Sabtu, 14 Agustus 2010

Diaspora dan Puncak Kekuasaan

DIASPORA DAN PUNCAK KEKUASAAN:
Habibie dan Upaya Membangun Citra Islam
Dalam Birokrasi Pemerintahan*)

Oleh Fauzan Saleh

Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan “penghinaan”, sehingga kemudian saya memberanikan diri untuk berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung dengan Presiden Soeharto. Namun, baru saja saya berada di depan pintu Ruang Jepara, Presiden Republik Indonesia memasuki ruang upacara. Saya tercengang melihat Pak Harto, melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan “melecehkan” keberadaan saya di depan semua yang hadir.

....... “Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003.”

Detik-detik Yang Menentukan (2006), 64-65.

Pendahuluan
Kemunculan Bacharuddin Jusuf Habibie, putra Bugis kelahiran Pare-pare (25 Juni 1936)—dalam kaitannya dengan posisi umat Islam di Indonesia—tidak bisa dipisahkan dengan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Meskipun keberadaan ICMI ini sekarang sudah semakin dilupakan banyak orang—bahkan kalangan pemuda Muslim sendiri mungkin sudah tidak pernah mendengar lagi tentang apa itu ICMI—kelahiran wadah bagi kaum intelektual Muslim ini telah mencatat adanya pergeseran cara pandang bangsa tentang posisi umat Islam dalam pergulatan budaya dan politik di Tanah Air. Kehadirannya di awal tahun 1990-an telah disambut dengan antusiasme cukup tinggi oleh umat Islam, namun juga dengan skeptisisme dan kecemburuan oleh pihak-pihak yang kurang bisa menerimanya. Sebagai suatu momentum penting, terlepas dari berbagai sudut pandang yang beragam tersebut, kelahiran ICMI merupakan suatu “keberanian sejarah” yang berhasil diukir oleh umat Islam di negeri yang masih didominasi oleh kultur sekuler dan abangan. Saat itu, ketika umat Islam masih dalam “posisi terjepit,” tidak banyak harapan yang diberikan bagi upaya-upaya mengangkat citra Islam di negeri ini, khususnya ketika pemerintahan berada di tangan para birokrat sekuler-abangan yang selalu mencurigai umat Islam sebagai kelompok yang kurang setia pada negara beserta ideologinya, karena dituduh berambisi mendirikan negara Islam.
Di tengah-tengah suasana penuh kemuraman dan tiadanya harapan itulah kehadiran Habibie, terlepas dari berbagai kekurangannya, di lingkaran dalam birokrasi kekuasaan membuka peluang bagi umat Islam untuk menunjukkan peran konstruktifnya bagi kemajuan bangsa, sekaligus memperbaiki citra budayanya. Habibie dapat berperan sebagai motor penggerak bagi semangat yang sedang tumbuh di kalangan cendekiawan Muslim untuk dapat melepaskan diri dari segala bentuk stigmatisasi sejarah yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan Islam mampu berperan secara signifikan dalam pembangunan bangsa (nation building). Bahwa tidak semua elemen umat Islam memiliki ambisi atau aspirasi politis ingin mendirikan negara Islam seperti yang dituduhkan oleh pihak penguasa selama ini perlu pembuktian kongkrit dari pihak umat Islam sendiri, dengan menunjukkan kontribusi kultural mereka secara signifikan bagi kemajuan bangsa.
Masih banyak kalangan umat Islam di Tanah Air yang sudah berubah cara pandangnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang kemudian bersikap lebih realistis—untuk tidak menyebutnya akomodatif semata—dalam menilai perkembangan sosial budaya yang tengah berlangsung saat itu. Di sisnilah momentum kelahiran ICMI, dengan B.J. Habibie sebagai top figur yang diidolakan, memiliki signifikansinya secara nyata. Sebagai putra Bugis dalam diaspora, B.J. Habibie tidak hanya dipandang sebagai seorang jenius yang menguasai hi-tech dan ahli merancang pesawat terbang, tetapi juga merupakan aset kultural bagi bangsa Indonesia. Penampilannya banyak diidolakan oleh kalangan muda terpelajar, sebab selain menguasai teknologi canggih, sosok Habibie juga mencerminkan seorang Muslim yang taat beribadah, pekerja keras, cerdas dan jujur, namun bisa diterima secara luas oleh berbagai kalangan, di samping kedudukannya yang amat strategis dalam percaturan politik bangsa saat itu. Habibie juga bebas dari ikatan-ikatan primordialisme yang sering menjadi hambatan bagi sebagian tokoh tertentu ketika namanya dikaitkan dengan afiliasi sektarianisme di masa lalu. Pembangunan citra umat Islam—untuk melepaskan diri mereka dari stigmatisasi sejarah seperti disebut di atas—memerlukan tokoh yang memiliki kualifikasi seperti B.J. Habibie.

B.J. Habibie, dari Diaspora ke Puncak Kekuasaan
Bacharuddin Jusuf Habibie dapat disebut sebagai tokoh paling penting di antara warga Bugis di negeri ini, setidaknya pada masa dua dekade terakhir abad kedua-puluh. Sebagaimana kebanyakan warga etnis Bugis yang lain, Habibie telah mengikuti diaspora, mengembara jauh di luar tanah kelahirannya, dan banyak menghabisakan masa hidupnya di luar negeri, selama bertahun-tahun. Dia kemudian kembali ke Tanah Airnya dan menetap di Jakarta, di mana dia meniti karirnya di lingkungan birokrasi pemerintahan, hingga akhirnya ditunjuk menjadi presiden, mengantikan Soeharto (1998). Meskipun sebagian orang mungkin meragukan keaslian darah Bugisnya, dia telah dibesarkan dalam tradisi Bugis yang kental, dan seperti anggota keluarganya yang lain, dia berbicara bahasa Bugis dengan lancar. Habibie juga mendapatkan pendidikan agama yang bagus di lingkungan keluarganya. Pada usia 13 tahun dia sudah dapat membaca al-Qur’an dengan fasih, dan bapaknya adalah orang yang taat beragama. Dilaporkan bahwa bapaknya menghembuskan napas terakhirnya pada saat melaksanakan shalat, suatu pertanda akan keluhuran iman seorang Muslim.
Habibie mulai pendidikan tingginya dengan berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun dia hanya bisa bertahan satu tahun di perguruan tinggi bergengsi tersebut, sebab dia mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikannya di Jerman. Selama sepuluh tahun studi di negeri tersebut Habibie akhirnya mendapat gelar doktor dalam bidang konstruksi pesawat terbang dengan predikat summa cum laude. Selanjutnya dia bekerja di industri pesawat terbang terkemuka, Messeschmitt Bolkow-Blohm (MBB) Gimbh di Jerman, sebelum akhirnya memenuhi panggilan Presiden Suharto untuk kembali ke Tanah Air guna mengabdikan ilmu pengetahuannya bagi pembangunan bangsa. Pada tahun 1970 Habibie bertemu dengan Suharto, ketika presiden RI kedua tersebut berkunjung ke Jerman. Saat itu sebenarnya Habibie telah menyatakan kesiapannya untuk kembali ke Tanah Air. Namun Suharto memintanya untuk menambah pengalaman bekerja di negeri industri maju tersebut, agar lebih bermanfaat untuk kemajuan bangsanya di masa mendatang. Pada tahun 1974 akhirnya Suharto meminta Habibie untuk kembali ke Indonesia untuk membantu menangani program-program pembangunan sesuai dengan keahlian yang ia miliki. Pada tahun 1978 Habibie diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi dan menangani proyek-proyek pemerintah dalam bidang hi-tech, termasuk mengepalai BPPT dan memimpin sepuluh perusahaan BUMN industri strategis.
Dalam bidang politik, karier Habibie dimulai pada saat menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan Musyawarah Nasional Golongan Karya (GOLKAR), tahun 1993. Mulai saat itu Habibie dipercaya sebagai koordinator Dewan Penasehat GOLKAR, suatu posisi yang amat strategis dalam percaturan politik nasional, sebab dia bertanggungjawab langsung kepada presiden. Penunjukan Habibie pada posisi penting ini bisa dipandang sebagai masa “pelatihan” baginya untuk dapat mematangkan kemampuannya dalam menangani persoalan-persoalan kenegaraan. Hal itu sekaligus merefleksikan kedekatan hubungan pribadi antara Habibie dengan Suharto, suatu sikap yang sering menimbulkan rasa cemburu di antara para pembantu dekat presiden yang lain. Tidak jarang Habibie dapat menemui Suharto selama berjam-jam, sementara para menteri yang lain hanya diberi waktu yang terbatas, sesuai keperluan. Habibie juga memiliki akses langsung pada Suharto, sehingga dia dapat menemuninya kapan saja dia mau.
Kemunculan Habibie di panggung politik dan birokrasi pemerintahan bukan saja penting, tetapi juga—sebagai seorang insinyur dan ilmuan yang cemerlang—dia sangat dikagumi oleh para pemuda, khususnya di kalangan mahasiswa. Dengan penampilannya yang cerdas, energetik dan jujur, Habibie banyak diidolakan oleh kalangan anak muda sebagai calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Dalam konteks inilah para mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang (Jawa Timur) mengundang Habibie untuk menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam sebuah simposium nasional para cendekiawan Muslim, yang akan diselenggarakan di student center universitas tersebut. Tujuan dari simposium nasional tentang masa keemasan Islam—yang ditandai dengan kemunculan tokoh-tokoh intelektual Muslim terkemuka seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd—ini ialah untuk memformulasikan strategi yang paling efektif untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan bagi pengembangan pemikiran Islam di era modern ini. Mereka menginginkan agar para intelektual Muslim Indonesia bisa menelurkan pemikiran mereka sendiri tentang Islam, sehingga dapat mengurangi ketergantungan mereka pada dunia luar, termasuk pada Timur Tengah.
Namun para instruktur senior dari sekelompok mahasiswa penggagas simposium tersebut menyarankan agar cakupan materi simposium diperluas, dengan mengundang para intelektual terkemuka di Tanah Air, termasuk B.J. Habibie dan Imaduddin Abdurrahim. Atas dukungan dari para seniornya tersebut penggagas simposium kemudian sepakat untuk mengubah tema simposium menjadi “Sumbangan Cendekiawan Muslim dalam Meningkatkan Pembangunan Nasional di Indonesia.” Mereka pun segera menemui para cendekiawan seperti dimaksudkan oleh seniornya. Mula-mula mereka mengajukan proposal yang telah mereka persiapkan kepada Dr. Imaduddin Abdurrahim, seorang cendekiawan Muslim yang banyak dikagumi oleh kalangan pemuda terpelajar, di Bandung. Dengan penuh semangat Imaduddin menyambut gagasan para mahasiswa tersebut dan memperbaiki proposal yang mereka buat, untuk selanjutnya dibawa menghadap ke B.J. Habibie di Jakarta, bersama para pemuda tersebut. Mereka merasa sangat senang ketika Habibie bersedia memenuhi undangan para mahasiswa tersebut, dengan syarat para intelektual yang lain ikut diundang. Mengetahui bahwa Presiden Suharto bersedia membuka acara dimaksud maka lebih dari 300 cendekiawan Muslim dan kalangan birokrat mau menghadiri acara simposium tersebut.

ICMI, Kebangkitan Kaum Intelektual Muslim
Lebih dari sekedar pertemuan ilmiah, seminar ini berkembang menjadi suatu momentum besar dan bersejarah bagi kebangkitan kaum intelektual Muslim di akhir abad ke-20, dengan didirikannya organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Habibie terpilih menjadi ketua umumnya yang pertama berdasarkan kredibilitasnya sebagai seorang ilmuan dan komitmennnya pada Islam serta posisinya sebagai tehnokrat terkemuka di tingkat nasional. Para peserta simposium juga sangat terkesan dengan ketulusan dan kejujurannya. Secara keseluruhan dialah orang yang dipandang paling tepat untuk dipilih saat itu. Habibie juga berusaha membuktikan komitmennya pada Islam bagi mereka yang masih meragukannya. Namun masih lebih penting dari itu semua, Habibie adalah satu-satunya tokoh yang dipandang paling mampu mengintegrasikan seluruh elemen cendekiawan Muslim di Indonesia, sehingga keberadaan mereka dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kelanjutan pembangunan bangsa. Ketika para cendekiawan Muslim tersebut sepakat untuk bekerjasama dalam wadah ICMI di bawah kepemimpinan Habibie, ini benar-benar merupakan kesadaran mereka bahwa Habibie adalah orang yang tidak terikat dengan persoalan-persoalan sektarianisme kelompok yang selalu menjadi hambatan bagi hampir setiap tokoh dan pemimpin Muslim di Tanah Air. Lebih dari itu Habibie juga bebas dari semua beban sejarah terkait dengan konflik internal di antara umat Islam. Sejauh ini Habibie tidak pernah memiliki keterikatan khusus dengan kelompok-kelompok primordial di Indonesia, dan dengan demikian ia dapat menjaga kenetralannya. Karena itulah Habibie selalu mendapat dukungan yang luas dari umat Islam untuk mengambil peran sebagai simbol pemersatu kaum intelektual Muslim di Tanah Air. Bahkan, kehadirannya dirasakan sebagai sangat bermanfaat bagi upaya-upaya meningkatkan peran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang.
Tetapi apa yang membuat Habibie bersedia menerima peran yang sebenarnya amat jauh dari latar belakang akademik dan pengalamannya? Dia telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk mengembangkan hi-tech. Di sisi lain, Habibie juga dikenal sebagai nasionalis tulen. Pandangannya sebagai seorang nasionalis bisa difahami dari sikap dia yang tidak pernah berfikir akan melakukan sesuatu demi kepentingan sekelompok orang atau golongan tertentu, tetapi untuk bangsa secara keseluruhan. Dengan kata lain, meskipun dia adalah seorang Muslim yang taat, dia tidak ingin bekerja hanya untuk kalangan umat Islam saja, sebab dia menyadari bahwa dirinya adalah aset bagi seluruh bangsa ini. Salah satu cita-citanya ialah bagaimana ia membangun bangsa Indonesia agar mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Dia sangat terobsesi untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih cerdas, menguasai teknologi maju, dan semakin mandiri. Oleh karena itu dapat dimengerti jika pada awalnya Habibie tampak kurang bersedia memenuhi keinginan umat Islam untuk memimpin ICMI.
Sebagai menteri yang bertanggungjawab langsung pada presiden, pada dasarnya Habibie tidak dapat melakukan pekerjaan di luar batas-batas kewenangan yang ditentukan. Oleh karena itu dia harus berkonsultasi dengan Suharto sebelum ia dapat menyetujui permintaan masyarakat Muslim di Indonesia untuk menjadi ketua umum ICMI. Di samping itu, sudah sangat lazim bagi para menteri saat itu untuk selalu “mohon petunjuk dari Bapak Presiden” sebelum dia membuat sebuah keputusan. Persetujuan Bapak Presiden merupakan kunci penting untuk menjadikan suatu agenda bisa berhasil atau tidak, dan dipandang penting atau tidak oleh publik. Atas dasar itulah Habibie harus berkonsultasi lebih dahulu pada Suharto, apakah dia sebaiknya menerima tawaran untuk menjadi ketua umum ICMI tersebut atau tidak. Saat Habibie “mohon petunjuk” tersebut Suharto hanya memberikan isyarat secara tidak langsung agar dia menerima tawaran itu, dengan mengatakan: “Apakah kamu mau menerima tawaran itu atau tidak, mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam.” Yang jelas Habibie tidak berani mengambil keputusan, meskipun hal itu terkait erat dengan komitmen keagamaannya sendiri. Persoalannya ialah karena keputusan semacam itu bukan semata-mata masalah komitmen keagamaan, tetapi lebih banyak bersifat politis. Bagaimana pun, berbekal “petunjuk dari Bapak Presiden” itulah Habibie merasa mantap untuk menerima tawaran menjadi ketua umum dari sebuah organisasi kaum intelektual Muslim di Indonesia yang baru dibentuk tersebut.
Bagi umat Islam Indonesia, pembentukan ICMI memiliki makna yang sangat penting. Inilah saat pertama kali umat Islam di Indonesia dapat menyaksikan suatu fakta bahwa pada akhirnya birokrasi kekuasaan mau membuka diri dan mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam pengertian yang luas. Paling tidak orang dapat mengatakan bahwa kedua belah pihak, pemerintah dan umat Islam, dapat bekerja sama dengan tingkat kecurigaan yang rendah, suatu momentum yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, ketika pemerintahan berada di bawah bayang-bayang kelompok sekuler-abangan. Dari sudut pandang politik, persetujuan presiden atas pendirian ICMI, dapat dipandang sebagai pertanda bagi berakhirnya ketegangan antara pemerintah dan umat Islam. Di samping itu, anggota ICMI menyadari sepenuhnya bahwa, bagaimana pun, para birokrat di pemerintahan secara umum adalah bagian dari komunitas Muslim juga, sehingga mereka tidak perlu berlebihan dalam membuat dikotomi antara penguasa dan rakyat—yang mayoritas adalah umat Islam sendiri. Mereka juga menyadari bahwa tanpa topangan dari pihak birokrasi pemerintah akan terlalu sulit bagi kalangan intelektual Muslim untuk mengambil langkah-langkah strategis bagi upaya meningkatkan peran mereka di dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu umat Islam tidak harus selamanya mengambil sikap konfrontatif terhadap birokrasi. Secara umum, pendirian ICMI merupakan satu-satunya kesempatan yang mungkin tidak akan diberikan untuk kedua kalinya, atau mereka akan kehilangan momentum itu sama sekali. Inilah untuk pertama kalinya setelah 27 tahun, menurut Imaduddin Abdurrahim, bahwa umat Islam dilibatkan dalam kehidupan politik, dan oleh karena itu mereka harus dapat mengambil manfaat dari momentum itu dengan sebaik-baiknya. Meskipun tentu saja pendirian ICMI tidak mungkin dapat memenuhi seluruh harapan umat Islam, momentum itu benar-benar merupakan kesempatan yang amat berharga dan tak boleh dilewatkan.
Terutama sekali perlu diingat bahwa upaya mempersatukan kalangan intelektual Muslim di bawah satu payung organisasi yang bisa diterima oleh semua pihak merupakan tugas yang amat sulit untuk direalisasikan. Sebenarnya, sejak pertengahan 1960-an, para cendekiawan Muslim sudah mencoba mendirikan sebuah organisasi Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (PERSAMI), yang diharapkan akan menjadi organisasi kaum intelektual Muslim yang efektif guna menandingi pengaruh kelompok komunis saat itu. Organisasi tersebut sebenarnya ikut memainkan peran yang penting dalam mendukung kenaikan Suharto pada puncak kekuasaan di awal Orde Baru. Namun organisasi itu segera menyusut dan pudar pamornya, disebabkan oleh adanya konflik internal dan keengganan pihak birokrasi untuk mendukungnya. Akhirnya organisasi tersebut tenggelam dan dilupakan orang sebelum berhasil mewujudkan misinya. Tetapi PERSAMI bukan satu-satunya upaya yang pernah dilakukan untuk mempersatukan para cendekiawan Muslim di Tanah Air. Upaya lain pernah dilakukan sebelum tahun 1990-an, tetapi lagi-lagi berakhir dengan kegagalan.
Belajar dari pengalaman masa lalu, ICMI, dengan karakteristiknya yang inklusif, berupaya menerapkan suatu pola kerjasama dan saling mengontrol antara pihak penguasa dan kalangan intelektual Muslim. Semua orang menyadari bahwa jika kontrol penguasa terlalu ketat maka akan berdampak pada hal-hal yang tidak menguntungkan kedua belah pihak. Karena itulah sebagian aktifis Muslim yang sebelumnya dipandang berseberangan dengan kebijakan pemerintah dan selalu mendapat pengawasan dari penguasa, tiba-tiba dibebaskan dan diberi kesempatan untuk kembali aktif dalam kegiatan politik. Pada bulan-bulan menjelang dibentuknya ICMI, media memberikan peliputan yang cukup luas tentang diskusi yang diselenggarakan oleh sebagian umat Islam yang membahas tentang poltik dan pembangunan, suatu peluang yang tak mungkin diberikan pada tahun-tahun sebelumnya. Sebuah ilustrasi mengenai perubahan ini dapat dirujukkan pada pengalaman Dr. Imaduddin Abdurrahim, salah seorang tokoh penting dalam mempersiapkan kelahiran ICMI. Sebelum ICMI dibentuk, sangat sulit baginya untuk berceramah di depan publik, sekalipun itu di lingkungan kampus perguruan tinggi sendiri. Ke mana pun dia pergi untuk menghadiri suatu undangan atau mengikuti kegiatan, pihak pengundang harus mendapatkan izin dari polisi, dan itu pun sering ditolak. Namun sejak ICMI dibentuk, semua hambatan itu hilang dengan sendirinya. Dia bisa bebas bepergian ke mana saja, tanpa harus minta izin polisi. Bagi dia hal itu merupakan bukti bahwa motif apa pun yang mendasari dukungan Suharto bagi berdirinya ICMI, suatu perubahan penting telah terjadi dalam sikap dan perlakuan pihak birokrasi terhadap umat Islam.

Berhadapan dengan Elit Penguasa
Tetapi apa sebenarnya yang berubah para kurun waktu antara 1988 dan akhir 1990, sehingga pihak pemerintah dan, terutama, presiden merasa enak untuk memberikan dukungan mereka pada gerakan intelektual kalangan Muslim terpelajar ini? Cukup mengejutkan bahwa baik pendukung maupun pengkritik ICMI sama-sama berpandangan bahwa sejak saat itu telah terjadi persaingan yang cukup tajam di antara presiden dengan kelompok tertentu di kalangan militer, dalam rangka mengantisipasi pemilihan umum 1992. Apa yang terjadi saat itu bisa merefleksikan suasana tahun 1960-an awal, yaitu adanya konflik antara Presiden Sukarno dan kelompok militer, dalam rangka menemukan suatu keseimbangan baru di antara birokrasi pemerintahan dan pihak militer.
Saat itu tampak cukup jelas adanya sekelompok perwira tinggi militer yang menyarankan agar presiden menolak pendirian ICMI. Namun, ketika ternyata kemudian presiden justru mendukung pendirian ICMI, kalangan militer akhirnya menghentikan krtikannya, dan panglima ABRI (sekarang TNI) saat itu, Jenderal Try Sutrisno, malah ikut hadir dalam peresmian ICMI di Malang, Jawa Timur. Sekalipun demikian, beberapa anggota pengurus pusat ICMI masih sering berkomentar bahwa sebagian perwira militer terus mengkritik ICMI sebagai sebuah organisasi primordial dan bersifat emosional belaka. Demikian pula ketika sebagian pimpinan militer di tingkat provinsi tidak mampu menghalang-halangi keinginan umat Islam untuk membentuk kepengurusan dan merekrut anggota di tingkat wilayah dan daerah kabupaten/kota. Konsekwensinya, sebagai wujud dari loyalitas para pejabat militer tersebut pada kebijakan pemerintah pusat, di mana pun sekelompok umat Islam ingin mendirikan ICMI maka mereka akan segera menyatakan dukungannya untuk membentuk kepengurusan ICMI di wilayahnya.
Dukungan pihak militer dan birokrat atas berdirinya ICMI, seperti digambarkan di atas, memang tampaknya hanya superfisial, kurang tulus atau tidak sungguh-sungguh, dan sekedar untuk menunjukkan loyalitas pada penguasa yang lebih tinggi di tingkat pusat. Namun apa pun alasan mereka, secara substansial momentum seperti itu telah memberi kesempatan kepada umat Islam untuk dapat menampakkan diri ke permukaan secara lebih leluasa. Monentum inilah yang harus diperhitungkan ketika orang membaca perkembangan Islam di Tanah Air sejak dekade terakhir abad ke-20, yang dampaknya dapat dirasakan hingga saat ini. Kebebasan mengekspresikan simbol-simbol keislaman, hingga keleluasaan membentuk partai politik berbasis Islam—seiring dengan proses demokratisasi pada era reformasi—yang begitu luas dewasa ini tidak mungkin dapat dirasakan oleh generasi sekarang tanpa proses sejarah yang berliku tersebut. Meskipun ICMI sendiri mungkin sudah semakin dilupakan, peran di atas tidak bisa dihilangkan dari catatan sejarah perkembangan Islam di Tanah Air. Dengan momentum seperti itu umat Islam di Indonesia telah mampu membebaskan diri dari trauma sejarah, yang akibatnya lebih lanjut dapat menghindarkan diri dari problem-problem budaya seperti yang dialami oleh umat Islam di Turki hingga saat ini, ketika rezim sekuler—yang juga didukung oleh pihak militer—tidak mau mengakui eksistensi tradisi-tradisi Islam yang berkembang di masyarakat.
Di atas telah disebutkan bahwa Habibie mendapatkan dukungan yang cukup luas dari kalangan umat Islam untuk memimpin ICMI. Kehadiran Habibie di puncak pimpinan organisasi kaum intelektual Muslim yang baru dibentuk ini dimaksudkan sebagai upaya memenuhi tuntutan mempersatukan potensi umat Islam di Tanah Air, sehingga mereka dapat memainkan peranan yang lebih nyata dalam pembangunan bangsa. Umat Islam sering merasa ditinggalkan oleh pihak penguasa karena dicurigai, seperti telah disebut di muka, jika diberi peluang memainkan peran politik mereka hanya ingin mendirikan negara Islam. Karena itulah umat Islam selalu ditempatkan pada posisi periferal dalam percaturan politik kenegaraan. Kalangan birokrat dan militer cenderung memandang sebelah mata terhadap kemampuan umat Islam untuk memainkan sebuah peran yang signifikan bagi pembangunan bangsa secara keseluruhan. Karena itu pula, tidak jarang terjadi kalangan militer mencurigai kolega mereka sendiri yang memiliki kedekatan tertentu dengan kelompok atau tokoh-tokoh Islam, atau mereka yang nampak taat dalam menjalankan kewajiban agamanya. Sikap seperti itu bisa dijadikan alasan untuk menuduh seseorang perwira kurang nasionalis atau kurang loyalitasnya pada ideologi negara. Jika salah seorang yang dicurigai tersebut kemudian menjabat sebagai pimpinan dalam militer maka segera muncul pertanyaan akan dibawa kemana TNI oleh orang-orang seperti itu.
Kecurigaan—paling tidak seperti tercermin dalam bentuk kritikan—semacam itu juga disuarakan oleh pihak-pihak yang skeptis terhadap potensi umat Islam. Kritikan semacam itu bahkan juga disampaikan oleh sebagian tokoh Muslim sendiri, sekalipun hal itu tidak harus menunjukkan rendahnya komitmen yang bersangkutan pada Islam. Mungkin mereka berpandangan demikian lebih disebabkan oleh kurangnya kepedulian semata. Dr. Deliar Noer, misalnya, sebagai salah seorang yang cukup terpandang di kalangan cendekiawan Muslim, pernah mengatakan bahwa pendirian ICMI tidak lebih merupakan kendaraan politik bagi Suharto untuk dapat terpilih kembali menjadi presiden pada pemilihan umum 1993. Kritik yang lain menyebutkan bahwa Habibie telah menggunakan ICMI untuk tujuan-tujuan politiknya, termasuk untuk memperebutkan kursi wakil presiden pada bulan Maret 1993. Namun Habibie secara tegas menyatakan bahwa dirinya secara pribadi tidak banyak berkepentingan untuk memangku jabatan ketua umum ICMI. Dia merasakan bahwa tambahan tugas menangani ICMI akan banyak menyita waktu yang tersedia guna mengembangkan program-program hi-tech yang menjadi tanggungjawab utamanya. Krtikan yang lain lagi menyebutkan bahwa sebelum Habibie ditunjuk mejadi ketua umum ICMI dia sudah mendapatkan kepercayaan yang begitu tinggi dari Suharto, namun tidak memiliki basis massa yang cukup. Dengan demikian maka ICMI, menurut kritik tersebut, bisa memberikan basis massa yang sangat diperlukan bagi Habibie. Sekalipun demikian, masih menurut kritik yang sama, ICMI tidak akan bisa bertahan lama untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut secara efektif.

Problem Islamo-phobia
Uraian di atas menunjukkan betapa serius persoalan yang dihadapi Habibie terkait dengan posisinya: pertama karena perannya sebagai menteri negara yang bertanggung-jawab langsung pada Suharto, dan kedua ketokohannya sebagai pemimpin yang sangat diharapkan oleh umat Islam. Tentu dapat dimaklumi jika dengan posisinya yang amat penting tersebut banyak orang yang tidak suka pada Habibie. Bersama Suharto, Habibie sering menjadi obyek caci-maki atau cemoohan oleh orang-orang yang kurang senang terhadap keduanya. Cemoohan semacam itu mendapatkan pemicunya ketika beredar buku Adam Schwarz, Nation in Waiting yang sangat kritis terhadap Suharto, karena dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan bagi kepentingan bisnis keluarga dan kroni-kroninya. Kritikan yang pedas terhadap Suharto, mau tak mau, berakibat pula pada posisi Habibie. Tetapi bagi para pemimpin Islam di Indonesia, persoalan itu dipandang sebagai bagian dari upaya-upaya mendiskreditkan Islam melalui issue Islamo-phobia. Mereka tidak menginginkan umat Islam memperoleh kesempatan untuk menduduki posisi yang menentukan, baik dalam pemerintahan, militer, maupun ekonomi. Sebagaimana telah disebutkan di atas, ketika mereka menyadari bahwa sejumlah perwira tinggi militer menunjukkan kedekatan mereka dengan sebagian pemimpin umat Islam atau berpenampilan sebagai orang yang taat beragama, teman-temannya akan menganggapnya sebagai pendukung kebangkitan Masyumi baru, partai Islam yang mengalami kejayaan pada era 1950-an.
Islamo-phobia merupakan pandangan sekelompok orang yang menganggap Islam sebagai ancaman yang sebenarnya, khususnya bagi ideologi negara. Pandangan semacam ini dapat muncul kapan saja ketika sekelompok orang tertentu merasakan dinamika umat Islam di Tanah Air semakin menguat. Mereka beranggapan bahwa umat Islam tidak pernah memiliki semangat nasionalisme yang sejati, atau Islam itu sendiri pada hakekatnya bertentangan dengan nasionalisme. Oleh karena itu, Islamo-phobia juga mencuat ke permukaan ketika umat Islam mengalami euforia saat Suharto semakin membuka diri pada umat Islam. Segera setelah ICMI secara resmi dibentuk pada bulan Desember 1990, sekelompok tokoh intelektual lain juga mendirikan organisasi saingan, disebut Forum Demokrasi. Forum ini dibentuk dengan tujuan, antara lain, untuk mencegah munculnya sektarianisme, yaitu suatu keyakinan yang dipegangi oleh sekelompok orang yang dituduh hanya mempedulikan kepentingan sendiri secara eksklusif, dan tidak pernah peduli dengan kepentingan nasional secara umum. Keterlibatan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara aktif dalam forum ini telah memperkuat reputasi kelompok anti-Habibie. Keterlibatan Gus Dur tersebut sekaligus mengesankan bahwa seolah-olah dirinya merepresentasikan kelompok umat Islam lain yang keberatan atas kemunculan Habibie dalam kancah politik nasional. Paling tidak ketokohan Gus Dur dalam forum tersebut merupakan jastifikasi bagi kelompok tertentu untuk menyatakan bahwa sebenarnya umat Islam tidak sepenuhnya sepakat untuk mendukung ICMI, atau bahwa masih terdapat cukup banyak orang yang kurang suka pada Habibie, dan terhadap sikap akomodatif pemerintah yang cukup menyolok terhadap kepentingan umat Islam.
Perlu dicatat bahwa Islamo-phobia muncul kembali ketika Jenderal Hartono diangkat menjadi Kepala Staff TNI Angkatan Darat, menggantikan Jenderal Wismoyo Arismunandar. Hartono, bersama Jenderal Faisal Tanjung sebagai Panglima TNI saat itu, dikenal sebagai “duet jenderal santri.” Keduanya mempunyai hubungan cukup dekat dengan para pemimpin umat Islam. Harold Crouch, pemerhati masalah politik Indonesia dari Australia, menyatakan bahwa kemunculan kedua jenderal santri ini dapat dipandang sebagai indikasi kuat bagi bangkitnya kembali apa yang disebut neo-Masyumi. Masyumi adalah partai Islam terkuat pada era 1950an yang kemunculannya kembali sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam yang taat, namun banyak ditolak oleh kelompok lain. Di sisi yang lain, pengangkatan kedua jenderal ini tentu memiliki arti khusus bagi Suharto, yang berkeinginan untuk menarik simpati lebih besar dari kalangan umat Islam bagi kepentingan pribadinya. Dalam hal ini, masih menurut Crouch, posisi Habibie harus diperhitungkan secara khusus. Sebagian pengamat beranggapan sebenarnya Suharto sendiri ingin menjadikan Habibie sebagai calon penggantinya sebagai presiden yang akan datang. Namun, bagi mereka yang kurang yakin bahwa Suharto ingin berhenti dari jabatannya, hanya menghendaki Habibie akan menjadi wakil presiden pada pemilihan umum 1997.
Meskipun secara pribadi Habibie sudah sangat populer, khususunya di kalangan umat Islam, masih ada sekelompok orang yang dengan kuat menentang pencalonannya untuk menjadi presiden atau wakil presiden. Secara kebetulan Habibie juga memiliki kedekatan dengan kedua jenderal santri tersebut. Paling tidak kedua jenderal santri ini bersedia bekerjasama dengan Habibie. Dengan penggantian pucuk pimpinan militer yang memposisikan kedua jenderal santri tersebut, muncul berbagai spekulasi bahwa Suharto telah bergeser semakin dekat dengan kelompok Islam. Schwarz, dalam bukunya yang telah dikutip terdahulu, menyatakan bahwa salah satu kepentingan Suharto dengan mengganti pucuk pimpinan militer tersebut ialah dalam rangka merespon apa yang ia rasakan sebagai semakin surutnya dukungan pihak militer terhadap dirinya. Dengan kata lain, karena Suharto merasa bahwa dirinya sudah tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari kalangan militer, maka suatu hal yang logis jika ia ganti berpaling kepada umat Islam untuk dijadikan partnernya yang baru. Suharto mengakui bahwa mempercayakan dukungan politik dari umat Islam bukan suatu hal yang keliru, karena mereka merupakan representasi dari 90 persen penduduk Indonesia. Oleh karena itu, dukungan Suharto terhadap pendirian ICMI sering dipandang sama dengan apa yang terjadi pada Sukarno, sekitar tiga dekade sebelumnya. Ketika kalangan militer diragukan kesetiaannya pada Sukarno, menurut Schwarz, maka ia berpaling pada Partai Komunis. Analisa Schwarz didasarkan pada wawancara dia dengan Abdurrahman Wahid pada bulan Juli 1992. ICMI, menurut Gus Dur, tidak harus dilihat dari dimensi keagamaannya semata, tetapi juga dari aspek politisnya. Namun pandangan tersebut ditolak oleh pengamat yang lain. Dr. Salim Said, seorang pengamat militer yang cukup ternama dari Indonesia, misalnya, menyatakan bahwa persetujuan Suharto atas pendirian ICMI bukan karena dia menyadari bahwa militer sudah kurang memberikan dukungan pada dirinya, tetapi justru karena merasa sudah mendapatkan kepercayaan dari kalangan militer untuk menjalin hubungan yang semakin dekat dengan kelompok umat Islam.
Sebenarnya cukup sulit bagi pimpinan pusat ICMI untuk menghindar dari berbagai kritikan pihak luar terkait dengan kecenderungan saling mendekati (rapproachment) antara birokrasi dan umat Islam. Dalam sebuah wawancara, Robert Hefner, seorang Indonesianis terkemuka dari Boston University, Amerika, dengan Haidar Bagir, redaktur pelaksana harian Republika, dijelaskan bahwa sekalipun organisasi ICMI dimaksudkan untuk menggalang dukungan bagi presiden, pendiriannya masih tetap memberikan peluang sejarah. Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan oleh Imaduddin, perubahan sikap yang ditunjukkan kalangan elit birokrasi terhadap umat Islam telah memungkinkan bagi kelompok intelektual Muslim yang sebelumnya selalu dimarjinalkan untuk mengekspresikan pandangan-pandangannya di depan publik. Peluang tersebut juga telah memungkinkan bagi kalangan intelektual Muslim untuk mendapatkan kebebasan politik yang pada masa-masa sebelumnya sangat dibatasi, termasuk pendirian Bank Islam, yaitu Bank Muamalat Indonesia dan penerbitan koran Republika. Hefner lebih jauh menyebutkan bahwa apa pun yang akan terjadi pada ICMI di waktu-waktu mendatang, inisiatif semacam itu telah memberikan momentum baru bagi kalangan kelas menengah Muslim untuk melakukan konsolidasi institusional.

Ke Arah Islamisasi?
Perlu dicatat pula bahwa selama dua dekade terakhir abad kedua-puluh telah terjadi proses Islamisasi yang cukup aktif dari kalangan kelas menengah yang sedang tumbuh, dan juga di kalangan birokrasi. Karena itulah tidak sulit untuk dimengerti jika presiden kemudian tertarik untuk menjadi semakin dekat dengan umat Islam. Sejauh itu telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar dalam kelompok sosial di Indonesia. Perubahan itu antara lain dapat dilihat dari semakin banyaknya pemuda Muslim yang berhasil mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, kemudian mampu meraih posisi-posisi yang lebih bagus dalam dunia bisnis maupun birokrasi. Generasi baru para pemimpin umat Islam yang berasal dari kalangan berpendidikan tinggi dengan gelar doktor atau lainnya telah bermunculan di berbagai sektor kehidupan. Dengan mempertimbangkan semua fakta tersebut, Presiden Suharto menyadari bahwa jika terdapat sekelompok warga masyarakat dalam jumlah besar selalu menentang kebijakan-kebijakannya maka hal itu akan berakibat kurang baik bagi bangsa secara keseluruhan dan juga bagi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu kecenderungan tersebut tidak perlu dipersepsikan sekedar sebagai taktik sesaat yang digunakan oleh presiden, sebab dia tidak hanya berkepentingan terhadap masalah pemilihan umum tetapi juga terhadap proses Islamisasi yang akan memiliki pengaruh jangka panjang bagi bangsa Indonesia. Dilaporkan pula bahwa Suharto sangat memperhatikan semua perkembangan di berbagai belahan dunia Islam, termasuk yang terjadi di Aljazair dan Lebanon, dan oleh karena itu dia tidak menghendaki kekuatan Islam yang sedang tumbuh di Indonesia terus menerus ditekan dan menjadi kekuatan penentang baginya. Dalam kaitan inilah sebenarnya ICMI mampu memainkan peranannya secara signifikan, yaitu memecahkan kebekuan hubungan antara umat Islam dan pemerintah. Jika pada masa-masa awal Orde Baru umat Islam hampir tidak mendapatkan perhatian sama sekali karena kalkulasi pihak birokrasi yang kurang tepat bahwa agama tidak perlu menjadi pertimbangan dalam menjalankan program-program pembangunan, maka sekarang presiden sendiri yang menginginkan untuk merubah kebijakannya dari “mengabaikan sama sekali” menjadi “memberi dukungan dan perlindungan” terhadap umat Islam. Sejalan dengan persepsi tersebut, jika di masa lalu umat Islam di Indonesia sering dipandang sebagai “mayoritas dengan mental minoritas,” maka sekarang mereka hendaknya mulai berfikir dan bertindak sebagai mayoritas yang sebenarnya, karena perubahan-perubahan iklim sosial politik telah memungkinkan hal itu terjadi.
Tidak kalah pentingnya ialah suatu kenyataan bahwa terlepas dari adanya persaingan di kalangan elit terkait dengan berdirinya ICMI, organisasi ini memiliki pengaruh yang nyata bagi tumbuh-kembangnya sikap kesalehan di kalangan kelas menengah yang sedang marak. ICMI mampu membuat kalangan birokrat yang sebelumnya merasa takut atau segan dengan lingkngannya untuk melaksanakan shalat Jum’at, sekarang mereka merasa bebas untuk dapat melaksanakannya, bahkan dengan disertai rasa bangga. Sebenarnya dalam konteks inilah kita bisa memandang Habibie sebagai tokoh Muslim yang muncul dari “lingkungan sekuler.” Dia telah menempatkan dirinya sebagai contoh yang baik bagi berkembangnya trend baru di kalangan elit dan birokrat, merepresentasikan tumbuhnya kesadaran baru di dalam beragama. Banyak dari kalangan intelegensia sekuler berubah menjadi semakin sadar akan kewajiban agama mereka, dan oleh karena itu mereka menjadi semakin taat. Ini merupakan suatu bentuk keberhasilan tersendiri dan sangat bernilai.
Semua bentuk keberhasilan tersebut, bagaimana pun, tidak muncul begitu saja, tanpa proses panjang yang menyertainya. Salah satu hal amat penting yang menentukan keberhasilan dari proses panjang ini ialah bagaimana masing-masing pihak, umat Islam dan kalangan birokrat, saling memahami dan bersedia menjalin kerjasama. Untuk itu kita harus mempertimbangkan berbagai aspek, mulai saat umat Islam bersedia menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial-keagamaan dan partai politik. Dengan diterimanya Pancasila sebagai the common platform dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut, umat Islam tidak lagi dicurigai sebagai kelompok yang berambisi ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Munawir Syadzali, yang menjabat sebagai Menteri Agama saat itu, pernah menyatakan bahwa perjuangan umat Islam untuk memenuhi semua aspirasi mereka akan dapat membawa hasil jika dilakukan secara konstitusional, dan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Pertimbangan seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa aspirasi umat Islam yang utama telah dapat dipenuhi sekalipun pada saat itu umat Islam tidak lagi memiliki partai Islam. Semenjak dua dekade terakhir abad kedua-puluh sudah cukup banyak kepentingan umat Islam dalam bidang spiritual serta tuntutan mereka untuk menciptakan atmosfer yang lebih bernuansa Islami dalam kehidupan sehari-hari sudah dapat diwujudkan. Berkat adanya atmospfer politik seperti itulah, di mana sudah tidak ada lagi trauma untuk mendirikan negara Islam, maka kalangan birokrat menjadi semakin menyadari bahwa umat Islam benar-benar merupakan mayoritasdi negeri ini, bukan sekedar dalam arti nominalnya, tetapi juga dalam pengertian teknisnya. Sebagai konsekuensinya, sesuai dengan prinsip demokrasi, umat Islam berhak mendapatkan perhatian yang lebih besar dari negara, sejauh hal itu tidak melanggar hak-hak kelompok penganut agama lain.
Perlu dicatat pula bahwa sebenarnya kesediaan umat Islam untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas telah memberi banyak manfaat bagi umat Islam, sebab, dalam batas-batas tertentu, hal itu telah berperan dalam menciptakan kohesifitas internal di lingkungan umat Islam sendiri. Saat itu tidak ada lagi partai Islam yang bisa mengklaim bahwa ideologinya adalah satu-satunya representasi yang paling sah dari doktrin Islam yang sebenarnya. Di masa lalu, klaim semacam itu justru banyak menimbulkan konflik di kalangan umat Islam dan menyebabkan terjadinya fragmentasi politik di antara mereka sendiri. Mereka yang terbiasa mencemooh praktik-praktik ritual kelompok umat Islam lainnya, semata-mata karena perbedaan afiliasi politisnya, sekarang sudah bisa saling bergandengan tangan pergi ke masjid yang sama, atau sekolah dan lembaga pendidikan serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial-keagamaan yang sama. Lebih penting lagi, sudah tidak ada lagi kekhawatiran atau ancaman politis untuk menunjukkan jati diri sebagai seorang Muslim yang taat, baik pada strata sosial level bawah maupun di level atas. Pemakaian jilbab, sebagai simbol wanita Muslim yang taat pada perintah agamanya, sejak masa itu telah menjadi pandangan yang umum, baik di lingkungan sekolah, universitas, tempat kerja maupun di tempat-tempat umum lainnya.
Suatu bentuk keberhasilan lain yang banyak memberi manfaat pada umat Islam ialah program-program pemerintah dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Pemerintah telah memberikan akses seluas-luasnya bagi seluruh warga negaranya untuk memperoleh pendidikan secara mudah. Hal ini telah memungkinkan bagi tumbuhnya kelompok intelektual Muslim di antara mereka yang berhasil meraih pendidikan tinggi. Pendidikan juga menciptakan kelas menengah baru dari kalangan umat Islam yang taat, tetapi mereka lebih siap untuk beradaptasi dengan ide-ide modern dan budaya kelas menengah perkotaan. Gejala inilah yang sering disebut sebagai bangkitnya “intellectual booming” dari kalangan umat Islam yang taat dengan ketrampilan teknik yang mereka miliki. Lebih signifikan lagi, banyak di antara kalangan Muslim yang taat ini telah terserap di dalam jajaran birokrasi pemerintahan dan berbagai lembaga bisnis, yang sekaligus menunjukkan adanya mobilitas vertikal dan horizontal di kalangan umat Islam. Pendidikan nasional juga berfungsi sebagai the melting pot bagi apa yang disebut sebagai dikotomi abangan-santri di antara umat Islam di Tanah Air. Hal ini karena pendidikan nasional yang dibangun pemerintah, terlepas dari berbagai kekurangannya, ikut berjasa dalam meningkatkan pemahaman umat Islam tentang ajaran agamanya, melalui pendidikan agama Islam yang mampu menjangkau hampir seluruh jenjang pendidikan yang ada. Sejak saat itu, perbedaan antara abangan dan santri menjadi semakin kabur. Seperti dikatakan oleh Schwarz, hal itu terjadi karena adanya revivalisme kesadaran beragama di kalangan umat Islam di Tanah Air selama dua dekade terakhir abad keduapuluh.
Intellectual booming yang terjadi di kalangan umat Islam di Indonesia juga berhasil memperkaya khazanah intelektual umat Islam. Dimotori oleh para intelekual muda Muslim yang bersemangat yang berjuang untuk menghilangkan stagnasi budaya dan keterasingan politik, kalangan umat Islam yang taat tertantang untuk merumuskan kembali posisi ideologis mereka sebagai upaya kreatif untuk merespon problem-problem mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia secara umum. Hal ini telah memunculkan berbagai rumusan pemikiran yang merepresentasikan model perkembangan intelektual di Indonesia, termasuk “teologi inklusif,” “teologi transformatif,” “tauhid sosial,” “Islam kultural,” dan berbagai rumusan kreatif lainnya. Pada umumnya, semua ide tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkenalkan corak Islam yang lebih ramah dan mencitrakan kedamaian. Rumusan “teologi inklusif” Nurcholish Madjid, misalnya, telah banyak mempengaruhi pandangan kalangan pemerintah maupun masyarakat luas. Rumusan teologi ini telah mampu memberikan elaborasi rasional mengenai teologi yang menempatkan Islam dan Pancasila sebagai dua entitas yang secara intrinsik dapat dipersandingkan. Teologi inklusif menegaskan bahwa Islam merupakan agama yang memiliki nilai-nilai yang dapat menunjang program pembangunan dan mampu memotivasi partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Meskipun rumusan teologi inklusif ini tidak mungkin bebas dari kritik, ia merupakan sumbangan pemikiran yang besar sekali pengaruhnya bagi perubahan cara pandang pihak birokrat terhadap Islam. Rumusan itu diniali mampu menawarkan corak Islam yang damai dan bahwa agama sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan modern serta mencegah terjadinya alienasi akibat proses modernisasi yang sedang berlansung.

Catatan Penutup
Pendirian ICMI dengan Habibie sebagai ketua umumnya merepresentasikan suatu proses tarnsformasi timbal-balik antara kelompok umat Islam yang taat (sering disebut dengan istilah santri) dengan pihak birokrasi, sebagai dampak dari konvergensi sosial-budaya dan politik antara kedua belah pihak. Di sisi yang lain, hal itu juga menunjukkan adanya saling pengertian antara umat Islam dan birokrasi, berdasarkan kemauan tulus untuk saling memberi dan menerima, sesuai dengan prinsip saling mempercayai dan menjauhi sikap curiga. Semua faktor tersebut berperan sangat besar dalam menciptakan hubungan yang lebih menguntungkan antara pihak birokrasi dan umat Islam. Birokrasi pemerintah menyadari adanya kontribusi konseptual yang diberikan oleh kalangan intelektual Muslim serta para ulama’ di dalam mengembangkan ide tentang Islam dalam kaitannya dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesemuanya ini dapat diakui sebagai pencapaian terbesar yang pernah dilakukan oleh umat Islam, bahkan lebih besar dari apa yang pernah mereka peroleh ketika mereka masih tergabung dalam partai-partai politik di era 1960an. Mereka juga sekaligus membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Harry J. Benda (1958), bahwa sejarah Islam di Indonesia adalah sejarah ekspansi kultural kaum santri dan dampaknya terhadap kehidupan keagamaan dan politik bangsa Indonesia. Semua bentuk pencapaian di atas mendapatkan keabsahannya dari momentum berdirinya ICMI, bahwa hanya dengan bekerjasama dengan pemerintahlah umat Islam mampu mencapai banyak kemajuan di dalam merealisasikan pokok-pokok aspirasi mereka. Paling tidak itulah yang terjadi pada dekade terakhir abad kedua-puluh.
Namun, pada tahun 1997, dunia menyaksikan krisis ekonomi Asia yang dipicu oleh adanya serangan spekulasi yang bersifat masif terhadap mata uang Thailand, Bath. Krisis tersebut mau tak mau telah berpengaruh sangat luas terhadap negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Antara bulan Juli 1997 sampai Januari 1998 ekonomi Indonesia dan Malaisia telah mengalami kerugian hampir 40 persen dari nilai perdagangannya, dan nilai tukar mata uang rupiah telah jatuh hampir mencapai 80 persen pada bulan Januari 1998. Pada saat yang sama, investasi negara-negara Eropa dan Amerika ditarik keluar. Dalam waktu yang amat singkat dan tidak diprediksikan oleh para ahli ekonomi sebelumnya, semua indikator pertumbuhan ekonomi menurun drastis. Karena itulah, sepanjang tahun 1998, Indonesia mengalami kemerosotan ekonomi hingga mencapai 20 persen, sementara itu angka pengangguran melonjak hingga angka 15 persen. Krisis hebat itu sangat dirasakan dampaknya terutama oleh kalangan kelas menengah, yang kemampuan daya beli mereka jatuh tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga, disebabkan income mereka merosot hingga rata-rata 40 persen.
Tidak mengherankan jika krisis ekonomi tersebut telah mengakibatkan adanya penentangan yang kuat terhadap regim Suharto yang sudah bercokol di puncak kepemimpinan negara selama lebih dari tiga dekade. Selama masa itu keluarga Suharto dituduh telah berhasil menumpuk kekayaan tidak kurang dari 40 miliar dolar Amerika. Gerakan penentangan tersebut juga didukung oleh para aktifis dari kalangan kelas menengah yang lain, yaitu kelompok mahasiswa. Bergabung pula kelompok masyarakat yang merasa tidak senang dengan kalangan etnis China dan orang kaya baru, nouveaux-riches. Di sisi yang lain, tekanan dari pihak lembaga perbankan internasional (World Bank dan IMF) terhadap kebijakan ekonomi regime Suharto ikut memanaskan situasi. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang lebih fatal, akhirnya Suharto bersedia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa itu terjadi hanya satu minggu setelah kekacauan besar melanda Jakarta dan menghancurkan sebagian bangunan penting di ibukota. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden, B.J. Habibie, diberi wewenang untuk melanjutkan sisa waktu jabatan presiden, yang mestinya berlangsung hingga tahun 2003.
Sayang sekali bahwa jabatan presiden itu tidak bertahan lama di tangan Habibie. Dia terjebak dalam masa yang amat sulit, akibat krisis multidimensional. Dia pun ragu-ragu untuk menjalin kerjasama dengan gerakan demokrat, pertama pada saat bernegosiasi untuk mendapatkan kredit internasional baru, kemudian pada saat mengumumkan rencana pelaksanaan pemilihan umum tahun 1999, dan kemudian pada saat menjanjikan penyelesaian masalah Timor Timur. Pada saat yang sama, legitimasi ICMI yang didirikan atas dukungan pemerintah dan di bawah patronase Habibie dibiarkan semakin merosot sehingga kehilangan prospeknya sama sekali. Umat Islam sendiri sekarang terpecah belah ke dalam berbagai partai politik, karena Habibie memberikan peluang untuk itu, atas nama demokrasi. Sejak masa pemerintahan Habibie rakyat tidak lagi bisa dipaksa untuk menggunakan asas tunggal di dalam berorganisasi. Era yang kemudian diklaim sebagai masa reformasi tersebut merupakan kesempatan bagi berkembangnya multi-partai di Tanah Air. Pertumbuhan partai politik baru yang beranekaragam dan didirikan berdasarkan ikatan-ikatan primordial tersebut menandakan kembalinya masa liberalisasi politik sebagaimana yang pernah terjadi di era 1950an, saat bangsa Indonesia baru saja merasakan kemerdekaannya dari penjajahan. Dalam kondisi seperti itu sangat sulit untuk mengharapkan umat Islam dapat dipersatukan kembali secara kohesif, seperti yang diharapkan pada masa-masa belum lama berselang. Friksi di antara mereka mudah sekali mencuat ke permukaan dan partai-partai yang baru dibentuk tersebut juga rawan perpecahan untuk memunculkan partai baru yang lebih kecil lagi.
Ketika Habibie tidak lagi menjabat sebagai presiden, negara sudah tidak dapat diharapkan akan banyak memperhatikan kepentingan umat Islam secara khusus, bahkan ketika presiden pengganti Habibie adalah seorang kyahi yang karismatik sekalipun. Atmosfer politik telah banyak berubah, terutama ketika Abdurrahman Wahid, pengganti Habibie, menerapkan kebijakannya sendiri terhadap umat Islam, berbeda dengan kebijakan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Seperti telah disinggung di muka, Abdurrahman Wahid adalah orang yang kurang setuju (baca: kurang senang) dengan berdirinya ICMI. Berikutnya, ketika tampuk pimpinan negara jatuh ke tangan Megawati Sukarnoputri yang kebetulan kurang memperoleh pendidikan agama secara mendalam—di samping basis politiknya yang merepresentasikan kelompok nasionalis-abangan—upaya memperbaiki citra Islam tidak mungkin diharapkan terlalu banyak dari dirinya.
Apa yang terjadi kemudian mengingatkan kita semua bahwa sebenarnya Islam belum mampu merombak kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam belum bisa diterima secara utuh, baru sebagian, sesuai dengan kepentingan yang diinginkan. Secara umum, Islam di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Mark Woodward (1989), “hanyalah lapisan tipis dari berbagai simbol yang ditempelkan pada inti budaya animisme atau tradisi Hindu/Buda yang lebih kokoh,” (only a thin veneer of symbols attached to a solid core of animistic and/or Hindu-Buddhist meaning). Ki Jurumartani, salah seorang pujangga Jawa yang dihormati dan penasehat spiritual raja-raja Mataram, pernah memberikan nasehat kepada Panembahan Senopati, ketika ia naik tahta Mataram:
Berkat kerja keras para Wali, Islam sudah menjadi kekuatan nyata yang jauh melampaui kekuatanmu. Kalau engkau memusuhi dan memeranginya, engkau tak mungkin mengunggulinya. Satu-satunya jalan adalah merangkulnya dengan dan dalam batas-batas. Beri orang-orang Islam itu lauk pauk yang memuaskan lidah mereka, sambil diam-diam kurangi nasi mereka sedikit demi sedikit. Kenakan pakaian Islam tertentu sehingga mereka terkesima, sementara sepuhan batin di balik pakaian itu yang selama ini bersumber dari para Wali, gantikan dengan dongeng baru yang menakjubkan namun sekaligus juga harus bisa membuat mereka keder. Umpamanya tuturkan kepada mereka percintaan dengan Nyi Roro Kidul....

Kutipan yang diceritakan kembali oleh Emha Ainun Nadjib (1995), budayawan asal Jombang, Jawa Timur, di atas terasa sangat pas sekali menggambarkan watak dasar perkembangan Islam di Indonesia hingga saat ini; sebuah pertarungan budaya yang belum pernah diketahui seperti apa hasil akhirnya kelak. Habibie, terlepas dari segala kekurangannya, telah melakukan apa yang terbaik yang dapat ia upayakan untuk negaranya dan untuk umat Islam. Mungkin ia bukan orang yang sangat beruntung dengan puncak kekuasaan di tangannya. Dia tidak mampu menyelesaikan masa jabatan sebagai presiden negeri ini dengan happy ending. Namun demikian, kemunculannya di puncak pusaran politik nasional telah membawa banyak perubahan bagi bangsa ini dan juga bagi umat Islam. ICMI, yang lahir dalam asuhan tangan Habibie, mungkin akan dilupakan banyak orang. Tetapi historical journey yang dibawakannya telah memberi banyak manfaat. Habibie tidak gagal.

1 komentar:

  1. KABAR BAIK! KABAR BAIK !! KABAR BAIK !!!

    Aku Mrs. liza William Lender Pinjaman Pribadi. adalah Anda dalam utang? apakah Anda perlu
    Bantuan Keuangan, dan Anda ingin ingin memulai peluang bisnis baru
    Anda dapat mencapai apa yang Anda inginkan di sini
    KARENA Kami memberikan pinjaman
    Pribadi, pinjaman usaha, dan kredit
    Perusahaan, dan semua jenis pinjaman
    Tingkat bunga ON dari 2%. Kamu bisa
    hubungi kami melalui email:
    lizawilliamloanfirm@gmail.com dan
    Kami berjanji untuk memberikan
    Terbaik ..

    BalasHapus