Sabtu, 14 Agustus 2010

Pendidikan Tinggi

HIGHER EDUCATION, BETTER QUALITY IN LIFE

(Pendidikan Tinggi untuk Kehidupan yang Lebih Berkualitas)

Orasi Ilmiah Disampaikan pada
Wisuda Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
MAHESA INSTITUTE
PARE – KEDIRI

8 September 2007

Oleh

Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.*)

Bangsa yang maju memiliki budaya yang kuat atau bahkan ekspansif karena mampu menularkan budayanya kepada bangsa lain. Tanpa budaya yang kuat, suatu bangsa bisa jadi hilang dikuasai oleh peradaban yang lebih besar dan lebih kuat.
Mengapa karakter kebangsaan Indonesia semakin luntur atau ‘kabur’ sampai kita sendiri susah untuk mengenalinya? Itu tidak lain karena sistem pendidikan di Indonesia tidak dikemas dan ditujukan untuk membangun suatu karakter budaya yang kuat. Sistem pendidikan nasional masih berorientasi pada pembangunan fisik, bukan pembangunan jiwa dan karakter kebangsaan.

Komaruddin Hidayat (2007).


Pendahuluan
Pendidikan tidak hanya menjadi milik mereka yang berada saja. Pendidikan, seharusnya, juga merupakan hak semua warga miskin yang sering dipinggirkan dalam kehidupan sosial ekonomi bangsa kita, sebab pendidikan merupakan kunci bagi setiap orang untuk mengembangkan diri. Dengan bekal pendidikan, setiap orang kemudian akan memperoleh kesempatan untuk membangun kehidupan keluarganya. Bahkan tidak salah jika ada yang mengingatkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa. Karena itulah semua negara di dunia selalu berlomba untuk dapat menciptakan sistim pendidikan yang handal, guna menyiapkan sumber daya manusianya. Pendidikan yang berkualitas menjadi tuntutan setiap orang agar ia bisa menjadi dirinya sendiri, tidak hanya menjadi beban bagi orang lain. Bahkan ia harus mampu memberikan kontribusi terbaik bagi kemajuan bangsanya dengan mendorong kompetisi dan peningkatan produktifitas.
Masalah pemerataan pendidikan belakangan ini terkesan semakin diabaikan oleh pihak-pihak penentu kebijakan. Hal ini berdampak lagsung pada kualitas angkatan kerja kita Dari 110 juta angkatan kerja yang ada saat ini, sekitar 95 persen hanya berpendidikan SMA ke bawah. Lebih menyedihkan lagi, menurut catatan, sebagian besar dari mereka ini masih berpendidikan SD atau tidak tamat SD. Dengan kualitas sumber daya manusia seperti itu, bagaimana kita mampu memasuki persaingan global dan era industri teknologi informasi, apalagi untuk memasuki fase creative economy? Contoh kasus yang masih cukup segar dalam ingatan kita ialah penutupan pabrik sepatu Nike di beberapa tempat di Tanah Air beberapa waktu yang lalu. Kasus tersebut menunjukkan kepada kita semua betapa besarnya ketergantungan kita kepada bangsa lain sebagai pemilik modal dan teknologi maju, pemilik merek sepatu Nike tersebut. Bangsa kita tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi keputusan sepihak para pemodal tersebut, karena kita hanya ditempatkan sebagai “tukang.” Belum lagi kalau dikaitkan dengan nasib para TKI-TKW kita di luar negeri yang sering dilecehkan oleh majikan mereka, dihina, disiksa, gajinya tidak dibayarkan, paspor mereka ditahan, bahkan diperkosa dan dibunuh, pulang jadi mayat dalam peti mati. Sungguh malang dan amat memprihatinkan nasib mereka.
Di sinilah pentingnya pemerataan pendidikan bagi semua rakyat Indonesia. Tokoh pendidikan nasional seperti Prof. Arif Rahman bahkan menegaskan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan bukan hanya harus diberikan kepada anak-anak dari keluarga miskin, tetapi juga kepada mereka yang kurang pintar; sebab, ke depan, setiap individu harus bisa mandiri, tidak boleh menjadi beban bagi orang lain. Semua itu menghendaki kesadaran dan kesungguhan kita bersama, terutama pihak penyelenggara negara, karena pada akhirnya negaralah yang harus menanggung beban ketika SDM-nya tidak memiliki kompetensi yang diperlukan guna menghadapi persaingan global yang semakin ketat. Kita bisa mengaca kepada negara-negara tetangga di sekitar kita. Lihat Vietnam, misalnya, yang baru bisa melepaskan diri dari perang tahun 1976, saat mana negara kita sudah bisa menikmati kemakmuran dari hasil-hasil pembanguna saat itu. Sekarang, saat kita belum sepenuhnya mampu keluar dari krisis dan belum mampu merevitalisasi perekonomian kita akibat krisis multidimensional tersebut, mereka telah cukup jauh meninggalkan kita di belakang. SDM mereka, menurut berbagai laporan yang sering dikutip media, sudah sangat berkembang. Sekolah-sekolah umum di negeri itu kualitasnya sudah ditingkatkan dengan mengacu kepada standar sekolah umum di Singapura. Mereka juga banyak mengirimkan pemuda-pemuda mereka belajar ke luar negeri guna merebut kesempatan yang lebih besar dalam persaingan dunia yang semakin cepat. Tidak kalah pentingnya ialah semangat juang bangsa itu untuk mengatasi ketertinggalan mereka dari bangsa-bangsa lain. Belum lagi kalau kita harus membandingkan diri kita dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina, sesama negara-negara Asean.
Pendidikan sebagai “Komoditas”?
Di tengah-tengah persoalan yang amat pelik seperti itu kita dikejutkan oleh pemberitaan tentang betapa gencarnya keinginan untuk menjadikan pendidikan tinggi di negeri kita sebagai “komoditas” yang dilihat dari sisi keuntungan bisnis. Dalam rangka reformasi pendidikan pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Menanggapi rancangan pemerintah tersebut, dalam uraiannya yang menggelitik bertajuk “Departemen Perdagangan Pendidikan” (Kompas, 29/8), Daoed Joesoef, mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, menilai rancangan undang-undang tersebut tidak konsekwen. Dengan sangat kritis (baca: sinis?) dia mengusulkan agar ditambahkan suatu pasal yang menyatakan perubahan nama Depdiknas menjadi “DEPDAGPEN,” Departemen Perdagangan Pendidikan. Atau, lebih serius lagi, dia mengusulkan agar Depdiknas ditutup dan semua kegiatannya ditransfer ke Departemen Perdagangan, menjadi “Direktorat Jenderal Perdagangan Pendidikan.” Hal ini, menurut Daoed, dimaksudkan agar pemerintah dapat menghemat pengeluaran untuk gaji dan fasilitas menteri, dirjen, direktur dan staff serta pegawai-pegawai lainnya. Usul pembubaran Depdiknas ini, masih menurut Daoed, didasarkan pada kenyataan bahwa departemen tersebut sudah tidak mampu menghayati lagi esensi pendidikan, mengingkari makna dan misi suci kelembagaannya bagi negara-bangsa Indonesia. Tentu saja, di alam demokrasi saat ini, pandangan seperti itu sah-sah saja untuk dikemukakan, terlepas orang bisa menerima atau tidak.
Sebagai mantan menteri pendidikan pada era Orde Baru, Daoed Joesoef, dengan kritikannya tersebut, tentu saja bukan tanpa dasar. Dia menyatakan bahwa pemerintah saat ini tidak menyadari adanya dua hal yang amat krusial: Hasil kerja ilmu pengetahuan dan teknologi memang bisa dan boleh dijual. Namun pendidikan ke arah penguasaan skill ke-iptek-an seharusnya tidak dijadikan komoditas perdagangan. Di samping itu, demokrasi dalam pendidikan harus diwujudkan dengan upaya mencapai mutu tinggi bagi jumlah anak didik yang semakin besar, dan tidak dibatasi oleh kemampuan membayar semata. Inilah gunanya kebijakan Wajib Belajar yang sebisa mungkin dapat mengangkat tingkat pendidikan rakyat Indonesia, minimal sampai ke jenjang SMA. Ketika rancangan BHP tersebut menyebutkan bahwa (Pasal 2) pihak luar (baca: pemodal asing) bersama BHP Indonesia diizinkan mendirikan lembaga pendidikan dengan saham sampai 49 persen, orang segera menangkap kesan bahwa penyelenggaraan pendidikan di negeri kita sudah dijadikan komoditas yang layak diperdagangkan.
Tentu semua orang setuju akan perlunya suntikan dana yang besar bagi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Namun jika suntikan dana itu berasal dari pemodal asing dengan saham kepemilikan yang begitu besar, orang akan segera menyangsikan “niat baik” di balik penanaman modal asing tersebut. Sebagai instrumen utama penanaman nilai-nilai budaya bangsa, pendidikan tidak bisa begitu saja dilepaskan kepada pemilik modal asing yang tentu memiliki kepentingan-kepentingan khusus di balik modal yang ditanamkan. Apalagi jika diingat adanya kecenderungan dari sebagian pejabat di negeri kita yang ingin menelan begitu saja semua pendapat yang dikatakan oleh orang asing, dan tidak mau mendebat karena tidak memiliki argumen yang kuat. Apa yang dikemukakan oleh Daoed Joesoef di atas pada dasarnya mencerminkan kegelisahan banyak orang yang kurang bisa menerima kebijakan pemerintah dalam “mengkomersialkan” pendidikan nasional tersebut.
Motivasi dan Pembiayaan Pendidikan
Perlu diwaspadai pula kemungkinan masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan semangat kebangsaan dan patriotisme yang selama ini cenderung terabaikan. Penanaman nilai-nilai seperti ini seharusnya menjadi tanggungjawab setiap lembaga pendidikan yang ada. Liberalisasi pendidikan yang difasilitasi payung hukum berupa Rancangan Undang-undang BHP masih menyimpan berbagai kekhawatiran bagi banyak orang. Di samping itu, kebijakan tersebut jelas akan menggilas lembaga-lembaga pendidikan bermodal kecil, atau paling tidak semakin mempersempit peluang lembaga-lembaga pendidikan lainnya untuk berkembang. Dengan demikian pemerataan pendidikan akan semakin jauh dari harapan rakyat banyak, sebab hanya orang kaya saja yang boleh mengenyam pendidikan yang bermutu. Orang miskin akan ditinggalkan dan dibiarkan bodoh, sementara negara pun semakin tak peduli dengan nasib mereka.
Salah satu alasan mendasar mengapa problem dunia pendidikan di Tanah Air tampak sulit terurai ialah tidak terpenuhinya tuntutan konstitusi untuk mengalokasikan 20 persen dana APBN-APBD untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memenangkan tuntutan PGRI agar Pemerintah segera merealisasikan kewajiban tersebut, hingga kini alokasi yang tersedia baru mencapai 9-10 persen saja. Pemerintah selalu beralasan bahwa tuntutan itu akan dipenuhi secara progresif, bertahap. Di luar persoalan tersebut, masalah distribusi anggaran pendidikan pun masih belum mencerminkan tingkat keadilan yang ideal. Di satu sisi kita menyaksikan ribuan ruang kelas SD-SMP di berbagai wilayah rusak berat dan tak kunjung selesai direhabilitasi. Sejauh ini kewajiban Pemerintah lebih banyak memelihara ruang kelas atau prasarana pendidikan dasar-menengah yang ada atau memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi. Pemerintah sekarang hampir tidak perlu membangun gedung-gedung pendidikan dasar-menengah yang baru, kecuali yang bersifat menambah atau melengkapi. Kebanyakan gedung sekolah yang ada adalah “warisan” dari hasil pembangunan di era pemerintahan sebelumnya. Meskipun tidak ada data statistik yang akurat, secara kasat mata lebih mudah bagi kita menyaksikan banyaknya gedung sekolah yang dibiarkan rusak tanpa perbaikan, daripada adanya gedung-gedung sekolah baru yang dibangun Pemerintah sekarang. Belum diperbaikinya ribuan ruang kelas yang rusak berat tersebut menunjukkan betapa Pemerintah masih belum mampu memberikan rasa keadilan dalam memfasilitasi kebutuhan pendidikan bagi warganya.


Keterbatasan dan Kesenjangan
Kondisi yang belum menggembirakan di dunia pendidikan seperti digambarkan di atas juga mencerminkan kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2005 menunjukkan bahwa 52.4 % penduduk Indonesia berpenghasilan USD 2 per capita/hari. Sementara itu angka kematian ibu saat melahirkan mencapai 310 per 100.000 kelahiran hidup, atau tertinggi nomer dua di Asia Pasifik. Angka kematian bayi juga cukup tinggi, yaitu 31/1000 kelahiran hidup. Balita penderita gizi buruk juga cukup tinggi, mencapai 26 %, yang diperparah oleh buruknya akses ke air bersih serta pelayanan publik yang kurang memadai. Sementara itu pula laporan PBB yang dirilis Mei 2007 menyebutkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara Asean. Anehnya, sepanjang tahun 2000-2006, ketika angka pengangguran di sebagian negara-negara Asean stabil atau menurun, di Indonesia justru naik dari 6 % menjadi 10 %. Kondisi yang amat memprihatinkan tersebut harus dicarikan solusinya dengan segera. Salah satu tawaran solusi yang tersedia ialah memperbaiki tingkat partisipasi warganya dalam pendidikan, khususnya ke jenjang perguruan tinggi.
Sebenarnya, jika pemerintah mau konsisten dengan ketentuan yang ditetapkan oleh konstitusi, seperti tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat 2: bahwa setiap waga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah dan bahwa pemerintah wajib membiayainya, serta ayat 5: pemerintah berkewajiban memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentu banyak hal yang dapat diatasi oleh pemerintah saat ini. Pesan dari kedua pasal di atas mengharuskan pemerintah untuk tidak selalu mencari-cari alasan guna menunda realisasi anggaran 20 % APBN-APBD untuk pendidikan. Ini jika pemerintah Indonesia konsisten membangun kehidupan bangsa yang cerdas, dengan mewujudkan pendidikan yang bermutu dan merata bagi seluruh rakyatnya. Di samping itu kita juga harus belajar dari negara-negara tetangga yang selama satu dekade terakhir telah banyak mengalami kemajuan, meninggalkan Indonesia di belakang. Keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang pada dasarnya tidak lepas dari kemampuan mereka membangun infrastruktur sebagai fase awal industrialisasi yang mereka canangkan. Infrastruktur dimaksud meliputi aspek-aspek fisik, teknologi, sumber daya manusia, dan kewirausahaan/usaha kecil. Keempat hal di atas merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara tersebut.
Bagi sebagian pengamat yang meragukan keseriusan pemerintah dalam menangani pendidikan, strategi dan sistim pendidikan yang dijalankan saat ini dipandang tidak gayut dengan cita-cita sebagian rakyat Indonesia. Praksis pendidikan nampak tidak relevan dengan pembangunan ekonomi, dan kurang mengarah pada upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, menurut sebagian ahli yang lain, sekarang ini pendidikan nasional kita bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan anak-didik, tetapi juga gagal dalam membentuk karakter dan kepribadian bangsa. Padahal pembentukan karakter dan kepribadian bangsa ini sangat mendesak dan menjadi prasyarat untuk mengatasi krisis multi-dimensional yang melanda negeri kita. Terlebih lagi ketika pada era reformasi saat ini masyarakat kita sedang terjangkiti “patologi sosial,” sebagai dampak ikutan euforia reformasi yang kebablasan. Adanya patologi sosial tersebut dapat dilihat dari berbagai fakta yang berkembang di masyarakat, seperti demokrasi yang cenderung diartikan dan dipraktikkan sebagai kebebasan tanpa aturan, otonomi daerah sebagai kemandirian tanpa visi dan kerangka integrasi bangsa, yang justru mengarah pada sentimen kesukuan secara berlebihan, radikalisme atas nama otentisitas agama, dan kecenderungan mendahulukan hak atas kewajiban, atas nama hak asasi manusia.
Kondisi di atas cukup jelas menunjukkan kepada kita adanya kesenjangan dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, yang meliputi kesenjangan dalam praktik pendidikan, kesenjangan antara wacana dan praksis pendidikan, dan kesenjangan di antara pilar-pilar demokrasi. Dalam hal kesenjangan politik pendidikan dapat dilihat dari kenyataan bahwa institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang bagi para calon agen perubahan untuk menumbuhkan karakter, tanggungjawab, kemandirian berfikir dan bersikap, inovasi dan kreatifitas, ternyata malah sering dijadikan alat kekuasaan negara. Di samping itu, sekolah dan para pendidik semakin dikebiri dan tidak mampu menciptakan suasana belajar yang mendorong siswa berfikir kritis, kreatif dan bertanggungjawab. Para guru pun merasa terbelenggu dalam berbagai keterbatasan sistim pendidikan karena kekuasaan negara masih sangat besar. Kenyataan seperti itu ternyata tidak hanya berlangung saat ini saja. Sejak masa Orde Baru pun praktik sejenis sudah dilakukan. Pada masa Orde Baru sekolah menjadi instrumen negara untuk mencetak warga negara yang patuh, dan sekolah berperan dalam proyek kooptasi negara. Pada masa Reformasi, fenomena instrumentaliasai pendidikan dijalankan bukan pada kurikulum dan proses pembelajaran, tetapi pada pemilihan birokrat pendidikan dan penggunaan dana. Penunjukan birokrat pendidikan lebih banyak ditentukan berdasarkan preferensi yang menunjuk pada afiliasi politik/golongan daripada karena persyaratan obyektif atau integritas dan kualitas seseorang.
Dalam hal kesenjangan antara wacana dan praksis pendidikan, kita melihat adanya orang-orang pintar ketika masih berada di luar birokrasi nampak sangat vokal dan kritis, tetapi begitu masuk ke dalam pusaran birokrasi menjadi mandul. Pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam bidang pendidikan tidak mencerminkan keahlian yang dimiliki. Bahkan pemikirannya yang sudah tertuang dalam produk hukum sekalipun sering dilanggarnya sendiri atau diabaikan, dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis sesaat. Sementara itu, ketika masih banyak gedung sekolah (SD) yang ambruk dan tak tersentuh proyek rehabilitasi selama puluhan tahun, segelintir anak orang-orang kaya justru dimanjakan dengan berbagai fasilitas sarana dan prasarana belajar yang mewah. Sekolah-sekolah unggulan dan bertaraf internasional bermunculan tanpa mempedulikan hak-hak kalangan marginal untuk mengaksesnya. Terlepas dari berbagai alasan yang mereka gunakan untuk memberikan fasilitas mewah bagi sekelompok kalangan berduit tersebut, kecenderungan seperti itu tentu tidak mencerminkan adanya sistim pelayanan pendidikan nasional yang demokratis dan merata. Dengan bahasa lain, sistim pelayanan pendidikan di negeri kita telah menunjukkan adanya kesenjangan di antara pilar-pilar demokrasi yang semestinya menjadi ciri utama kehidupan sosial di era Reformasi ini.
Kesenjangan di antara pilar-pilar demokrasi juga tercermin pada fakta belum dibiayainya secara penuh pendidikan dasar oleh pemerintah. Sekitar 30 persen anak usia SD tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka, dan hanya sekitar 60 persen lulusan SD dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP. Kenyataan di atas jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang nomor 20/2003, Pasal 12, ayat 6, yang mengatur tentang hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula dengan pelaksanaan Ujian Nasional, yang bagi kalangan yang kurang setuju dianggap telah mempersulit upaya menjadikan sekolah sebagai tempat pembelajaran untuk menumbuh-kembangkan seluruh kemampuan, nilai dan sikap yang diperlukan oleh setiap anak didik dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. Pada praktiknya, dengan adanya Ujian Nasional tersebut, sekolah telah memerankan dirinya sebagai lembaga untuk memilih mereka dari sisi kemampuan kognitif semata dan mengabaikan kemampuan yang lain, sehingga praksis pendidikan cenderung tidak demokratis, dan sering mengorbankan orang-orang yang secara ekonomis terpinggirkan. Karena itulah, ketika berbagai ketentuan dalam UUD 1945 dan UU No. 3/2003 tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh, persoalannya harus dikembalikan kepada political will para penentu kebijakan. Seharusnya partai politik tidak semata-mata berkutat pada hak-hak politik, tetapi juga memperhatikan secara lebih serius tentang hak-hak dasar yang harus diperoleh oleh rakyat, terutama hak memperoleh pendidikan yang layak.
Peluang dan Harapan
Dengan standar pengajaran yang masih buruk karena kurangnya pelatihan, rendahnya gaji guru, dan rendahnya pemahaman akan perlunya meningkatkan kualitas SDM, kita seharusnya tetap bersyukur karena masih saja ditemukan sekelompok kecil manusia unggulan di antara anak bangsa yang ada. Misalnya, Tim Olimpiade Fisika Indonesia dalam kurun waktu 12 tahun terakhir telah mengirimkan lebih dari 70 siswa yang berasal dari berbagai daerah, mulai dari Banda Aceh, Pematang Siantar, Magelang, Kediri, Gianyar, sampai ke Jayapura di Papua. Dari jumlah itu telah diperoleh 22 medali emas, 11 perak, dan 34 perunggu. Para pemenang Olimpiade Fisika ini kini telah menyebar di berbagai perguruan tinggi terbaik dunia, dan mampu menunjukkan prestasi luar biasa. Ada yang mampu meraih gelar Ph.D. pada usia 23 tahun, lulus S1 pada usia 16 tahun, dan jadi professor pada usia 25 tahun. Semua data-data ini telah menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia memiliki potensi SDM yang amat tinggi kualitasnya. Sayangnya, potensi yang membanggakan ini belum dieksplorasi dengan baik. Padahal jika penduduk Indonesia berjumlah 250 juta, akan ada 12.5 juta orang (5%) yang memiliki IQ superior di atas 120. Mereka ini berpotensi jadi manajer atau professor. Seharusnya masih ada 250.000 (0.1%) yang ber-IQ di atas 150, yang berpotensi menjadi pemimpin besar kaliber Abraham Lincoln dan Thomas Jefferson, serta 25.000 (0.01%) yang ber-IQ di atas 160, sekelas Albert Einstein.
Masalahnya, bagaimana mencari dan mengasah potensi yang mereka miliki ini? Perlu sistim seleksi yang ketat namun transparan agar anak-anak yang berbakat dapat teridentifikasi secara akurat sedini mungkin. Menyiapkan sekolah unggulan dengan guru-guru yang berkompeten dan penuh dedikasi, disertai kurikulum yang dapat mengoptimalkan kemampuan anak berprestasi juga menjadi pilihan yang tak mungkin dihindari. Negara juga harus memfasilitasi agar anak-anak berbakat tersebut memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Kita perlu mencontoh Kazakhstan, sebuah negera kecil pecahan Uni Soviet di Asia Tengah, yang setiap tahunnya mengirimkan 3000 siswa berpotensi untuk belajar ke luar negeri, yang 10 –15 tahun mendatang mereka akan siap membangun negeri mereka. Suatu prasyarat yang tak boleh dilupakan dalam hal ini ialah keharusan memperbaiki nasib para guru dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk belajar lebih lanjut. Program penyetaraan guru dari D2 ke jenjang S1 (sarjana) harus difasilitasi oleh negara dengan memperhatikan kualitas pembelajaran yang tinggi, tidak sekedar mengejar ijazah dan formalitas agar lolos sertifikasi guru, demi mengejar tunjangan profesi semata. Demikian pula dengan kebutuhan literatur harus dapat dipenuhi dengan cepat, terutama dengan menerjemahkan buku-buku referensi yang amat diperlukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, agar kita tidak ketinggalan dari negara-negara maju. Kehebatan sebuah perguruan tinggi tidak mungkin lepas dari adanya tulang punggung pembelajaran yang disediakan oleh lembaga tersebut, berupa koleksi buku-buku perpustakaan yang lengkap dan kerajinan serta keseriusan warganya untuk terus membaca, meneliti dan mempublikasikan karya-karya besar dari hasil penelitian mereka.
Bagaimana Merealisasikannya?
Higher education, better quality in life. Bagaimana merealisasikannya? Mungkin inilah pertanyaan mendesak yang harus segera dituntaskan. Saya tidak berpretensi dapat menuntaskan persoalan ini hanya dengan berbicara dalam forum yang terbatas seperti ini. Suatu ketika, Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, diminta berbicara di depan para artis dan selebritis. Dia mengemukakan saran agar para artis dan selebritis tidak hanya mengandalkan penampilan fisik dan keanggunan pesona, tetapi juga bobot intelektual mereka. Mengapa? Sederhana saja. Ketika para artis dan selebritis itu hanya mengandalkan keayuan dan keanggunan fisik, sampai kapan mereka mampu mempertahankan popularitas mereka? Jika popularitas mereka itu ditopang pula oleh bobot intelektual maka ia akan lebih abadi. Kita bisa membandingkan keabadian popularitas para selebritis itu dengan para ilmuan. Meskipun tidak semua ilmuan di negeri kita menjadi sangat populer, keilmuan mereka tetap sangat bermakna bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi lingkungannya. Dengan keilmuan dan kerja intelektual itulah seseorang masih merasa dirinya berharga (feel worthy) sebagai manusia, meskipun penampilan fisiknya sudah tidak lagi prima. Dengan ilmu pula manusia bisa berbuat lebih banyak bagi bangsanya. Kita lihat Prof. Emil Salim, sekedar menyebut satu contoh. Meskipun dia sudah amat sepuh, dan sangat populer di era 1980-an sebagai birokrat yang terkenal jujur dan cerdas, kehadirannya masih memberikan kontribusi penting pada zaman yang sudah banyak berubah dewasa ini. Dia, bersama Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana, termasuk tokoh yang dianugerahi penghargaan bergengsi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Sarwono Prawiroharjo Award, oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Emil Salim sangat pantas mendapatkan penghargaan ilmiah tertinggi dari LIPI tersebut karena advokasinya yang tiada mengenal lelah untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Dia juga memperoleh the Blue Planet Prize dari Asahi Glass Foundation tahun 2006 karena dinilai telah berjasa mengintegrasikan persoalan lingkungan hidup dalam proses pembangunan. Sementara itu, Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana dinilai memiliki prestasi yang luar biasa di bidang inovasi teknologi komunikasi yang ia rintis sejak 1968. Dia mempromosikan konsep geostasioner dan mewujudkannya dalam bentuk Sistim Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa, sehingga berhasil meluncurkan Satelit Palapa A-1, tanggal 8 Juni 1976. Peluncuran satelit komunikasi tersebut merupakan icon keberhasilan bangsa Indonesia memasuki era teknologi informasi canggih. Indonesia merupakan negara pertama di luar Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berhasil membangun sistim komunikasi satelit, mendahului negara-negara Eropa. Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana pun dikukuhkan sebagai Bapak Teknologi Satelit Komunikasi di Indonesia.
Pendidikan di negeri kita memang masih belum menggembirakan. Tetapi dengan segala kekurangan tersebut bukan berarti kita akan terus-menerus mengeluh dan hanya bisa menyalahkan orang lain. Bagaimanapun, memasuki perguruan tinggi merupakan cita-cita bagi setiap pemuda yang ingin maju. Meskipun biayanya mahal dan diperlukan persyaratan akademik atau kemampuan intelektual yang tidak mudah, setiap tahun ribuan anak muda berbondong-bondong memperebutkan bangku kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang masih sangat terbatas. Padahal apa yang mereka peroleh belum tentu sebanding dengan biaya yang mereka “investasikan” untuk menyelesaikan pendidikan mereka. Yang jelas lapangan kerja belum mampu menyerap output dari sekian ribu lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya. Jadi apakah higher education benar-benar menjanjikan better qualty in life? Mengulang pertanyaan seperti itu sudah dengan sendirinya menunjukkan pesimisme.
Better quality in life bukan hanya bisa dimaknai secara ekonomis, tetapi juga harus difahami dari aspek kulturalnya. Budaya sering dimaknai sebagai strategi untuk bertahan (surviving) dan menang (winning). Aspek inilah yang biasa digunakan untuk menakar tinggi-rendahnya suatu budaya. Berdasarkan kajian yang dipandu oleh Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Hattington (2000) yang melibatkan puluhan ilmuan sosial senior di Amerika, ditemukan bahwa pandangan dan konsep budaya yang dianut oleh suatu masyarakat menentukan kemajuan dari setiap masyarakat atau bangsa. Dalam konteks inilah kiranya konsep better quality in life itu harus ditempatkan. Oleh karena itu apakah kita akan mengatakan rugi ketika pendidikan yang kita peroleh di Perguruan Tinggi itu ternyata undervalued, atau tidak laku untuk melamar pekerjaan? Secara ekonomis tentu iya. Dan kenyataan seperti itu, banyaknya sarjana pengangguran di sekitar kita saat ini, sungguh sangat menyedihkan. Tanggungjawab pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata jelas belum terpenuhi, ketika masih banyak tenaga usia produktif dan terdidik tersebut belum terserap dalam lapangan kerja. Namun, jika dilihat dari aspek budaya, sebenarnya pendidikan tinggi yang mereka peroleh tetap merupakan aset peradaban yang sangat berharga. Pendidikan yang mereka peroleh, bagaimana pun, bukan sia-sia. Secara intelektual mereka sudah terlatih untuk mengadopsi budaya ilmu dan nilai-nilai peradaban manusia yang diperkenalkan oleh dunia perguruan tinggi. Pergaulan mereka juga sudah cukup luas, mengingat mereka menjadi bagian dari komunitas terdidik perkotaan yang kosmopolit.


Penutup
Bagaimana pun, menghadapi persaingan hidup yang semakin ketat saat ini perlu dibangun optimisme, agar bangsa kita segera bangkit kembali menemukan kegairahan baru untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidak-pastian. Kembali kepada konsep budaya sebagai strategi untuk bertahan hidup dan mencapai kemenangan, maka hanya bangsa yang berbudaya tinggi dan kuat yang akan menang dan unggul dalam persaingan. Di atas, pada awal tulisan ini, telah kita kutip pandangan Prof. Komaruddin Hidayat: “bangsa yang maju memiliki budaya yang kuat atau bahkan ekspansif karena mampu menularkan budayanya kepada bangsa lain. Tanpa budaya yang kuat, suatu bangsa bisa jadi hilang dikuasai oleh peradaban yang lebih besar dan lebih kuat.” Yang jelas, mengacu pada kajian Harrison dan Huntington, nilai budaya berperan penting bagi kemajuan bangsa. Bangsa Korea (Selatan) berkembang jauh lebih cepat dan mencapai kemajuan luar biasa dibandingkan dengan Ghana, meski keduanya berada pada kondisi yang sama pada tahun 1960. Mengapa itu bisa terjadi? Menurut Huntington, dalam pengantar bukunya Culture Matters: How Values Shape Human Progress (2000), karena di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuatnya tumbuh maju. Di antara nilai-nilai tersebut adalah pendidikan, selain disiplin, menghargai waktu, dan berorientasi kemajuan (progress oriented). Pendidikan yang mampu menggerakkan semangat para pemuda untuk berorientasi pada kemajuan (progress oriented) jauh lebih penting dan menentukan daripada sekedar berbangga dengan keunggulan kebudayaan masa lalu, yang hanya menumbuhkan romantisme sejarah.
Ketatnya persaingan hidup mengharuskan kualifikasi setiap pribadi anak bangsa yang semakin tinggi. Baru dua tahun yang lalu pemerintah menerbitkan sebuah Undang-undang (Nomor 14 tahun 2005) tentang Guru dan Dosen, yang menyebutkan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional” (Bab IV, Pasal 8), yang dilanjutkan dengan Pasal 9 yang berbunyi “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.” Dulu orang sudah cukup puas hanya dengan gelar Sarjana Muda (BA), dan sudah bisa memberikan status sosial yang terhormat dalam kehidupan sosialnya. Sekarang, sarjana S1 pun masih sulit memasuki persaingan kerja yang semakin sempit.
Diperlukan tekad kuat untuk mau membekali diri dengan berbagai ketrampilan dan keahlian serta kualifikasi akademik formal yang lebih tinggi, agar kita tidak ditinggalkan oleh zaman yang terus bergerak cepat ke depan. Strategi untuk dapat survive dan mempunyai semangat menggapai kemenangan—sebagai prinsip dari anak bangsa yang berbudaya kuat—harus menjadi landasan konseptual yang mendasari pola fikir, cara pandang dan bersikap kita semua. Strategi kebudayaan dalam arti semacam itulah mestinya yang menjiwai sistim pendidikan nasional kita, yaitu sistim pendidikan yang benar-benar membentuk karakter bangsa yang maju. Pendidikan, dengan demikian, tidak boleh hanya diarahkan untuk mencetak “bangsawan” ilmu pengetahuan bertitel “ningrat akademik,” namun tidak mampu berbuat apa-apa saat bangsanya terpuruk. Di atas semua hal tersebut, kita tidak boleh kehilangan harapan untuk bisa memperbaiki diri. Untuk itu diperlukan seorang pemimpin yang kuat dan visioner, yang mampu menggelorakan semangat seluruh warga bangsa untuk dapat survive dan memenangi persaingan global. Maxwell mengingatkan kita: the pessimist complains about the wind, the optimist expects it to change, and the leader adjusts the sails.

Semoga Allah selalu membimbing kita sekalian untuk menggapai kemajuan dalam hidup kita, untuk semua anak bangsa yang kita cintai. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar