Minggu, 15 Agustus 2010

Frustrasi Moral

Frustrasi Moral

Oleh Fauzan Saleh


“Frustrasi Moral!” Ungkapan ini pernah dilontarkan oleh seorang etikawan Barat yang telah lama bermukim di Indonesia, Dr. Kees Bertens (Kompas, 3 Maret 2007). Ungkapan itu sendiri memiliki banyak makna. Namun secara umum ia menggambarkan kondisi masyarakat yang sudah begitu skeptis terhadap tatatan moral dan ketentuan-ketantuan etis yang seharusnya diikuti oleh masyarakat tetapi banyak diabaikan. Orang merasa frustrasi karena dia tahu banyak sekali pelanggaran norma-norma moral tetapi tidak pernah ada tindakan yang dapat mencegahnya. Hukum juga tidak kuasa memberikan sangsi yang dapat membuat jera pelaku tindak kejahatan. Akhirnya orang pun berkesimpulan bahwa pelanggaran hukum—juga norma-norma moral—tidak perlu dikenai sangsi. Pelanggaran aturan lalu lintas menjadi biasa, sekalipun ada petugas polisi yang berjaga. Untuk apa mentaati aturan jika kepentingan diri sendiri terhambat. Orang yang patuh pada aturan justru merugi, dihambat oleh ketentuan birokrasi yang lamban. Carilah jalan pintas, menelikung, menyuap petugas, maka kepentingan Anda akan segera terpenuhi. Rugi uang sedikit tak apa, asal urusan cepat selesai.
Jika orang lain dapat berbuat seperti itu, mengapa kita tidak? Inilah gambaran riil dari frustrasi moral tersebut. Seolah-olah tidak ada gunanya lagi orang memerhatikan aturan hukum atau ketentuan-ketentuan umum dalam tatakrama dan sopan santun. Kembalilah manusia pada zaman Yunani kuno, ketika kaum Shophist (abad ke-5 S. M.) mengajarkan bahwa kebenaran itu relatif dan setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Salah seorang tokoh utama kelompok ini, Protagoras (485-415 S.M.), menyatakan bahwa setiap orang adalah ukuran bagi segala sesuatu. Oleh karena itu tidak ada ketentuan baik-buruk secara universal. Masing-masing individu berhak untuk menyatakan dan melakukan tindakan sesuai dengan jalan fikiran, keinginan dan hasrat pribadinya. Yang baik bagi orang lain belum tentu baik untuk diri kita. Kebenaran adalah subyektif, kebaikan adalah apa yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing manusia.
Dapat dibayangkan seperti apa jadinya jika manusia harus kembali ke masa-masa seperti itu lagi. Jawabannya mudah ditebak: anarki!. Tidak ada otoritas atas nama apa pun yang diakui oleh orang lain, kecuali yang memenuhi kepentingan subyektif seseorang. Maka yang terjadi berikutnya ialah setiap manusia adalah ancaman bagi manusia lainnya, homo homini, lupus. Yang kuatlah yang menang, sehingga muncul dan berlakulah teori Darwinisme sosial. Mereka yang lemah dan tak berdaya sebaiknya menyingkir dari percaturan dunia. Biarkan dunia dimiliki oleh mereka yang kuat menghalau setiap ancaman. Yang lemah akan musnah. Tidak ada belas kasihan, apalagi kasih sayang, tolong-menolong. Semua istilah itu hanya berlaku bagi orang-orang naif, bodoh dan lemah yang tak bisa berbuat apa-apa, sekalipun untuk membela diri sendiri. Apakah sudah sekejam itu kehidupan yang berlaku dalam masyarakat kita? Tentu banyak orang tidak setuju.
Beberapa waktu yang lalu (30 Juli 2010) publik sempat digegerkan oleh tindakan nekat seorang artis dan tokoh perfilman senior, Pong Hardjatmo. Tanpa diketahui oleh pihak keamanan gedung DPR-MPR di Senayan, dia dengan leluasanya memanjat gedung dan menaiki kubah kura-kura, atap gedung wakil rakyat itu. Di sana, seperti banyak dimuat di media massa, dia mencoretkan tulisan yang dengan jelas terbaca: “Jujur, Adil, Tegas.” Banyak pesan yang dapat ditangkap, bukan saja dari makna coretan yang ia bubuhkan, tetapi juga dari tindakan sang artis itu sendiri. Orang pun beramai-ramai memberikan komentar, memaknai tindakan nekat itu. Seorang pimpinan Dewan yang terhormat menuduhnya sekedar cari popularitas atau perhatian. Tetapi ada juga unsur pimpinan Dewan lain yang memberikan komentar simpatik dan bersedia menerimanya sebagai bahan koreksi diri.
Tindakan Pong Hardjatmo telah menandai betapa rakyat telah jengah dan frustrasi dengan segala kepura-puraan dan basa-basi. Persis seperti yang diungkap oleh Pong sendiri begitu “ditangkap” oleh pihak keamanan: “Sekarang bicara sudah enggak didengerin, menulis juga enggak dipeduliin. Makanya saya bertindak saja.” Kesalahan yang selalu ditutup-tutupi tidak lagi bisa didiamkan berlama-lama. Ini adalah alam demokrasi, alam kebebasan menyatakan pendapat (dan berserikat). Ketika anggota DPR yang terhormat disorot karena tingkat kemalasan dan bolosnya yang tinggi sehingga berakibat pada rendahnya produktifitas legislasi yang jadi tugasnya, maka beramai-ramai mereka membela diri dengan segala alasan yang justru menandai kekerdilan mereka. Mereka seperti tidak perlu dipersalahkan dengan segala kelakuan seperti itu. Orang dipaksa memaklumi bahwa tugas anggota Dewan amat banyak, termasuk tugas-tugas yang diberikan oleh partai. Oleh karena itu biarkan saja ketika mereka membolos, malas, dan tidur saat mengikuti rapat. Juga biarkan saja jika wartawan mau menyorot mereka dengan kamera televisi saat tertidur di ruang rapat. Hal itu tak berarti mereka perlu merubah perilaku atau memperbaiki penampilan. Tetapi perasaan kecewa rakyat tidak bisa disimpan-simpan. Rakyat sudah merasa frustrasi atas kinerja mereka yang telah digaji oleh negara ratusan juta rupiah pertahunnnya, tetapi selalu membela diri atas semua bentuk kritik dari rakyat yang diwakilinya. Ini hanya memperparah frustrasi moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar