Sabtu, 14 Agustus 2010

Tahun Baru Hijriyah

MENYONGSONG TAHUN BARU HIJRIYAH

Oleh Fauzan Saleh

Tanggal 1 Muharram selalu diperingati oleh umat Islam sebagai tahun baru hijriyah (al-taqwim al-hijri). Disebutkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari, gubernur Basra pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar b. al-Khattab, merasa kesulitan dalam menandai surat-surat yang ia terima dari khalifah, karena surat-surat itu ditulis tanpa tanggal. Abu Musa tidak tahu instruksi mana yang lebih dahulu harus dikerjakan ketika beberapa surat dari Khalifah ia terima. Laporan dari Abu Musa tersebut kemudian mendorong ‘Umar untuk menetapkan sistim kalender khusus bagi umat Islam. Setelah melalui perdebatan yang serius dengan para sahabat yang lain maka ‘Umar menetapkan perhitungan kalender Islam dimulai dari masa kehadiran Rasulullah di Kota Madinah dalam peristiwa hijrah, yang terjadi pada tanggal hari Jum’at, tanggal 16 Juli 622 M. ‘Utsman b. ‘Affan kemudian mengusulkan agar hitungan kalender Islam dimulai dari tanggal 1 Muharram, sesuai dengan sistim kalender yang berlaku di kalangan bangsa Arab.
Ketetapan ‘Umar tersebut bisa jadi mengacu pada kebiasaan bangsa Arab yang sejak masa pra-Islam menandai hitungan tahun berdasarkan peristiwa-pristiwa penting yang terjadi dalam kehiduoan mereka. Karena itu pula sebelum hijrah menjadi patokan awal hitungan tahun dalam Islam, telah ada sebutan tahun gajah, mengacu pada peristiwa penyerangan Raja Abrahah, penguasa Etiopia yang ingin menghancurkan ka’bah di Makkah dengan pasukan gajahnya. Peristiwa yang terjadi pada tahun 570 M itu bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Karena itu pula sering disebutkan bahwa beliau lahir pada tahun fiil, atau tahun gajah.
Mencermati perjalanan sejarah tersebut, ada beberapa hal yang dapat kita angkat sebagai pelajaran dalam memperingati datangnya tahun baru hijriyah. Karena hitungan tahun dimulai dari peristiwa hijrah maka hijrah memiliki makna yang sangat strategis bagi umat Islam. Selain persoalan hijrah, masalah lain yang tak kalah pentingnya untuk diangkat ialah “ritual” memperingati tahun baru itu sendiri. Kemudian persoalan lain yang biasa dikaitkan dengan peristiwa ini ialah nilai-nilai sejarah secara keseluruhan yang menuntut adanya kesadaran historical criticism, yaitu kesadaran tentang realitas historis yang menyertai perjalanan dan dinamika umat Islam di berbagai kawasan dunia.
Peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya telah menumbuhkan etos yang sangat penting dalam hidup setiap Muslim. Hijrah yang berarti migrasi atau perpindahan meniscayakan adanya semangat untuk berubah dan tidak tinggal diam ketika seseorang berada dalam keadaan yang kurang menguntungkan. Allah sendiri yang memerintahkan Rasulullah untuk melakukan migrasi ke Madinah setelah situasi Makkah semakin tidak kondusif untuk menyebarkan Islam. Padahal Rasulullah sangat mencintai tanah kelahiran beliau itu. Tetapi, demi kelangsungan dakwah dan risalah beliau, maka tiada pilihan lain kecuali keberanian untuk menghadang resiko menempuh perjalanan berat dan cukup jauh, agar Islam lebih berkembang dengan cepat. Sebuah perubahan harus dimulai dari diri manusia dengan memberdayakan potensi yang telah dimilikinya.
Memang ada pendapat bahwa dua hal yang paling berbahaya di dunia ini, yaitu yang tidak mau berubah dan yang selalu berubah-ubah. Kedua hal ini sama-sama tidak menguntungkan. Jika orang tidak mau berubah dia akan resisten terhadap segala hal yang asing dan tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Dia akan menjadi fosil sejarah dan ditinggalkan zaman. Sebaliknya, jika orang berubah-ubah terus maka akan sulit dikenadilkan dan tidak mempunyai kemantapan, sulit dibentuk. Yang diperlukan ialah kemampuan beradaptasi dengan situasi yang terus berkembang, sesuai dengan dinamika zaman, tanpa kehilangan jati dirinya.
Hijrah menuntut adanya kesediaan manusia untuk berubah dan merubah diri agar dapat beradaptasi dengan lingkungan, sehingga tujuan utama yang harus diperjuangkan dapat terwujud dengan mudah dan efektif. Islam tidak mungkin berkembang pesat selama terus-menerus berada dalam tekanan orang-orang kafir Quraisy di Makkah.
Allah sudah menyiapkan masyarakat baru di tempat lain yang lebih siap menerima kehadiran Islam dan menopang perkembangannya, agar mampu berperan dalam mewujudkan rahmat bagi sekalian alam. Masyarakat baru itu adalah penduduk kota Yatsrib yang sangat merindukan kedamaian dan ketentraman dengan menghilangkan segala bentuk permusuhan antar-suku yang telah berlangsung bertahun-tahun. Atas petunjuk Allah pula kiranya bahwa Nabi Muhammad diminta untuk menjadi arbitrase (penengah atau juru damai) guna menyelesaikan konflik di antara kedua suku utama di kota tersebut, Khazraj dan Aus. Kebutuhan untuk mewujudkan kedamaian di kota yang kemudian berubah nama menjadi Madinah tersebut telah mendasari perkembangan Islam secara lebih leluasa.
Sepertinya migrasi sudah menjadi sunnah atau ketentuan Allah bagi setiap insan untuk mewujudkan sebuah prestasi. Lihatlah, hampir setiap nabi Allah yang diutus ke muka bumi ini telah mengalami peristiwa ‘hijrah’ ini. Nabi Ibrahim yang menerima risalah dari Allah sekitar 1800 tahun sebelum Masehi, misalnya, harus menempuh perjalanan amat jauh melelahkan dari Lembah Babilonia sampai ke Makkah dengan jalan memutar melalui lembah Harran – Aleppo hingga Jerusalem dan akhirnya baru sampai ke lembah Hijaz, di mana beliau menempatkan anak-keturunannya melalui jalur Nabi Ismail alaihissalam, yang akhirnya melahirkan para nabi bagi bangsa Arab.
Demikian pula dengan Nabi Yusuf. Untuk menjadi nabi dan penguasa yang berwibawa dan disegani beliau harus menjalani kehidupan yang berat dan perjalanan amat jauh dari Jerusalem ke Shan al-Hijr di Mesir. Nabi Musa pun tak kalah beratnya perjalanan yang harus beliau tempuh dalam rangka mengemban risalah dari Allah SWT. Tetapi dengan semua pengalaman hidup yang berat itulah sebuah prestasi dapat diwujudkan. Para nabi adalah manusia-manusia pilihan. Meski mereka selalu dibimbing oleh Allah namun bukan berarti beban penderitaan mereka sebagai manusia dapat dikatakan ringan. Sekali lagi, hijrah mengajarkan pada manusia tentang etos yang harus dibangun bagi setiap hamba yang ingin berprestasi. Tidak ada presatasi yang dapat draih tanpa kerja keras dan perjuangan berat untuk menghadapi segala bentuk rintangan.
Semoga tahun baru hijriyah 1431 mendatang mampu membangkitkan daya juang umat Islam untuk mewujudkan prestasi lebih gemilang. Kita tidak boleh menyerah pada berbagai kesulitan yang menghadang kemajuan umat Islam. Sudah cukup banyak bekal pengalaman dari masa lalu agar ke depan kita mampu meraih prestasi lebih baik dalam berbagai segi kehidupan. Pengalaman panjang sejarah Islam di Tanah Air hendaknya memacu semangat juang kita untuk mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam perilaku kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan juga politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar