Sabtu, 14 Agustus 2010

Pendidikan dan Kejujuran

PENDIDIKAN DAN KEJUJURAN

Oleh Fauzan Saleh

Pemberitaan media massa di Ibu Kota selama dua minggu terakhir bulan Februari 2010 didominasi oleh masalah plagiarisme, atau penjiplakan karya ilmiah, baik yang dilakukan mahasiswa, guru, dosen, bahkan oleh sebagian guru besar. Sungguh sangat menyedihkan. Mengapa plagiarisme marak di dunia pendidikan kita? Sepertinya banyak alasan untuk melakukan hal itu. Ada yang menganggap hal itu dilakukan karena terpaksa, sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari, atau tidak perlu dipermasalahkan. Benarkah alasan itu? Sungguh sangat naif jika ada akademisi menempuh jalan fikiran seperti itu.
Ada ungkapan klasik bahwa bersalah dalam mengungkap kebenaran ilmu, karena berbagai keterbatasan, masih bisa diterima. Harapannya kelak kekeliruan itu akan dikoreksi dengan adanya teori baru atau data yang lebih akurat. Tetapi jika orang sengaja berbohong dalam bidang ilmu (seperti memanipulasi data atau mendistori fakta—demi sebuah kepentingan subyektif) maka tindakan itu akan menjadi dosa dan aib tak terampunkan. Kredibilitas orang itu pun akan tercoreng selamanya dan, bahkan, temuan-temuannya mungkin akan dicibirkan.
Masih banyak orang yang beranggapan bahwa mengutip pemikiran orang lain dalam sebuah karya ilmiah tanpa menyebut sumbernya itu sebagai hal yang biasa. Anggapan seperti itu jelas menyesatkan. Jika pandangan tersebut dibiarkan terus, maka, mengutip pendapat seorang pengamat, akan berkembang budaya tidak menghargai kreatifitas intelektual orang lain. Masih menurut pengamat tadi, membiarkan tindakan seperti itu sama saja dengan melegalkan pencurian dan pembohongan dalam dunia akademik, suatu hal yang amat tabu dan tercela. Prinsip-prinsip utama dalam pengembangan ilmu seperti rasional, obyektif, logis dan sistimatis akan jadi hilang maknanya jika kebohongan dan ketidak-jujuran dibiarkan terus berkembang.
Salah satu gejala yang menjadi sorotan utama dalam kasus plagiarisme belakangan ialah menjamurnya “biro jasa bantuan penyusunan karya ilmiah” dengan tarif sesuai dengan gelar kesarjanaan yang diminta. Ini sungguh merupakan malapetaka amat dahsyat dalam dunia pendidikan kita. Kemampuan menyusun karya ilmiah secara mandiri dan penuh tanggungjawab adalah sebuah tuntutan yang tak boleh diabaikan oleh seseorang yang ingin menyandang gelar akademik, pada level apa pun.
Di dalam penyusunan karya ilmiah itu seorang calon sarjana dituntut untuk dapat membuktikan tingkat kemampuan mengakumulasi ilmu-ilmu teoritis yang digelutinya selama sekian semester di bangku kuliah. Orang tidak akan mampu menyusun sebuah karya ilmiah jika ia belum cukup matang di dalam membekali dirinya dengan berbagai ketrampilan ilmiah yang dibutuhkan untuk menjadi seorang sarjana.
Ada seloroh dari seorang teman saat bercerita apa bedanya seorang doktor by research dan doktor by training. Doktor by research diperoleh tanpa mengikuti kuliah sekian semester pada program doktor, tetapi cukup melakukan riset untuk menyusun disertasi dan mendapat gelar doktor. Dengan proses seperti itu bisa saja ia tidak memenuhi standar keilmuan seorang doktor yang matang. Secara formal, dia hanya memiliki “modal dasar” ilmu dari pendidikan yang ia tempuh di Strata 1. Kata teman tadi, terlepas orang setuju atau tidak, ilmunya ya tetap ilmu Strata 1, meskipun ia bergelar doktor. Terus, bagaimana kalau dia diminta mengajar di Program Pascasarjana? Justru di sini letak permasalahannya.
Tentu ada alasan mengapa teman tadi beranggapan demikian. Orang yang meraih gelar doktor by training harus banting tulang menempa diri melakukan “pelatihan akademik” yang berat selama bertahun-tahun. Ia ditempa agar dapat memiliki mental akademik dan kapasitas intelektual yang matang, di samping, memiliki kecakapan teknis-keilmuan yang sebenarnya.
Pada ujung dari proses itu seorang kandidat doktor dituntut untuk dapat membuktikn diri mampu bukan saja mengaplikasikan metodologi dan teori-teori keilmuan yang digelutinya, tetapi juga dapat menunjukkan kejujurannya bahwa seluruh proses itu telah dijalani dengan penuh tanggungjawab.
Ujung itu berupa proses penyelesaian disertasinya. Dia harus dapat menjamin bahwa tidak ada sepotong pemikiran atau selembar tulisan pun yang ia masukkan ke dalam disertasinya “secara haram.” Jika ada unsur “haram” yang masuk dalam disertasinya maka itu akan menjadi cacat bawaan, bukan saja pada produk karyanya, tetapi juga cacat seumur hidup yang menodai kredibilitas penyandang gelar doktor itu.
Pada suatu pertemuan dengan para dosen di kampus penulis pernah menegaskan bahwa menempuh program doktor itu seumur hidup cukup sekali saja. Tetapi yang sekali itu harus benar-benar merupakan pergulatan amat serius untuk mampu membuahkan karya ilmiah yang monumental. Ketika orang berproses dengan pergulatan amat berat dalam meraih predikat doktor itulah sebenarnya ia dilatih agar dapat memenuhi suatu standar kredibilitas akademik tertinggi.
Kecermatan, akurasi data, kebenaran alur berfikir, obyektifitas, kemampuan metodologis dan teknis penulisan serta penggunaan bahasa yang bagus, menjadi ciri utama yang harus melekat pada karakter pribadinya. Oleh karena itu sungguh amat disayangkan jika pergulatan berat penuh romantisme semacam itu tidak bisa “dinikmatinya secara tulus,” tetapi justru disia-siakan. Dia malah memilih jalan pintas, memborongkan pekerjaan monumental itu pada “tukang” penyedia jasa penyusunan karya ilmiah. Ini suatu pembohongan dan cermin ketidak-pedulian pada prinsip-prinsip kejujuran dalam dunia akademik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar