Sabtu, 14 Agustus 2010

Islam Kultural

Pendidikan dan Upaya Membangun “Tradisi Besar “:
Perkembangan Islam Kultural di Indonesia





Oleh Fauzan Saleh






Paper Dipresentasikan pada
The International Conference
On Religious Harmony: Problems, Practice and Education

IAHR, UIN Jogjakarta dan IAIN Semarang









Jogjakarta dan Semarang

27 September – 3 Oktober 2004

Pendidikan dan Upaya Membangun “Tradisi Besar”:
Perkembangan Islam Kultural di Indonesia

Oleh Fauzan Saleh

Abstraksi

Dalam hal kelembagaan dan budaya, semua agama mengalami perkembangan. Agama juga terus berubah. Suatu ketika ia tampil dalam vitalitasnya yang tinggi, pada saat lain ia akan tampak dalam kelesuannya. Ketika Islam pertama kali masuk ke Indonesia ia berada dalam titik lemahnya, baik dari sisi politik, ekonomi maupun pengaruh militernya. Di samping itu, Islam datang ke Indonesia sudah sangat terlambat jika dibandingkan dengan kedatangannya di bagian-bagian lain dunia Islam. Sebagai konsekwensinya pada awal kehadirannya di Indonesia Islam tidak mampu mentransformasikan seluruh sistim keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran dasarnya. Islam hanya bisa menyentuh kehidupan kultural melalui proses asimilasi, bukan revolusi. Akibatnya, Islam harus mengakomodasi berbagai elemen dari tradisi lokal yang hampir seluruhnya asing bagi karakter dasarnya. Namun, sebagaimana agama-agama lain yang tak mungkin luput dari perkembangan sejarah, Islam di Indonesia mengalami evolusi yang cukup signifikan dengan mentransformasikan dirinya dari “tradisi kecil” ke “tradisi besar” (greater tradition). Fazlur Rahman (w. 1988) menyebut transformasi ini sebagai proses “ortodoksifikasi.” Artikel ini mencoba menelaah transformasi teologis yang terjadi pada umat Islam di Indonesia. Transformasi teologis ini telah mendapatkan pijakan yang kokoh pada perbaikan sistim pendidikan nasional, dan dapat dilacak pada fenomena semakin meningkatnya peran Islam kultural dalam kehidupan rakyat Indonesia.


Pendahuluan

Ortodoksi, sebagai suatu konsep yang terdapat pada semua tradisi agama-agama besar—termasuk Islam—biasanya menunjuk pada kemungkinan untuk membedakan antara apa yang benar dan apa yang dianggap salah. Meskipun kata ortodoksi tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Arab dan dipandang tidak ada tempat untuk membicarakannya dalam konteks Islam, hampir tidak mungkin untuk berasumsi bahwa konsep tersebut tidak dikenal oleh para sarjana Muslim (Watt, 1973, 6). Dengan mengacu pada pengertian umum tentang ortodoksi sebagai keyakinan yang benar atau yang murni sesuai dengan ajaran dari pemiliki kewenangan mutlak penganjur agama itu (Callan, 1912, 230), maka dapat dimengerti jika umat Islam sangat peduli terhadap validitas konsep ini. Bahkan, selama berabad-abad, upaya mempertahankan keyakinan yang murni dan benar ini telah menjadi salah satu produk intelektual paling dominan. Oleh karena itu Islam sering disebut sebagai “agama ultra heresiografis yang terpusat pada upaya memantapkan dan mempertahankan [kemurnian] dogma” (Henderson, 1998, 12). Untuk konteks Islam di Indonesia, istilah ortodoksi ini bisa digunakan untuk menunjuk kepada kategori Islam santri, yang merepresentasikan sekelompok orang Islam yang taat dan patuh dalam menjalankan kewajiban agamanya, dan selalu mengikuti perintah-perintah Tuhan. Mereka dapat dilawankan dengan kelompok sinkretis yang tidak terlalu peduli dengan aspek-aspek formal ajaran Islam, yang biasa disebut sebagai kelompok abangan (Cederroth, 1995, 230). Santri, dengan demikian adalah mereka yang memiliki motivasi tinggi untuk berusaha menjadi seorang Muslim yang sebenarnya (Nakamura, 1983, 150). Inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan menjadi Muslim ortodoks itu.
Disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak sangat jauh dari pusat penyebaran Islam, Indonesia mengalami keterlambatan dalam proses Islamisasi. Islam baru datang ke Indonesia sekitar enam atau tujuh abad setelah penaklukan Sepanyol dan India oleh penguasa Bani Umaiyah pada awal abad kedelapan. Bahkan kerajaan terbesar di Jawa sebelum Islam, Majapahit, berdiri sekitar setengah abad setelah kehancuran Baghdad oleh tentara Mongol (1258), atau sekitar dua abad setelah masa al-Ghazali (w. 1111). Karena Majapahit adalah kerajaan Hindu terbesar di Jawa yang kehancurannya pada pertengahan abad ke-15 menandai perkembangan Islam, hal itu lebih lanjut menunjukkan bahwa proses Islamisasi sudah amat terlambat (Madjid, 1992, lvii-lix). Selain itu, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia bukan Islam yang berada pada puncak kejayaan politik dan peradabannya, tetapi Islam yang sudah mengalami penurunan. Konsekwensinya, umat Islam tidak mampu menanamkan pengaruhnya yang kuat untuk mentransformasikan keyakian asli penduduk dan tradisi yang mereka anut menjadi tradisi keislaman yang kokoh. Islam harus menyesuaikan dirinya dengan berbagai unsur adat istiadat lokal dan mentolerir tradisi-tradisi yang asing bagi watak dasar Islam itu sendiri. Dalam hal ini tidak heran jika salah seorang pengamat Barat mendeskripsikan Islam di Indonesia sekedar lapisan tipis dari berbagai simbol yang dilekatkan pada inti tradisi Animisme dan Hindu-Budisme yang lebih kokoh (Woodward, 1989, 82). Namun, sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat lain di kawasan Asia Tenggara, proses Islamisasi telah berlangsung secara gradual, yang pada saat bersamaan keyakinan lama telah berganti secara bertahap, meskipun tidak sampai hilang sama sekali.
Oleh karen itu cukup bisa difahami jika para ahli tentang Indonesia (Indonesianist) berbeda pendapat ketika harus mendeskripsikan perkembangan Islam di Indonesia. Sebagian pengamat mengatakan bahwa Islam tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Namun, pengamat lain menyatakan pandangannya yang lebih empatik bahwa selama lebih dari empat ratus tahun belakangan, Islam di Indonesia telah secara perlahan bergerak ke arah yang lebih ortodoks baik dalam hal keyakinan maupun praktik ritualnya, sementara itu sisi-sisi heterodoksinya semakin berkurang sejalan dengan perkembangan zaman (Federspiel, 1970, 3). Senada dengan ungkapan terakhir di atas, pengamat lain lagi menyatakan bahwa sejarah Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan sejarah perluasan budaya santri dan dampaknya pada kehidupan keagamaan dan politik (Benda, 1958, 14). Kajian ini dimaksudkan untuk meninjau ulang dua perspektif berbeda tentang Islam di Indonesia, dengan mencermati perkembangan pemikiran teologisnya.

Pembaharuan Pemikiran Teologi di Indonesia
Salah satu kelompok terpenting yang telah secara gigih mengupayakan adanya pembaharuan pemikiran teologi Islam di Indonesia ialah Muhammadiyah. Saya akan mulai dengan bagaimana pertama kali Muhammadiyah memformulasikan dasar-dasar keyakinan dalam Islam. Pada dasarnya gerakan pembaruan Islam yang didirikan pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan ini bertujuan untuk memberikan formulasi tentang doktrin pokok agama Islam yang lebih mudah difahami dengan menggunakan bahasa lokal. Dengan demikian, diharapkan umat Islam dapat menyadari secara lebih mendalam tentang ajaran agama mereka dan dapat meluruskan jalan hidup mereka sesuai dengan semangat ajaran itu. Meskipun sangat sederhana, karena hanya membicarakan rukun iman yang telah diketahui oleh setiap Muslim, penyajiannya dalam bahasa Indonesia untuk konteks waktu itu (awal abad ke-20) merupakan suatu terobosan yang amat berani. Hal ini berbeda dengan kalangan pesantren yang mengajarkan dasar-dasar keyakinan tersebut dengan menitikberatkan pada teks Arab dan lebih banyak didasarkan pada hafalan daripada pemahaman yang mendalam.
Melalui formulasi sederhana tentang dasar keyakinan ini Muhammadiyah juga bertujuan untuk membawa umat Islam di Indonesia kepada kemurnian Islam, dan membebaskan mereka dari doktrin palsu yang berasal dari tradisi atau adat istiadat lokal yang bertentangan dengan karakter Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah telah mempelopori perkembangan ortodoksi Islam di Indonesia melalui upayanya yang sungguh-sungguh untuk memurnikan keyakinan dan penekanan tentang perlunya melaksanakan ijtihad, atau penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rasional. Pemurnian keyakinan dan perilaku keagamaan merupakan langkah yang diperlukan untuk membebaskan agama dari semua elemen-elemen mistik, magi, animisme dan tradisi Hindu-Buda yang telah secara keliru dicampur-adukkan dengan ajaran Islam. Berdasarkan perspektif ini, hanya dengan keyakinan yang murnilah umat Islam dapat merasionalkan kehidupan abad modern (Peacock, 1978, 18).
Berdasarkan formulasi mengenai dasar keyakinan yang dikemukakan oleh Muhammadiyah inilah Mas Mansoer (w. 1949), salah seorang tokoh terkemuka dalam gerakan pembaruan ini, menawarkan formulasinya tentang bagaimana cara menyingkirkan semua elemen kemusyrikan dari keyakinan umat Islam. Tujuannya ialah untuk meneguhkan tauhid atau keyakinan akan keesaan Allah. Mas Mansoer menegaskan bahwa elemen-elemen kemusyrikan yang dicampuradukkan dengan agama ini telah merusakkan Islam, dan menyebabkan kelemahan serta keterbelakangan bagi umat Islam sendiri. Sebagai contoh, Mas Mansoer mengkritisi mereka yang mempercayai bahwa arwah orang yang sudah meninggal bisa menolong orang-orang yang masih hidup, dengan melakukan acara ritual di kuburan. Banyak orang yang mendatangi kuburan orang-orang tertentu yang sangat dihormati untuk memohon melalui rohnya untuk menyembuhkan penyakit atau untuk mendapatkan kekayaan dan memperoleh keberuntungan. Tindakan seperti itu, menurut Mansoer, jelas-jelas termasuk syirik, sebab dengan melakukan hal itu orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada roh orang yang sudah meninggal (Mansoer, 1970, 11). Dengan kata lain, mereka telah meyakini akan adanya kekuatan lain di samping Allah yang memiliki kekuatan gaib untuk memenuhi keinginannya.
Sejalan dengan semangat yang diusung Mas Mansoer, A. Hassan (w. 1958), tokoh terkemuka Persatuan Islam, suatu gerakan pembaruan penting lainnya, juga menekankan perlunya pemurnian akidah. Di antara adat kebiasaan lama yang ia kritisi ialah tradisi penggunaan tawassul yang tidak pada tempatnya dan cenderung mengarah kepada syirik. Sebagaimana halnya dengan Mansoer, Hassan juga menentang kebiasaan orang-orang yang memohon kepada arwah orang yang sudah meninggal dengan tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan duniawi. Sebenarnya tawassul masih bisa dibenarkan sebagai bentuk upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sejauh hal itu dilakukan dengan mentaati semua perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Hassan menegaskan bahwa umat Islam harus membangun hubungan langsung dengan Allah, tanpa perantara, seperti arwah Nabi, para wali atau orang-orang yang dipandang suci lainnya (Hassan, 1958, 29).
Baik Mansoer maupun Hassan dapat dikelompokkan sebagai tokoh yang merepresentasikan era memperkokoh fondasi tauhid, dengan semangat purifikasi atau pemurnian akidah umat Islam dari semua unsur syirik dan keyakinan yang keliru. Melanjutkan era ini, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan Hamka (1908-1981), tokoh penting lainnya dari Muhammadiyah, telah melakukan terobosan baru dalam perkembangan pemikiran teologi di Indonesia. Hamka telah tampil sebagai representasi dari era rekonstruksi pemahaman doktrin Islam. Yang ia hadapi bukan lagi masalah adat-istiadat yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu, tetapi lebih banyak terkait dengan kemampuan manusia untuk memahami kebenaran itu sendiri. Dengan pendekatannya yang cukup spesifik, Hamka menekankan perlunya mempertahankan pemahaman yang benar tentang dasar-dasar keyakinan bagi kemajuan umat Islam dalam kehidupan duniawinya. Dalam pembahasannya tentang qadla dan qadar, misalnya, Hamka menegaskan bahwa ayat-ayat Qur’an yang menyatakan adanya ketentuan Tuhan (taqdir) bagi kehidupan manusia dimaksudkan untuk membangkitkan semangat umat Islam dan mempersatukan mereka dalam mencapai kemajuan kehidupan duniawi (Hamka, 1956, 77). Dengan demikian Hamka telah memperkenalkan suatu pandangan teologis yang radikal dengan menggunakan penafsiran yang rasional tentang qadla dan qadar. Dia menekankan bahwa pengaruh negatif dari doktrin fatalistik dan hilangnya semangat kebebasan kehendak (free will) telah membawa kepada kemalasan dan keterbelakangan bagi umat Islam di Indonesia. Ayat-ayat fatalistik yang terdapat di dalam al-Qur’an, dengan demikian, tidak harus dimaknai sebagai pembenaran atau memberi lisensi kepada umat Islam untuk menjadi pasrah (submissive) atau bersikap kekanak-kanakan dengan mengandalkan adanya perlindungan dari Tuhan. Pendapat serupa dikemukakan oleh A. Hassan dengan mengatakan bahwa melalui qadar (ketentuan) sebenarnya Allah telah menetapkan semua hal yang baik dan yang jahat. Tetapi manusia diberi kemampuan untuk memilih. Tanpa adanya keyakinan tentang kemampuan memilih secara bebas (free choice) ini maka orang mukmin akan kehilangan keteguhan moralnya yang diperlukan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan hanya akan menjadi apatis serta pasrah, tidak memiliki keinginan untuk mengambil inisiatif melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan. (Hassan, 1991, 21). Seorang Muslim harus selalu berusaha atau melakukan ikhtiyar untuk memperoleh kesejahteraan hidupnya, sebab hanya dia sendiri yang bertanggungjawab atas perbaikan hidupnya di dunia ini. Tuhan tidak akan mengubah nasib seorang manusia kecuali jika manusia itu sendiri berkehendak atau bertekat untuk merubahnya (Q.S. 13:11). Pemikiran teologis Hamka sebenarnya telah menjadi jembatan yang menghubungkan perkembangan wacana teologi Islam di Indonesia paling awal dengan perkembangan sesudahnya, yaitu yang dikembangkan oleh generasi tahun 1970-an, yang dipeloposri oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.
Namun demikian, berbeda dengan wacana teologi yang telah digariskan sebelumnya, perkembangan yang disebut terakhir ini memiliki arahnya tersendiri. Dalam banyak hal gerakan tersebut didukung oleh orang-orang yang tidak memiliki keterikatan langsung dengan organisasi atau gerakan pembaruan di atas. Hanya saja hal itu tidak harus diartikan bahwa tidak ada perkembangan lebih lanjut dari wacana teologis di kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Para sarjana dari kelompok pembaru ini masih terus mengembangkan wacana teologis mereka sesuai dengan karakter dan misi-visi gerakan yang mereka dukung. Secara umum gerakan kultural yang muncul di era 1970-an ini memiliki karakter sebagai gerakan non-sektarian, dengan penyajian gagasan yang lebih bernuansa akademik, dan dalam banyak hal lebih bersifat akomodatif terhadap program pembangunan dan proses modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal itu berbeda dengan sikap reaktif yang dikedepankan oleh kelompok modernis-skripturalis yang cukup dominan hingga akhir 1970-an.

Membangun Islam Kultural
Dalam kaitan ini Harun Nasution telah berjasa dengan usahanya untuk menampilkan Islam yang lebih moderat, terbuka bagi perbedaan budaya, dan tidak terperangkap dalam batasan madzhab yang sempit. Nasution juga telah berhasil mengembangkan pemahaman umat Islam tentang Mu’tazilah dan teologi rasional bagi upaya memajukan kehidupan umat Islam di Indonesia. Dia menegaskan bahwa apabila umat Islam ingin berhasil di dalam beradaptasi dengan modernitas maka mereka harus bersedia menggantikan faham teologis mereka dari Asy’ariyah ke Mu’tazilah. Faham Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya, menurut Nasution, umat Islam bisa memasuki kehidupan modern dan mampu bersaing dengan kemajuan yang datang dari Barat, tanpa kehilangan sikap kesalehan yang menjadi watak dasar Islam tradisional (Martin, 1997, 165). Karena itulah Nasution menegaskan: “yang penting diperhatikan pada pembangunan di bidang agama ialah upaya mengubah sikap mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Dengan kata lain, filsafat hidup tradisional yang masih dianut sekarang harus diganti dengan filsafat hidup yang bercorak liberal” (Nasution, 1996, 146).
Obsesi Nasution dengan memperkenalkan faham Mu’tazilah dalam konteks Indonesia modern memiliki dua makna penting: (1) Rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk memiliki mental yang terbuka, sehingga mereka mau menerima liberalisme; dan (2) Pengakuan akan kemampuan manusia dalam pengertian Qadariah tentang faham kebebasan kehendak (Martin, 1997). Secara umum, Nasution telah menyelesaikan suatu tugas berat yang belum pernah bisa dilakukan oleh siapa pun sebelumnya. Dia telah melakukan suatu terobosan besar yang memungkinkan kalangan muda Muslim untuk menikmati kebebasan mereka dalam mengekpresikan pemahaman mereka tentang persoalan doktrin agama. Islam telah disuguhkan sebagai suatu objek kajian yang terbuka untuk dikritisi. Islam bukan lagi semata-mata doktrin teologis yang harus diterima dan dipatuhi. Melalui karya-karya Nasution, faham Mu’tazilah yang telah dilupakan banyak orang selama berabad-abad dan dipandang sebagai faham yang keliru mulai mendapatkan penghargaan kembali dan dikagumi (Nasution, 1996, 129, 138). Kegigihannya untuk menyebarluaskan ajaran Mu’tazilah, terlepas dari banyaknya kritikan ditujukan pada dirinya karena dianggap terlalu memihak kepada kelompok elit, telah dibantah sebagai suatu langkah yang amat perlu untuk jangka panjang. Menurut Nasution, hanya kelompok elit yang mampu memperbaiki citra Islam, terutama melalui keputusan politik yang mereka buat. Namun keputusan politik mereka ini tidak mungkin akan menguntungkan umat Islam kecuali jika mereka secara tulus mengikuti ajaran Islam. Tetapi kalangan elit ini akan menerima Islam secara lebih bersemangat jika Islam ditampilkan dalam format yang lebih canggih dengan muatan teologi rasionalnya, sesuai dengan semangat modernitas dan kemajuan.
Melanjutkan semangat Nasution, Nurcholish Madjid (l. 1939) tampil dengan gagasannya tentang bagaimana memperbaiki posisi umat Islam dalam konteks budaya Indonesia. Gerakan yang diusungnya, yang lebih dikenal dengan Neo-Modernisme Indonesia, telah memberikan kontribusi amat besar bagi perbaikan pemahaman umat Islam tentang konsep modernitas vis-à-vis komitmen keagamaan yang mendalam. Melalui gerakan ini Madjid berusaha untuk mereformulasikan landasan keimanan kepada Tuhan dalam hubungannya dengan manusia dan alam, dan cara yang harus ditempuh untuk menggariskan bentuk hubungan di antara masing-masing aspek ini dalam realitas sosial-politik yang ada. Oleh karena itu gerakan pembaruan yang ia canangkan merupakan elaborasi yang lebih canggih tentang konsep dasar ajaran Islam tetapi tetap sesuai dengan usaha-usaha meneguhkan modernisasi sistim politik dan kehidupan sosial di Indonesia.
Bagi Madjid, bagaimanapun, tugas terpenting yang harus diselesaikan oleh umat Islam Indonesia ialah bagaimana mereka bisa mengimplementasikan ajaran Islam secara tepat. Namun untuk dapat mengimplementasikan ajaran tersebut secara tepat, pertama-tama mereka harus memiliki pemahaman yang benar tentang doktrin agama mereka, dan kedua mereka juga harus memahami secara baik lingkungan di mana mereka akan mengimplementasikan ajaran itu, yaitu Indonesia (Madjid, 1992, lxvii). Madjid telah secara jelas memformulasikan gagasannya dalam konsep “Islam kultural,” yaitu Islam yang memiliki peran utama dalam kehidupan berbangsa sebagai sumber nilai etis dan pedoman pengembangan budaya (Hefner, 1993, 4). Di dalam mengembangkan gagasan tentang Islam kultural ini Madjid juga bertujuan untuk mengatasi ketegangan internal yang dialami umat Islam ketika dihadapkan dengan akselarasi pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Dia bersama para pendukung gagasannya telah sepakat untuk mengikuti aspirasi elemen bangsa yang lain, termasuk kalangan militer, teknokrat dan intelektual, untuk menciptakan Indonesia yang modern dan stabil secara politis. Dia menegaskan bahwa, sebagai konstituen utama dari bangsa ini, umat Islam harus secara aktif berpartisipasi di dalam proses transformasi sosial, yang dengan itu aspirasi umat akan mendapatkan kesempatan baru untuk berkembang lebih semarak lagi. Umat Islam juga harus melibatkan diri dalam proses modernisasi di mana pendekatan empiris dan ilmiah digunakan untuk menginterpretasikan pesan-pesan universal ajaran Islam, bagi kemajuan seluruh bangsa dengan mengacu pada kehidupan budaya mereka (Rahardjo, 1992, 31).
Baik Nasution maupun Madjid memiliki kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam dalam dimensi yang lebih luas, khususnya melalui upaya mereka untuk menjadikan Islam lebih bisa diterima di kalangan elit. Kemunculan mereka telah merepresentasikan suatu arah baru dalam perkembangan Islam di Indonesia, yaitu Islam yang terbebas dari kerangka sektarianisme dan faham ideologis-primordial. Dengan kata lain, mereka telah menawarkan Islam non-sektarian yang tidak diberi cap sebagai Muhammadiyah atau NU, dua “warna” utama Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa orang secara sah bisa menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim yang sebenarnya meskipun tanpa menggunakan label dua oraganisasi ini. Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini dicapai terutama karena adanya perbaikan dalam bidang pendidikan agama yang difasilitasi oleh pemerintah, di mana pengaruh Nasution dan Madjid serta para tokoh seaspirasi dengan keduanya, khususnya di lingkungan UIN dan IAIN/STAIN sangat menonjol. Pemerintah juga telah berhasil mempertahankan netralitasnya dari kedua kelompok sektarian di atas, sebab pendidikan agama yang difasilitasi oleh pemerintah telah menjadikan kabur batasan budaya antara kelompok modernis dan tradisionalis. Kaburnya batasan ini telah membawa hasil yang positif, berdasarkan kenyataan bahwa pendukung kedua belah pihak tidak bisa mengklaim dirinya lebih alim atau lebih taat dalam beragama, semata-mata karena dia mendukung kelompok tradisionalis atau modernis. Semua orang yang secara benar melaksanakan kewajiban agamanya dan menjaga kemurnian akidahnya serta dengan sungguh-sungguh menjauhi larangan agama adalah orang yang taat dalam beragama, terlepas dari warna organisasi atau kelompok sektarian yang diikutinya.
Hasil lain yang positif dari kaburnya batasan budaya antara kelompok modernis dan tradisionalis ini ialah semakin kecilnya kemungkinan munculnya konflik ideologis yang disebabkan oleh perbedaan faham, yang dalam beberapa hal ikut menciptakan kehidupan sosial umat Islam yang semakin kohesif. Mereka yang dulu terbiasa mencemooh rekannya karena praktik ritual yang dijalankannya atau karena perbedaan pandangan ideologisnya, sekarang dapat bersama-sama datang ke satu masjid untuk menjalankan ibadah atau mengikuti pengajian yang diselenggarakan di sana . Tetapi perkembangan yang jauh lebih signifikan dalam hal ini ialah sekarang sudah tidak ada lagi ancaman bagi seseorang untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang sebenarnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun-tahun 1960-an.

Upaya Membangun “Tradisi Besar”
Meskipun dihambat oleh kondisi sosial-politis yang tidak menyenangkan selama era Orde Baru (1966-1998), kecenderungan ke arah Islam yang lebih ortodoks (dalam pengertian yang lebih murni) masih terus berjalan. Hal itu juga menunjukkan bahwa perkembangan budaya santri telah menemukan momentum yang menentukan, dan bahkan mendapatkan dukungan dari berbagai elemen bangsa, termasuk dari pihak penguasa sendiri. Hanya saja dukungan ini baru sebatas pada pelaksanaan ritual tertentu atau pada tingkat kesalehan individual. Ini terutama karena penguasa Orde Baru menerapkan kebijakan ganda di dalam menghadapi umat Islam: Menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu, tetapi di sisi yang lain mencegah munculnya Islam politis. Pelaksanaan kegiatan keagamaan diberi dukungan yang kuat, bukan saja bagi umat Islam tetapi juga bagi penganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Pada awalnya, dukungan terhadap pelakasanaan kegiatan keagamaan ini dimaksudkan sebagai pertanda bahwa seseorang bukan pengikut ideologi Komunis yang dilarang. Ateisme, sebagai bagian tak terpisahkan dari ideologi Komunis, dinyatakan sebagai anti-Pancasila dan oleh karena itu dilarang. Para pelajar dan mahasiswa, baik negeri maupun swasta, harus mengikuti pendidikan agama. Departeman Agama diperkuat fungsinya dan dipimpin oleh tokoh-tokoh non-partisan, yang tidak terlibat dalam konflik ideologis sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya. Peran UIN/IAIN (dan STAIN) sebagai perguruan tinggi agama Islam telah diberi mandat yang lebih luas disertai pendanaan yang lebih besar.
Pada satu sisi sebenarnya umat Islam telah mendapatkan banyak manfaat dari perbaikan kultural yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru, khususnya dalam bidang pendidikan. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan rezim ini, ketika penguasa lebih memihak kepada kalangan etnis Cina dan kelompok nasionalis-sekuler, umat Islam tidak diberi banyak kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politik dan menumbuhkan perekonomian mereka. Dengan demikian pendidikan adalah satu-satunya peluang untuk memperbaiki nasib mereka. Berkat upaya penguasa Orde Baru dalam memperbaiki sistim pendidikan nasional, meskipun banyak kritikan diarahkan kepada kebijakan ini, pada kenyataannya kesempatan memperoleh pendidikan telah terbuka lebih luas bagi kebanyakan penduduk Indonesia. Lebih banyak lagi warga negara yang mampu menyekolahkan anak-anaknya, bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi, sehingga banyak di antara mereka yang terangkat status sosialnya ke level “kelas menengah.” Fenomena ini sering disebut sebagai embourgeoisement, dan sering dipandang sebagai salah satu keberhasilan penting yang dicapai oleh umat Islam di abad modern ini. Mereka yang termasuk dalam kelompok generasi baru Muslim yang terdidik ini sering digambarkan sebagai kelompok yang memiliki cara pandang (mindset) modern dan dalam banyak hal mereka mampu menduduki posisi-posisi penting di lembaga-lembaga modern serta mampu mengadopsi gaya hidup kelas menengah. Semuanya ini telah memberikan kontribusi yang besar bagi kebangkitan apa yang disebut sebagai “intelektual booming” dari kalangan muda Muslim yang memiliki kemampuan teknis tingkat tinggi (Anwar, 1992, 13).
Pada sisi yang lain, intelektual booming ini juga telah memungkinkan adanya mobilitas vertikal dan horizontal kelompok santri. Mobilitas horizontal ditandai dengan penyebaran kelompok Muslim profesional dalam berbagai macam bidang kehidupan, sedangkan mobilitas vertikal ditandai dengan perbaikan status sosial umat Islam secara lebih umum. Selain itu, di samping memperoleh manfaat dari ketrampilan managerial dan teknik yang mereka kuasai, sebagai seorang Muslim yang taat, mereka juga selalu mempertahankan komitmen keagamaan mereka. Kelas baru Muslim ini telah tampil ke permukaan sosial bersamaan dengan munculnya fenomena urban Islam yang direpresentasikan oleh kelompok santri dengan perolehan gaji yang tinggi, namun tetap taat menjalankan kewajiban agama mereka. Kelompok yang disebut terakhir ini menampakkan komitmen keagamaan mereka dengan menjalankan kewajiban ritual sehari-hari mereka di kantor atau tempat kerja mereka, yang dengan itu mereka telah menunjukkan peran sebagai “pemain dalam” (inner players). Setelah berlangsung sekitar dua dekade, peran mereka sebagai inner players telah mendatangkan hasil dalam bentuk mobilitas vertikal dalam proses Islamisasi. Pada tahun 1980-an fenomena ini dikenal dengan sebutan “Islamisasi birokrasi” yang selanjutnya berpengaruh pada pengaburan dikotomi santri – abangan yang pernah dipopulerkan oleh Clifford Geertz beberapa dekade sebelumnya (Castle, 1991). Sekarang seseorang yang menjalankan perintah agama Islam secara taat tidak perlu lagi dicurigai sebagai orang Islam yang fanatik. Ini merupakan ekpresi keagamaan yang sudah sangat umum dan bisa diterima oleh siapa pun sebagai konsekwensi dari keberadaannya selaku seorang Muslim yang sebenarnya.

Tradisi Besar dalam Manifestasi Islam Kultural
Apa yang telah diuraikan di atas telah menunjukkan betapa domain budaya santri telah secara perlahan mengembang dan meluas. Bersamaan dengan itu semakin tumbuh pula kesadaran di kalangan umat Islam sendiri tentang perlunya menjaga dan mengembangkan pandangan teologi yang inklusif dan pluralis. Ada beberapa faktor yang dapat digarisbawahi sebagai penyangga dari perluasan budaya santri yang sekaligus bermakna sebagai pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia. Di bawah ini akan diuraikan secara garis besar perkembangan pandangan teologis umat Islam di Indonesia dari awal abad ke-20 hingga penghujung milenium kedua yang lalu. Pertumbuhan itu sekaligus dapat dimakani sebagai proses perkembangan dari tradisi kecil menjadi tradisi besar.
1. Usaha-usaha internal umat Islam untuk memberikan elaborasi yang lebih jelas tentang doktrin agama mereka. Usaha-usaha paling awal telah dilakukan oleh kalangan pembaru yang telah mencoba memberikan rumusan secara jelas tentang doktrin utama Islam, terbebas dari unsur-unsur bid’ah dan khurafat. Penggunaan bahasa daerah atau Indonesia untuk menjelaskan prinsip-prinsip keyakinan yang benar—dan tidak hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab—telah memungkinkan ajaran Islam bisa difahami oleh kalangan yang lebih luas (Federspiel, 1999, 8). Begitu landasan ini telah dibangun, Harun Nasution tampil dengan memberikan komponen teologis yang lebih maju dan sistimatis. Upaya Nasution memperoleh sukses besar, khususnya karena adanya dukungan institusional yang diberikan oleh UIN/IAIN dan STAIN untuk menyebarluaskan ide-idenya. Kehadiran Nurcholish Madjid telah menyempurnakan perkembangan ini. Dia tidak hanya memperbaiki muatan dasar atau substansi teologis yang telah dibangun oleh Nasution tetapi juga lebih jauh telah memperluas landasan tersebut dengan menunjukkan bagaimana menempatkan pandangan teologis yang lebih canggih dalam konteks budaya yang bisa diterima oleh semua pihak dalam proses demokratatisasi yang terus berlangsung.
2. Keputusan politik tertentu yang tidak sengaja telah memberikan peluang bagi penyebaran Islam secara lebih luas. Selama masa pemerintahan Orde Baru, penguasa menerapkan kebijakan “floating mass” atau massa mengambang. Dengan kebijakan tersebut partai politik tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan politik pada tingkat desa atau kelurahan. Dengan demikian rakyat harus dijauhkan dari politik, dan hanya diharapkan hanya akan mendukung program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Mereka hanya diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dalam pemilihan umum, sekali dalam lima tahun. Bagi umat Islam, kebijakan ini telah memberikan kontribusi cukup besar untuk mereduksi munculnya konflik-konflik ideologis disebabkan oleh perbedaan afinitas ideologis primordial mereka. Dengan cara yang sama, penegasan pemerintah bahwa seluruh partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan harus didasarkan pada asas tunggal Pancasila sebagai ideologi negara, juga telah memberikan landasan bagi terciptanya tatanan masyarakat Islam yang lebih kohesif. Saat itu tidak ada lagi partai Islam yang dapat mengklaim dirinya sebagai representasi satu-satunya bagi kepentingan umat Islam di Indonesia. Klaim semacam itu dulu telah begitu sering menimbulkan konflik ideologis dan menyebabkan fragmentasi di dalam tubuh umat Islam sendiri. Mereka yang dulu terbiasa mencemooh kelompok lain karena menjalankan praktik-praktik ritual yang berbeda semata-mata karena perbedaan ideologis, kini mereka dapat bersama-sama ke masjid atau lembaga pendidikan yang sama, atau bersama-sama mendatangi majlis taklim dan pengajian di suatu tempat. Lebih penting dari itu semua ialah kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ancaman politis bagi mereka yang ingin menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang Muslim yang taat.
3. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama. Di samping perbaikan-perbaikan dalam bidang pendidikan secara umum sebagaimana disinggung di depan, pendidikan agama telah memberikan kontribusi sangat besar bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan. Pelajar dan mahasiswa pada semua jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi, harus mendapatkan pendidikan agama secara intensif. Kalangan santri atau mereka yang memiliki keilmuan mendalam tentang ajaran Islam, dituntut untuk dapat memberikan pengajaran agama, bukan saja di pusat-pusat pengajaran agama tradisional seperti madrasah atau pesantren, tetapi juga di semua level lembaga pendidikan “sekuler” yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi Negeri juga telah semakin nyata menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan mengakomodasi kecenderungan mahasiswanya untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan agama yang lebih mendalam. Dana yang cukup banyak telah dialokasikan guna membangun mushalla dan masjid di sekolah dan kampus-kampus Perguruan Tinggi. Demikian pula kegiatan-kegiatan keagamaan tidak jarang diselenggarakan di pusat-pusat pendidikan umum dalam bentuk peringatan hari-hari besar Islam atau seminar ilmiah untuk mengkaji aspek doktrin maupun sosial dalam Islam. Sejalan dengan semangat itu pula kiranya kajian tentang Ekonomi Islam semakin diminati di Perguruan Tinggi Umum, seperti Universitas Brawijaya di Malang dan Universitas Airlangga di Surabaya, Jawa Timur. Demikian pula kenyataan bahwa tidak jarang dari kampus Perguruan Tinggi “sekuler” ini telah muncul para tokoh yang lancar berbicara tentang agama dan tampil sebagai juru dakwah atau menjadi pimpinan organisasi sosial-keagamaan, seperti Prof. Imaduddin Abdurrahim, Prof. Jalaluddin Rahmat, Prof. M. Amien Rais dan Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, sekedar menunjuk sebagian contoh.
4. Intensifikasi pelaksanaan dakwah. Di luar pendidikan agama formal yang diselenggarakan di sekolah dan kampus-kampus perguruan tinggi, tuntutan untuk mendapatkan pengajaran atau pengetahuan agama yang lebih mendalam juga dapat dipenuhi melalui kegiatan dakwah. Terlepas dari sifatnya yang “informal” dan tidak adanya “kurikulum” yang standar atau tingkatan yang terstruktur, kegiatan dakwah memiliki pengaruh secara langsung pada perbaikan kehidupan keagamaan sehari-hari. Justru dengan sifatnya yang informal itulah maka dakwah dapat dilaksanakan secara fleksibel di tempat dan waktu kapan pun yang memungkinkan. Karena itu pula dakwah memiliki daya tarik tersendiri dan dapat menyedot perhatian banyak orang, tergantung pada kemampuan retorika dan popularitas penyaji materi dakwah tersebut. Tampaknya intensitas pelaksanaan dakwah ini pula sisa-sisa animisme semakin berkurang dari praktik kehidupan umat Islam secar umum. Eldar Braten, misalnya, menunjukkan hasil kajiannya tentang tradisi slametan bahwa tradisi ini telah mengalami banyak transformasi sehingga menjadi semakin ‘ortodoks’ dalam pelaksanaannya. Para pemuka umat Islam, melalui kegiatan dakwah mereka, telah berhasil membersihkan tradisi slametan dari ritual pemberian sesaji dan penggunaan kemenyan yang menyimbulkan penghormatan kepada arwah para leluhur yang berbau animis. Lebih penting lagi, tradisi slametan telah berubah menjadi tahlilan sebagai istilah yang lebih umum dipakai, sebab inti ritual yang dilakukan adalah pembacaan tahlil, sebagai bagian utama dari syahadat umat Islam. Oleh karena itu, terlepas dari warna simbolisme berupa makanan yang disajikan dalam ritual tersebut, sudah tidak ada lagi sisa-sisa animisme, yang menandakan bahwa dalam proses transformasi tersebut, slametan telah berkembang menjadi lebih Islami. Demikian pula dengan berbagai ungkapan spontan yang dilontarkan oleh orang dalam rangka menjaga diri telah banyak berganti dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang diucapkan dalam bahasa Arab. Transformasi simbolis lainnya juga nampak di dalam acara berkunjung ke kuburan atau pemakaman. Di masa lalu orang suka menabur bunga di atas kuburan sebagai bentuk sesaji bagi orang yang sudah meninggal dan dikuburkan di pemakaman tersebut. Sekarang tradisi menabur bunga telah berubah makna menjadi sekedar mengekspresikan rasa hormat dan kasih sayang semata. Bahkan tidak sedikit orang yang meninggalkan kebiasaan seperti itu. Jika pada masa-masa sebelumnya berkunjung (ziarah) ke makam mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dari orang yang dimakamkan, sekarang, sesuai dengan pemahaman doktrin agama yang semakin mandalam, telah berubah menjadi sarana untuk mengingatkan diri seseorang tentang akhir kehidupannya, dan untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal tersebut untuk mendapatkan ampunan dari Tuhan. Dengan kata lain, orientasi keagamaan dalam melaksanakan ziarah kubur tersebut sudah semakin jelas dan telah beralih ke Tuhan secara langsung, tidak lagi berorientasi kepada nenek moyang atau leluhur seseorang. Lebih penting lagi, nama Allah selalu disuarakan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pengeras suara di masjid-masjid, dalam pengajian, dalam kegiatan belajar mengaji yang diikuti oleh anak-anak, dan juga dalam acara tahlilan atau slametan (Braten, 1999, 165-70).
Semua realitas di atas telah menunjukkan secara jelas bagaimana Islam di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan mendekati bentuk ortodoksinya, baik dalam hal keyakinan maupun praktik kehidupan sehari-hari. Perkembangan menuju ortodoksi inilah sebenarnya yang dimaksud dengan proses menuju terciptanya “tradisi besar” (the greater tradition) dalam pemaparan paper ini. Hanya saja bentuk ortodoksi ini tidak serta merta dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mempertimbangkan realitas budaya yang sebenarnya dihadapi oleh umat Islam di negeri mereka masing-masing. Ini berarti bahwa keyakinan yang murni dan ortodoks saja tidak cukup. Islam harus dibawa “turun ke bumi” untuk merespon tuntutan riil budaya umat, tanpa mengorbankan integritas doktrin itu sendiri. Perkembangan Islam yang lebih dikenal dengan nama Islam kultural ini sekarang telah menjadi perhatian utama bagi kelompok yang menyebut dirinya sebagai Neo-Modernis. Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia telah berkembang menjadi semakin murni, mendekati tradisi asli agama itu sediri sebagai tradisi besarnya, tetapi ia tidak harus tercerabut dari akar budaya Indonesianya. Perkembangan menuju “the greater tradition” ini tidak lepas dari upaya-upaya perbaikan yang dilakukan dalam bidang pendidikan selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Sebenarnya dalam pengertian ortodoksi seperti inilah umat Islam di Indonesia, meminjam bahasa Akbar S. Ahmed, memasuki suatu tahapan kesadaran diri yang lebih mendalam dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan menekankan pada pendekatan kultural ini Islam telah ditampilkan dalam citranya yang lebih ramah, dan tidak perlu dikait-kaitkan dengan kekerasan atau bom dan pembakaran buku-buku (Ahmed, 1992, 35).


Bibliografi

Abdillah, Masykuri. 1998. “Alamsjah Ratu Perwiranegara: Stabilitas Nasional dan
Kerukunan,” dalam Azumardi Azra dan Saiful Umam (eds.), Menteri-
Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS-PPIM.
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise.
London and New York: Routledge.
Anwar, M. Syafii. 1992. “Islam, Negara dan Formasi Sosial dalam Orde Baru:
Menguak Dimensi Sosio-Historis Kelahiran dan Perkembangan ICMI.”
Ulumul Qur’an, vol. 8, no. 3 (Supplement).
Benda, Harry J. 1958. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the
Japanese Occupation 1942-1945. The Hague: W. van Hoeve.
Braten, Eldar. 1999. “To Colour, Not Oppose: Spreading Islam in Rural Java,” in Leif
Manger (ed.), Muslim Diversity: Local Islam in Global Context. Surrey,
England: Curzon Press.
Callan, Charles J. 1912. “Orthodoxy.” The Catholic Encyclopedia, vol. 11.
Castle, Lance. 1991. “Pasang Surut Usahawan Santri,” Jawa Pos, 18 March.
Cederroth, Sven. 1995. Survival and Profit in Rural Java: The Case of an East
Javanese Village. Surrey, the Great Britain: Curzon Press.
Federspiel, Howard M. 1970. Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University.
--------. 1999. “Muslim Intellectuals in Southeast Asia.” Studia Islamika, vol. 6, no. 1.
Hamka. 1956. Peladjaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hassan, Ahmad. 1958. At-Tauhid. Bangil: Persatuan Islam Bahagian Pustaka.
--------. 1991. Pengajaran Shalat. Bangil: Pustaka Tamaam.
Hefner, Robert W. 1993. “Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle for
the Indonesia Middle Class.” Indonesia, no. 56.
Henderson, John B. 1998. The Construction of Orthodoxy and Heresy: Neo-
Confucian, Islam, Jewish and Early Christian Patterns. Albany: State
University of New York.
Madjid, Nurcholish. 1992a. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.
--------. 1992b. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Mansoer, K.H. Mas. 1970. Risalah Tauhid dan Sjirik. Surabaya: Peneleh.
Martin, Richard C, et al. 1997. Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld.
Nakamura, Mitsuo. 1983. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
--------. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution.
Bandung: Mizan.
Peacock, James. 1978. Muslim Puritans: Reformist Psychology in Southeast Asian
Islam. Berkeley: University of California Press.
Rahardjo, M. Dawam. 1992. “Islam dan Modernisasi: Catatan Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid,” an introductory remark to Madjid’s Islam Kemodernan
dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. 1985. “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” in
Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson:
The University of Arizona.
Watt, Montgomery. 1973. The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Woodward, Mark R. 1989. “The Slametan: Textual Knowledge and Ritual
Performance in Central Java Islam.” History of Religion, vol. 28, no. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar