejahatan dan Dia tidak mampu;
· Atau Dia mampu tetapi tidak berkehendak;
· Atau Dia sebenarnya berkehendak tetapi tidak mampu.
- Jika Dia menghendaki tetapi tidak mampu berarti Dia lemah.
- Jika Dia mampu tetapi tidak berkehendak berarti Dia irihati
- Jika Dia tidak mampu dan tidak mau berarti Dia lemah.
- Jika Dia berkehendak dan mampu, hal mana sesuai dengan sifat Tuhan maka dari manakah datangnya kejahatan itu, dan mengapa Dia tidak menghilangkannya.

Maka jika Tuhan maha baik dan benar-benar maha kuasa, Dia pasti mampu menhilangkan semua kejahatan di dunia ini.
Tetapi kenyataannya kejahatan masih banyak terjadi di dunia ini.
Jadi mungkin mungkin tidak mutlak baik, atau kekuasaan Tuhan itu terbatas.

Hakekat kejahatan

John Hick: kejahatan dapat dibedakan jadi dua: moral dan non-moral.
· Kejahatan moral: segala bentuk immoralitas atau semua kejahatan yang bersumber dari perilaku dan sifat manusia, seperti sifat egois, irihati, rakus, curang, dengki, pengecut, atau dalam bentuk makro: peperangan.
· Kejahatan non-moral: kejahatan yang ditimbulkan oleh alam, di luar perbuatan manusia, yaitu semua bentuk kejahatan alamiah yang mengakibatkan penderitaan pada diri manusia, baik secara mental maupun fisik.

Kejahatan sebagai suatu problem
1. Kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil.
2. Kejahatan sebagai akibat tidak diperolehnya kebaikan
3. Kejahatan sebagai suatu yang riil tetapi dibenarkan keberadaannya.
4. Kejahatan moral.

Kajahatan sebagai sesuatu yang tidak riil berasal dari Plotinus.
Dia beranggapan bahwa kejahatan adalah suatu tingkat di mana suatu wujud masih tergantung pada materi, atau sekedar suatu tahapan yang diperlukan dalam sejarah perkembangan alam semesta.
Plotinus: setiap wujud itu memiliki sisi jahat dan sisi baiknya.
Ø Kejahatan hanyalah apa yang nampak dari luar, sekedar sebagian aspek, pendapat yang keliru dan karena terbatasnya sudut pandang kita. Oleh karenanya
Ø Kejahatan hanyalah khayalan yang keberadaannya dianggap sebagai bagian dari realitas yang disalah-fahami.
Ø Kejahatan hanyalah sarana untuk capai kesempurnaan yang adanya dapat dibenarkan demi tercapainya suatu tujuan, atau sebagai suatu faktor integral dalam mencapai kesempurnaan itu sendiri.
Ø Tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan, atau adanya penderitaan sering menjadi prasyarat bagi dicapainya suatu kebahagiaan.
· Adanya kejahatan bisa dianggap sebagai cobaan untuk peroleh hasil yang lebih besar.
· Adanya kejahatan dapat dibenarkan sebagai sarana untuk ingatkan akan adanya kejahatan yang lebih besar. èRasa lapar dapat akibatkan rasa sakit. Tetapi ia juga berfungsi sebagai peringatan bahwa tubuh kita perlu tambahan energi agarkita terhindar dari bahaya yang lebih besar.
· Adanya kejahatan juga dapat difahami dalam kaitannya sebagai konsep pertumbuhan. è Tatanan alam semesta ini bukan sesuatu yang statis tetapi progresif. Alam akan terus berusaha mengatasi terjadinya kejahatan tahap demi tahap. Hal itu akan lebih baik daripada danya kebaikan abadi yang tidak mendapatkan tantangan sam sekali.
è Oleh karena itu dunia ini akan lebih baik dengan adanya kejahatan di dalamnya, daripada dunia tanpa kejahatan sama sekali.

Kata al-Kindi:
Ø In this world of generation and corruption no one can keep forever what he/she cherishes or attain all that he/she yearns for.
Ø Anyone who wishes that there should be no sorrow in this world wishes the impossible.

Kejahatan sebagai akibat dari tidak diperolehnya kebaikan (evil as privation of good), privatio boni.

Pendapat bahwa terjadinya kejahatan adalah karena tidak diperolehnya kebaikan yang semestinya adalah jalan tengah antara kejahatan sebagai sesuatu yang tidak riil dengan kejahatan sebagai sesuatu yang riil. Oleh sebab itu pandangan ini dapat dipakai untuk menolak pandangan bahwa Tuhan bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan.
Jadi kejahatan tidak memiliki hakekat, tetapi sekedar hilangnya kebaikan.

Tetapi tidak diperolehnya kebaikan bukan berarti hilangnya kebaikan seperti sebatang pohon yang tidak mempunyai nyawa sebagaimana layaknya makhluk hidup yang lain.
è Bukan suatu kejahatan jika suatu makhluk diciptakan dalam tingkat wujud yang lebih rendah dari yang lain.
Oleh karenanya, manusia yang tak bermoral adalah orang yang tindakannya timbul dari tatanan yang kurang baik, sebagaimana halnya kejahatan fisik timbul dari tidak adanya kebaikan.
Secara umum kejahatan adalah sesuatu yang negatif, kekurangan dan kehilangan.
Pandangan seperti ini jelas terlalu optimistis. Dalam hal ini kejahatan dilihat sebagai bagian dari keseluruhan gambaran metafisi alam semesta, terutama menururt pandangan Kristen dalam menginterpretasikan kehidupan. Karena dunia ini diciptakan oleh Tuhan yang mahakuasa dan mahabaik, kejahatan tidak bisa disebut sebagai bagian yang positif atau pokok dari alam semesta, tetapi sekedar hilangnya ukuran, bentuk dan tatanan alamiah, atau sekadar penyalah-gunaan dari sesuatu yang sebenarnya adalah baik.

Kejahatan sebagai sesuatu yang riil tetapi dibenarkan keberadaannya.

Pandangan ini mengacu kepada pengertian umum tentang problem kejahatan, dengan mempertanyakan apakah suatu kejahatan secara moral dapat dibenarkan jika Tuhan yang maha baik benar-benar ada.
Jika adanya kejahatan dapat dibenarkan maka kebaikan tampaknya adalah satu-satunya kriteria yang cocok untuk membenarkannya.
Maksudnya, terjadinya suatu kejahatan harus sebanding dengan kebaikan yang akan diperoleh dan bahwa suatu kebaikan tidak dapat dicapai tanpa melibatkan kejahatan tersebut.
Adanya kebaikan menjadi prasyarat bagi dilakukannya kejahatan tersebut.
è Contoh: pengendara mobil secara moral dibenarkan untuk mencederai seseorang agar ia dapat menghidnari bahaya yang lebih besar, meskipun ia juga harus menyadari bahwa orang tersebut tidak pernah membenarkan tindakan pengemudi mobil tersebut. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa jika kejahatan semacam ini dapat dibenarkan begitu saja, tanpa suatu tuntutan. Kesengajaan dalam menimpakan kejahatan tersebut adalah jahat.
Rasa sakit yang biasanya menyertai operasi seharusnya tidak secara sengaja ditimpakan kepada penderita, apabila pelaku pembedahan secara moral ingin bebas dari tuntutan.

Berkenaan dengan kejahatan non-moral atau kejahatan alamiah sebagai suatu yang riil tetapi bisa dibenarkan biasanya didasarkan pada suatu keyakinan bahwa kejahatan berfungsi sebagai peringatan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar mau mengakui kekuasaan-Nya, atau berfungsi sebagai hukuman atas dosa-dosa manusia.
Dalam hal ini Tuhan menyatakan kekuasaannya dengan menyebabkan bencana alam, dengan harapan bahwa manusia akan merespon kejadian-kejadian ini dengan perasaan gentar, sehingga mereka mau tunduk pada kekuasaan Tuhan dengan mentaati perintahnya serta akhirnya secara moral mereka akan menjadi lebih baik.
è Biasanya kepercayaan seperti ini dikaitkan dengan tradisi keagamaan mengenai doktrin pertobatan dan keabadian jiwa.

Meski demikian persoalan ini masih banyak diperselisihkan.
Dapatkah setiap bencana mendorong manusia mencapai perbaikan moral dengan membangkitkan rasa takut dan hormat pada Tuhan?
Sebaliknya, bencana alam juga dapat membangkitkan rasa skeptis atau bahkan mengingkari kemahabaikan Tuhan sendiri.
è Jika Tuhan sengaja menimbulkan bencana alam dengan tujuan membangkitkan sikap hormat padanya, maka akan sulit dimengerti mengapa Tuhan yang maha baik dan maha tahu menggunakan bentuk-bentuk kejahatan fisik semacam itu untuk mencapai tujuan yang mulia?
Apa pun alasannya, penderitaan yang ditimpakan akan melampaui nilai kebaikan yang akan diperoleh.
Banyak sekali penderitaan yang justru mengakibatkan timbulnya kejahatan moral, seperti perasaan tersisih, egoistis, pengecut, licik, dan sikap-sikap negatif lainnya.

Penjelasan lain tentang kejahatan yang dapat dibenarkan ialah bahwa terjadinya kejahatan tersebut fisik tersebut tak mungkin dihindarkan, tetapi akan mendapat kompensasi di balik kehidupan dunia ini. Dalam hal ini penderitaan (sebagai bentuk kejahatan) itu timbul akibat berlakunya hukum alam yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang baik.
Meskipun kejahatan semacam ini tak dapat dihindari, Tuhan akan berikan imbalan atas penderitaan itu berupa kesenangan di balik kehidupan ini. Oleh karena itu kejahatan itu dapat dibenarkan keberadaannya, sehingga orang tak perlu mengeluh karenanya.
Atas dasar uraian di atas, problem penderitaan mengharuskan adanya keabadian jiwa. Namun tidak semua orang meyakini adanya kehidupan lain di luar kehidupan dunia saat ini.
Namun demikian, seperti diakui oleh Campbell, orang yang dapat menerima kemungkinan akan adanya kehidupan lain di balik kehidupan dunia ini akan memperoleh suatu nilai yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang mengingkarinya.
Pada prinsipnya, keyakinan bahwa kesenangan dapat digunakan sebagai imbalan atas penderitaan dalam kehidupan sehari-hari sudah biasa diterima dalam pengalaman hidup manusia.
Orang yang telah mengalami banyak penderitaan dalam hidupnya tidak selalu mengeluh, sejauh dia masih dapat mengharap bahwa kebahagiaan atau kesenangan yang lebih besar akan diperoleh kelak sebagai imbalan atas penderitaannya.
Prinsip sederhana ini akan mampu mengimbangi penderitaan yang dialami oleh manusia di dunia ini.

Kejahatan moral.

Kejahatan moral bukan berarti sekedar kesalahan moral. Lebih dari sekedar kesalah moral, ia mengandung arti menjauhi hukum-hukum Tuhan dan mengingkari keberadaan-Nya.
Namun Tuhan diyakini pasti telah mengetahui bahwa manusia kelak akan melakukan kejahatan-kejahatan moral.
John Hick: semua bentuk kejahatan moral bersumber dari dosa. Realitas dosa berdampak pada hubungan horizontal manusia dengan alam, di mana dosa terekspresikan dalam berbagai tindakan destruktif terhadap masyarakat dan alam. è Perbuatan dosa dianggap sebagai inti utama dari problem kejahatan dan karenanya pula sah untuk pertanyakan mengapa Tuhan yang maha baik, maha kuasa dan maha tahu membiarkan adanya dosa.

Kehendak bebas.
Adanya kehendak bebas dipandang sebagai penjelasan yang tepat bagi persoalan mengapa Tuhan membiarkan adanya kejahatan moral terjadi pada diri manusia.
Kejahatan dapat dibedakan menjadi dua:
- kejahatan tingkat pertama: rasa sakit, sedih, dsb.
- kejahatan pada tingkat kedua: kekejaman, keserakahan, kebiadaban, dst.
Kejahatan pada tingkat pertama sering terjadi pada manusia dan sebabkan penderitaannya.
Kejahatan pada tingkat kedua timbul akibat tindakan seseorang yang sebabkan penderitaan pada orang lain.
è Hanya kejahatan pada tingkat pertama yang dapat dibenarkan, karena secara logika tak terpisahkan dari kebaikan-kebaikan tertentu seperti timbulnya rasa simpati, belas kasihan, kesetiakawanan dan kesediaan untuk membela orang lain.
è Kejahatan pada tingkat kedua tidak dapat dibenarkan, dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab pelakunya, tidak dapat dilimpahkan pada Tuhan.

Karena kejahatan moral bersumber dari adanya kehendak bebas pada diri manusia, maka adanya kehendak bebas itu harus dapat mengatasi adanya kejahatan moral dan kejahatan alam, bahkan termasuk penderitaan yang dialami manusia.
è Adanya kehendak bebaslah yang menjadi penyebab mengapa manusia melakukan kejahatan dan sebagai akibatnya penderitaan yang menimpa dirinya merupakan akibat dari adanya kebebasan pada orang lain.

Tetapi mengapa Tuhan yang maha baik memberikan kebebasan kehendak pada manusia meskipun Ia tahu bahwa hal itu akan memungkinkan terjadinya kejahatan?
Ini merupakan persoalan amat serius terkait dengan isu kejahatan moral dan paling banyak menimbulkan perdebatan dalam teologi.
Adanya kebebasan kehendak memang sering menimbulkan kejahatan. Tetapi masih lebih baik bagi manusia untuk memiliki kehendak bebas dengan resiko cenderung berbuat jahat, daripada harus menjadi makhluk otomat seperti robot atau mesin yang hanya dapat melakukan hal-hal tertentu dengan cara-cara yang telah didesain sebelumnya.
Manusia harus memiliki kemampuan untuk memilih yang salah sesuai dengan adanya kebebasan yang diberikan Tuhan padanya sebagai rahmat.
è Hal itu merupakan penghargaan atas upayanya yang keras dan imbalan atas jerih payahnya untuk dapat mencapai keunggulan.
è Dengan upayanya yang keras itu manusia akan merasa lebih unggul dan tinggi martabatnya dibandingkan dengan jika ia peroleh keunggulan itu tanpa usaha apa pun.
è Manusia tidak selayaknya dapatkan penghargaan atas keberhasilan yang diperolehnya tanpa menghadapkannya kepad kemungkinan untuk gagal.

Akhirnya harus diakui bahwa tidak ada kata final dalam mendiskusikan masalah kejahatan ini. Masing-masing pihak bersikukuh pada pendiriannya dan mengambil keputusan berbeda dengan yang lain.
Setiap solusi yang dibuat berkaitan dengan problem kejahatan ini selalu membiarkan persoalan lama tetap tak terjawab secara tuntas, atau justru menimbulkan persoalan baru. “Jika Tuhan maha baik, maka dari manakah datangnya kejahatan?” Si Deus bonus, unde malum?

Namun harus disadari bahwa merupakan suatu kesombongan manusia untuk “menghakimi” Tuhan hanya berdasarkan kemampuan rasionalnya yang terbatas. Bagaimana mungkin manusia, dengan kemampuan yang terbatas, dapat begitu yakin dengan hasil pemikirannya untuk menyimpulkan bahwa Tuhan adalah tidak sempurna atau tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar