Sabtu, 14 Agustus 2010

Disorientasi Intelektual


DISORIENTASI PENGEMBANGAN INTELEKTUAL PTAIN?
Pergeseran Wacana Studi Keislaman dalam Menghadapi Persaingan Pasar Kerja


Oleh Fauzan Saleh

Jonathan Berkey, dalam uraiannya tentang “ Professors and Patrons: Careers in the Islamic Academic World,” mengutip pendapat Muhammad ibn al-Hajj (w. 1336), seorang ulama’ fiqih abad ke-14, mengatakan telah terjadi tindakan-tindakan memalukan dan menyimpang yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Cairo. Ibn al-Hajj mengeluhkan perilaku para ulama’ yang lebih mementingkan kekayaan dan status duniawi di dalam meniti karier keulamaan mereka. Lebih lanjut dia mengatakan, jika di masa lalu orang banyak membelanjakan hartanya untuk mecari ilmu, sekarang ini orang berusaha mencari ilmu guna memperoleh harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Sejak abad ke-14 itu pun sebenarnya telah terjadi “penyimpangan orientasi” di kalangan para ulama.[1] Tidak jauh berbeda dengan kecenderungan saat ini, mereka juga melihat bahwa mencari ilmu dimaksudkan sebagai bentuk investasi masa depan, agar kehidupan eknominya lebih terjamin. Dengan ilmu itu mereka kelak akan dapat meniti karier sebagai guru atau syeikh yang terpandang dan dengan itu pula mereka akan mendapatkan job di berbagai perguruan tinggi ternama dengan gaji besar.[2]
Dewasa ini gejala yang sama tengah berlangsung dan seolah-olah menjadi trend yang mesti diikuti oleh semua orang yang hidup di zaman persaingan bebas ini. Kita tidak perlu malu untuk mengakui kebenaran trend semacam ini, sebab itulah yang sedang kita lakukan saat ini. Meski ada pengecualian, ketika orang menginvestasikan sebagian uangnya untuk memasuki pendidikan tinggi, tentu ada keinginan bahwa kelak mereka akan mendapat return dari uang yang diinvestasikannya. Return itu secara umum diperoleh dalam bentuk karier atau pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya serta gaji yang memadai sesuai dengan status sosialnya. Kesadaran seperti ini telah menandai sebuah “reorientasi” (untuk tidak menyebut “disorientasi”) dalam pola fikir para pemuda dalam menempuh pendidikan tinggi. Salahkah pergeseran orientasi seperti itu? Sama sekali tidak, terutama jika kita melihatnya dari sudut pandang perubahan sosial yang berlangsung sejak lima dasawarsa terakhir di negeri kita. Pergeseran orientasi ini telah terjadi secara alamiah ketika bangsa kita dihadapkan pada perubahan-perubahan besar yang melanda dunia, khususnya ketika umat manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan peralihan zaman dari era agriculture ke era industri dan postindusti.
Kita juga tidak ingin menyalahkan Muhammad ibn al-Hajj dengan keprihatinan yang ia keluhkan di atas. Dia tentu memiliki argumen yang bagus dengan mengeluhkan “disorientai” yang melanda para ulama’ pada zamannya. Ketika dewasa ini kita (dan juga Kementerian Agama) merasa prihatin dengan menurunnya minat para pemuda Muslim untuk memasuki perguruan tinggi agama yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional, maka bisa jadi kita akan mengulang keprihatinan Ibn al-Hajj di atas. Jurusan-jurusan atau program studi (Prodi) yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional sepi peminat sejak kira-kira dua puluh tahun terakhir. Alasannya, ilmu-ilmu Islam murni ini tidak menjanjikan karier di dunia kerja yang jelas. Sebagai konsekwensinya, perguruan tinggi agama Islam harus merubah orientasinya: supaya tetap diminati calon mahasiswa, jurusan-jurusan tersebut harus melakukan metamorfosa, tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional, tetapi juga harus mengikuti trend pasar kerja.
Menurut Jeje Abd. Rozaq, persoalannya ialah bagaimana PTAI bisa melahirkan lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik, di samping ilmu keagamaan yang menjadi kewajiban pokoknya, serta memiliki etos kerja yang positif disertai iman dan taqwa yang mendalam.[3] Ini semua menjadi prasyarat bagi para lulusan PTAI untuk mampu bersaing dengan lulusan perguruan tinggi umum untuk dapat merebut pasaran kerja. Sejalan dengan persoalan di atas, ia menyebutkan berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh PTAI dewasa ini. Secara umum permasalahan itu berupa (1) rendahnya mutu hasil pendidikan dan penelitian, (2) masalah mutu lulusan, dan (3) sumbangan terhadap pengembangan ilmu (yang masih belum menggembirakan). Namun berbagai problem tersebut berdampak cukup jauh pada kurang berhasilnya PTAI dalam menunaikan tugas pokoknya, yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya:
1.      Bergesernya aspirasi pendidikan masyarakat (baca: umat Islam) yang semula sangat mementingkan ilmu agama, kemudian bergeser pada ilmu umum, sejalan dengan dinamika kehidupan bangsa secara keseluruhan.
2.      Semakin sempitnya peluang lulusan PTAI untuk bekerja sebagai pegawai negeri akibat kebijakan zero growth yang diterapkan pemerintah dalam rekruitmen pegawai negeri.
3.      Banyaknya lulusan PTAI yang tidak segera mendapatkan pekerjaan sesuai yang diinginkan berakibat pada berkurangnya minat calon mahasiswa untuk belajar di PTAI. Dalam pandangan mereka PTAI kurang bisa menjamin prospek masa depan yang cerah. Lulusan SLTA yang mempunyai potensi akademik yang tinggi cenderung memilih perguruan tinggi umum yang dianggap lebih menjanjikan.
4.      Beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh ahli agama dalam profesinya juga ikut membuat sebagian calon mahasiswa kurang berminat untuk mendalami ilmu agama secara khusus.
5.      Kurang berminatnya lulusan SLTA yang memiliki potensi akademik tinggi untuk belajar di PTAI menyebabkan mutu kebanyakan mahasiswa PTAI kurang ideal. Bahkan banyak PTAI yang terpaksa menerima mahasiswa dengan mutu ala kadarnya, karena khawatir akan kekurangan mahasiswa jika mereka terlalu ketat dalam menyaring calon mahasiswa.
6.      Input mahasiswa yang kurang ideal ini selanjutnya berdampak pada sulitnya PTAI untuk bisa menghasilkan lulusan yang bermutu.
Terlepas dari berbagai persoalan di atas, perubahan status fakultas daerah yang harus lepas dari IAIN induk pada akhir 1990-an dan berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)[4] telah menjadi katup penyelamat bagi survival atau keberlangsungan lembaga pendidikan tinggi Islam di daerah-daerah. Dalam perubahan status dan nama itu pemekaran menjadi dimungkinkan, sebab status sebagai STAIN memberi peluang untuk membuka jurusan dan Program Studi (Prodi) baru yang lebih berorientasi pasar kerja. STAIN Kediri, misalnya, yang dulu berawal dari Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Ampel di Kediri yang “tunduk” pada Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan Keputusan Presiden tersebut, berubah status dan bertanggung jawab langsung pada Menteri Agama. Dengan status baru ini STAIN Kediri mulai dapat mengembangkan diri dan membuka jurusan-jurusan baru, dimulai dengan Jurusan Ushuluddin dan Tarbiyah (1997), kemudian disusul Jurusan Syari’ah (2001). Masing-masing jurusan ini terus berlomba untuk membuka program studi yang “layak jual” di masyarakat. Jurusan Tarbiyah, misalnya, dengan prodi-prodi yang laris di pasaran, seperti bahasa Inggris, di samping Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab, mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Diikuti oleh jurusan lain yang berpotensi mengembangkan prodi laris, seperti Ekonomi Islam (pada Jurusan Syari’ah), dan Psikologi dan Komunikasi (pada Jurusan Ushuluddin), STAIN Kediri dapat bernapas lega karena tidak ditinggalkan oleh para calon mahasiswa. Para calon mahasiswa itu melihat bahwa meski berada di lingkungan pendidikan tinggi agama Islam, mereka bisa berharap kelak akan dapat mengembangkan karier dan dapat memasuki pasar kerja, bersaing dengan tamatan pendidikan tinggi umum yang lain.
Meski demikian, perubahan status tersebut belum membawa perbaikan berarti bagi nasib dan perkembangan kajian ilmu-ilmu Islam murni atau kajian ilmu-ilmu keislaman tradisional, terutama yang dikelola oleh Jurusan Ushuluddin. Yang terjadi di lapangan justru semakin memprihatinkan. Dengan adanya prodi-prodi baru yang semakin banyak diminati calon mahasiswa—karena menjanjikan lapangan kerja—prodi ilmu-ilmu keislaman tradisional pada jurusan Ushuluddin (juga Dakwah dan Adab di institusi lain) semakin sepi dan tetap kurang diminati. Tidak sedikit IAIN atau STAIN yang mengelola jurusan-jurusan sepi peminat ini mengeluhkan kondisi tersebut dan merasa khawatir akan keberlangsungan eksistensinya. Mereka telah melakukan berbagai upaya agar jurusan-jurusan ini tetap laku dan diminati oleh calon mahasiswa. Program Studi Perbandingan Agama barangkali merupakan unit yang paling merasakan dampak perubahan orientasi ini. Dari segi namanya saja, orang sudah gamang dan tidak mendapatkan gambaran yang jelas tentang ilmu apa yang diajarkan pada prodi tersebut. Selanjutnya, suatu pertanyaan yang sangat wajar muncul: tamatannya akan jadi apa dan dapat diterima kerja di mana. Belum lagi persoalan titel kesarjanaan yang akan diberikan kepada alumninya yang sudah sekian kali berganti nama, mulai dari Doktorandus (Drs.), Sarjana Agama (S.Ag.), Sarjana Theologi Islam (S.Th.I), dan yang akan berlaku nanti, Sarjana Ushuluddin (S.Ud.).[5] Semua hal ini hanya akan menambah kebingungan masyarakat dan membuat permasalahan menjadi semakin kompleks.
Tetapi metamorfosa seperti itu tidak hanya terjadi di lingkungan STAIN. Semua perguruan tinggi agama Islam, termasuk IAIN besar (Jakarta, Jogja, Surabaya, Makasar), telah merubah orientasi mereka. Bahkan sebagian IAIN dan satu STAIN telah melompat begitu jauh merubah statusnya dari institut (dan sekolah tinggi) menjadi universitas. Perubahan itu telah memberi peluang dan keleluasaan untuk membuka fakultas atau jurusan-jurusan baru di luar tradisi keilmuan Islam yang menjadi mandat awalnya. Ilmu-ilmu non-keislaman ikut mewarnai corak pengembangan intelektual di lingkungan pendidikan tinggi agama Islam. Tujuannya, di samping yang resmi seperti tercantum dalam statuta, sudah jelas: orientasi pasar kerja atau, lebih tepatnya, memperebutkan pasar kerja. Hal ini tidak perlu dipungkiri, sebab perubahan orientasi ini menyangkut nasib eksistensial lembaga yang bersangkutan, terlepas dari visi, misi dan tujuan suatu lembaga pendidikan tinggi itu dibangun, sesuai dengan status yang disandangnya.
Melihat kecenderungan pasar kerja yang harus secara cermat diperhitungkan tersebut, pembukaan jurusan/prodi umum di lingkungan PTAI sudah menjadi tren, dan bahkan menjadi kebutuhan. Kita dapat memaklumi hal itu, sebab tuntutan utama ialah bagaimana lembaga tetap survive lebih dahulu. Dan itu berarti harus membuka peluang seluas-luasnya bagi lembaga untuk dapat menerima mahasiswa sebanyak mungkin. Yang penting jurusan atau prodi itu laku dan diminati calon mahasiswa. Konsekwensinya, misi keilmuan bisa dimodifikasi sesuai dengan tuntutan pasar. Selain itu, resiko yang tak kalah seriusnya ialah prodi-prodi pokok yang mengajarkan ilmu-ilmu dasat keislaman semakin kurang diminati dan kekurangan mahasiswa. Di beberapa tempat, fakultas atau jurusan Ushuluddin, misalnya, harus tutup karena memang tidak ada calon mahasiswa yang daftar. Selanjutnya, ketika hanya prodi-prodi umum yang laku, maka pada prodi tersebut ilmu-ilmu keislaman semakin sedikit porsi sks-nya, dan berperan sekedar sebagai “pendamping” bagi disiplin ilmu umum dalam prodi tersebut. Ini tidak lepas dari tuntutan kurikulum yang harus diakomodasi oleh prodi yang bersangkutan agar lulusannya dapat diterima oleh pasar kerja.
Prodi-prodi umum ini, supaya lulusannya dapat diakui kompetensi keilmuannya, harus memperbanyak matakuliah yang diajarkan pada prodi sejenis di lingkungan perguruan tinggi umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Prodi Bahasa Inggris di STAIN Kediri, misalnya, dalam rangka meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bahasa Inggris harus memodifikasi silabinya dari tahun ke tahun. Karena tuntutan memperbanyak materi bahasa Inggris ini pula maka matakuliah yang dipandang kurang menunjang pencapaian target kompetensi tersebut teraksa harus digusur. Sayangnya, yang dikorbankan adalah matakuliah keagamaan yang sebenarnya sangat penting bagi seluruh mahasiswa PTAI guna memantapkan wawasan keagamaan mereka dan sangat diperlukan bagi pembentukan pribadinya selaku mahasiswa Muslim. Dalam buku Silabus Jurusan Tarbiyah STAIN Kediri tahun 2008, misalnya, mata kuliah Pemeikiran Modern Dalam Islam (PMDI) dan Filsafat Islam telah dihapuskan dari silabi Prodi Tadris Bahasa Inggris, untuk memberi ruang yang lebih banyak bagi materi bahasa Inggris. Padahal, dengan materi kuliah PMDI ini mahasiswa akan mengenali persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh dunia Islam di abad modern ini dan bagaimana umat Islam harus merespon berbagai tantangan yang datang dari gempuran ideologi Barat, terutama dalam bentuk faham sekularisme dan materialisme. Dengan demikian sebenarnya matakuliah ini dimaksudkan selain untuk memperluas wawasan keagamaan mahasiswa juga untuk menanamkan semangat keislaman agar mereka memiliki jiwa dan keberanian untuk membela kepentingan Islam.
Di UIN Jogjakarta dan Jakarta, yang di masa lalu Fakultas Ushuluddin merupakan fakultas yang bergengsi karena bobot akademiknya, sekarang juga sudah mengalami penurunan. Bergengsinya Fakultas Ushuluddin di kedua PTAI besar itu tidak lepas dari tokoh yang menjadi icon Ushuluddin saat itu, yaitu Harun Nasution untuk IAIN Jakarta, dan Mukti Ali untuk IAIN Jogjakarta. Kedua tokoh yang meskipun tidak mengawali karier akademiknya di Fakultas Ushuluddin ini ternyata telah mendapatkan basis pengembangan keilmuannya di lingkungan Ushuluddin. Keduanya telah berjasa besar dalam mewarnai perkembangan intelektual pendidikan tinggi Islam. Mereka berdua tidak saja melahirkan para intelektual muda yang banyak berkpirah dalam pengembangan diskursus keislaman yang amat dinamis tetapi juga telah membawa perubahan-perubahan besar dalam iklim intelektual di dunia pendidikan tinggi Islam di Tanah Air, khususnya melalui pendidikan Pascasarjana yang mulai berkembang sejak era 1980-an.[6]
Memang di samping kedua tokoh ini masih ada tokoh penting lain yang ikut mendorong kemajuan intelektual di lingkungan PTAIN. Tokoh penting itu adalah Nurcholish Madjid.[7] Dia sendiri mengawali karir akademiknya sebagai mahasiswa di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebenarnya, Fakultas Adab tidak jauh berbeda kondisinya dengan Fakultas Ushuluddin saat ini, sama-sama fakultas yang sudah kurang diminati calon mahasiswa. Bahkan, seperti dituturkan Nurcholish sendiri, ia merasakan bahwa secara keseluruhan kondisi pembelajaran dan dinamika intelektual IAIN saat itu sering dipandang dengan sebelah mata oleh mahasiswa perguruan tinggi umum. Kondisinya “memelas,” menurut ungkapan dia. Kata-kata itu sendiri menunjukkan maksud sangat miskin, memprihatinkan dan mengundang belas kasihan. Sekalipun demikian, semangat belajar yang diikuti oleh para mahasiswa saat itu sangat tinggi. Keinginan untuk menggali dan mengembangkan ilmu-ilmu dasar Islam, termasuk sastra dan sejarah peradaban Arab, masih cukup tinggi di kalangan masyarakat. Kita tidak tahu data statistik yang menunjukkan berapa jumlah mahasiswa Fakultas Adab atau Ushuluddin di Jakarta maupun Jogjakarta saat itu. Namun, dari perkembangan kurikulum maupun silabi yang ditawarkan menunjukkan betapa muatan ilmu-ilmu keislaman masih sangat dominan dan padat.
Terlepas bahwa Nurcholish saat itu berangkat dari fakultas yang sekarang telah mengalami stigma “sepi peminat” tersebut, semangat belajarnya tidak kalah dengan para mahasiswa saat ini. Belajar di perguruan tinggi bukan dengan niatan untuk mendapat civil effect menjadi pegawai negeri, tetapi benar-benar untuk menjadi manusia yang terpelajar, becoming educated. Karena tanpa beban bahwa kelak tidak mesti menjadi pegawai negeri itulah maka semangat belajar dan keinginan untuk memperdalam ilmu pengetahuan, apa pun bidang dan jenisnya,  tetap dijalani dengan sungguh-sungguh. Bahkan yang lebih menonjol adalah kemauan keras untuk mengembangkan tradisi intelektual di kalangan para mahasiswa. Ada proses yang secara tidak disengaja (unintended) akan menyertai perkembangan belajar para mahasiswa itu, meskipun mereka menempuh pendidikan di “jalur yang kurang menjanjikan.” Tepatnya, telah terjadi unintended consequences dari proses pembelajaran yang mereka lalui, yaitu suatu konsekwensi yang secara tak sengaja akan diperoleh oleh setiap orang yang terlibat di dalam proses tersebut. Jika orang belajar di ITB atau ITS akan menjadi insinyur (engineer, atau sarjana teknik) dan dengan gelar akademik itu orang akan mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi, maka belajar di perguruan tinggi agama, apalagi di fakultas kering seperti Adab dan Ushuluddin, tidak bisa memperoleh intended consequence itu dengan mudah. Namun demikian, ia masih tetap beruntung karena ada aspek unintended consequences, yaitu becoming educated, menjadi orang yang terpelajar. Dalam ungkapan yang lebih jelas, Nurcholish Madjid menuturkan:
Pendidikan itu kan yang penting dilihat bukan intended consequence-nya—seperti orang belajar ke ITB menjadi insinyur—melainkan, yang lebih penting, adalah unintended consequence-nya: menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan fenomena orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor) yang banyak menjadi bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa menjadi semakin besar bila aspek tradisi intelektualnya tersentuh. Pada mulanya kan orang-orang pergi ke IAIN ingin jadi modin. Tapi, lama-kelamaan, karena aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya menjadi terpelajar.[8]

Dari kutipan di atas dapat kita baca, bahwa unintended consequences itulah yang harus kita perhatikan ketika orang menempuh suatu program pendidikan. Apa pun jurusan atau program studinya, asal dapat mengantarkan orang pada tahapan menjadi terpelajar dan memperoleh sentuhan intelektual yang memadai, maka itu akan menjadi modal amat penting untuk menjadi apa saja. Jika dicermati tidak sedikit orang yang studi di IPB, ITS atau perguruan tinggi khusus seperti itu ternyata justru harus bekerja di luar jalur keilmuan yang mereka tekuni di bangku kuliah. Sebagai contoh, tidak sedikit dari mereka yang bergelar sarjana tehnik itu justru diterima bekerja di perbankan. Apa kaitan antara ilmu yang ia pelajari di bangku kuliah dengan karir pekerjaannya? Kemudian, bagaimana dia bisa menjalani pekerjaan itu padahal pekerjaan itu sama sekali di luar disiplin ilmu yang ia tekuni di bangku kuliah? Barangkali memang harus diakui bahwa peluang yang tersedia bagi tamatan IAIN/STAIN tidak seluas yang tersedia bagi tamatan perguruan tinggi umum lainnya. Tetapi jika orang memperhatikan pentingnya sentuhan intelektual yang membuka peluang untuk menjadi “apa saja,” seharusnya ia akan tetap bersikap optimistis dan terus tekun belajar medalami ilmu apa pun, termasuk ketika ia menjatuhkan pilihan untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman tradisional di PTAI.
Gejala penurunan minat memasuki jurusan/prodi ilmu-ilmu keislaman tradisional sudah terasa sejak akhir 1980-an. Ini barangkali tidak lepas dari perubahan-perubahan besar pada kurikulum di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang mensejajarkan dirinya dengan SMP/SMA yang berada di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan Nasional. Materi pendidikan agama Islam tinggal 20% dari porsi yang diberikan pada sistim pendidikan sejenis di masa lalu. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri), tamatan Madrasah Aliyah, dengan perubahan struktur kurikulum seperti di atas, dapat dengan mudah diterima di perguruan tinggi umum.[9] Konsekwensinya, semakin banyak tamatan Aliyah memilih melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum. Tinggal sisa-sisanya saja yang, karena—terutama faktor ekonomi—tidak punya banyak pilihan, harus merelakan diri mendaftar di perguruan tiggi agama.  Tidak banyak dari tamatan Aliyah yang benar-benar secara sadar ingin melanjutkan studi ke PTAI dengan niatan memperdalam ilmu agama.
Memang harus diakui bahwa dengan adanya SKB tiga menteri tersebut semakin banyak pula calon mahasiswa di PTAI yang berasal dari SMA umum (termasuk SMK). Ini tentu merupakan suatu bentuk nilai tambah yang penting untuk menjadi perhatian kita. Kecenderungan tersebut bisa dimaknai dari beberapa sudut pandang. Ketika para tamatan sekolah umum (non-Madrasah Aliyah) itu memberanikan diri untuk mendaftarkan diri ke PTAI, asumsi pertama yang dapat diangkat ialah mereka merasa mempunyai cukup bekal ilmu agama untuk memasuki PTAI, meskipun di lapangan terbukti berbeda. Hal ini tidak lepas dari adanya anggapan bahwa tuntutan pengetahuan agama di PTAI. sebagai prasyarat sekarang sudah tidak seketat sebelumnya. Dengan berbekal ilmu agama yang mereka dapatkan di SLTA umum, ditambah modal kemampuan membaca al-Qur’an yang cukup bagus maka prasyarat pengetahuan agama itu dapat mereka kuasai dengan baik.[10] Bisa juga karena mereka melihat di PTAI pun tersedia peluang yang cukup bagus untuk mengembangkan diri, sebab PTAI sudah membuka prodi-prodi baru yang dapat “menampung” minat mereka sesuai dengan latar belakang pendidikan SLTA mereka. Fakta seperti inilah antara lain yang dibaca oleh pengelola PTAI sebagai peluang untuk merebut pasaran calon mahasiswa, sehingga tampak adanya persaingan antara PTAI dengan PT umum yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional.
Kenyataan di atas sekaligus menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Madrasah Aliyah pun lambat laun akan menular ke PTAI. Porsi pendidikan agama semakin sempit, “digusur” oleh ilmu-ilmu lain sesuai dengan disiplin yang dikembangkan oleh prodi. Ilmu-ilmu keislaman diberikan sebatas “standar minimal,” tidak lebih dari sekitar 30 sks dari kurang lebih 160 sks yang harus dipenuhi untuk jenjang S1.Persis seperti siswa di tingkat Aliyah, mahasiswa di PTAI prodi “umum” lebih mengutamakan ilmu-ilmu pengembangan ketrampilan sesuai dengan jenis prodinya, dengan menempatkan ilmu-ilmu keislaman sekedar sebagai matakuliah “pengembangan kepribadian.” Artinya, ilmu keislaman tidak perlu dikaji sangat mendalam, tetapi sekedar cukup untuk dapat memberi landasan (seperlunya?) agar mahasiswa tersebut tetap merasakan dirinya belajar di PTAI. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan porsi seperti itu visi, misi dan tujuan lembaga dapat dipenuhi dengan baik? Bukankah PTAI hanya ikut meramaikan kecenderungan yang sedang berkembang saat ini bahwa pendidikan tinggi adalah “pabrik” tenaga kerja yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan pasar industri?
Padahal, penyelenggaran pendidikan di lingkungan Kementerian Agama secara umum tidak lepas dari misi dan tugas pokok kementerian tersebut seperti tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Agama, yaitu membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan. Di dalam pelaksanaan tugas tersebut diharapkan agar filosofi dan nilai-nilai agama menjadi parameter perilaku kehidupan, menjadi inspirator dan katalisator pembangunan, serta motivator bagi terciptanya toleransi kehidupan beragama serta kehidupan yang harmonis di antara umat yang berbeda agama. Lebih lanjut, uraian tentang tugas dan fungsi itu dijabarkan dalam Keputusan Menteri Agama nomor 512 Tahun 2003 tentang Visi dan Misi Kementerian Agama. Tentang visi dijelaskan bahwa Kementerian Agama berusaha menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan moral spiritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun misinya disebutkan antara lain: (1) Meningkatkan kualitas pendidikan agama, (2) Meningkatkan kualitas pelayanan ibadah, (3) Memberdayakan lembaga keagamaan, (4) Memperkokoh kerukunan umat beragama, (5) Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan, serta (6) Penghormatan atas keanekaragaman keyakinan keagamaan.[11]
Sejalan dengan pokok fikiran di atas, Arif Furchan, sebagaimana dikutip Jeje Abd. Rozaq lebih lanjut, pendidikan agama yang dikelola Kementerian Agama, terutama Perguruan Tingginya, harus dapat memberikan layanan pendidikan tinggi agama Islam yang bermutu, melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan dirugikan akibat adanya “mal-praktik” di bidang pelayanan pendidikan tinggi agama, dan menjadikan pendidikan tinggi agama sebagai sumber perumusan, penyebarluasan, dan pendidikan filosofi dan nilai-nilai agama, sehingga dapat digunakan oleh masyarakat sebagai parameter perilaku kehidupan, menjadi inspirator dan katalisator pembangunan, serta motivator bagi terciptanya toleransi kehidupan beragama dan bermanfaat bagi upaya mewujudkan kehidupan yang harmonis antar-umat beragama.[12] Semua pokok fikiran di atas secara umum menegaskan bahwa pendidikan agama, khususnya di tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam, menuntut adanya pengkajian ilmu-ilmu agama secara mendalam dan serius. Oleh karena itu, jika kecenderungan yang berkembang saat ini ialah ilmu agama sekedar sebagai “pendamping” bagi ilmu-ilmu umum (baca: Biologi, Matematika, Psikologi, Komunikasi, dan Bahasa Inggris) di PTAI maka dikhawatirkan akan terjadi pendangkalan terhadap pendidikan agama itu sendiri. Apalagi jika dilihat bahwa jurusan yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional semakin sepi peminat.
Yang jelas Kementerian Agama telah merasakan gejala seperti itu. Meskipun kondisi tersebut telah berlangsung selama kurang lebih tiga dekade, baru sekaranglah Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mau menunjukkan perhatiannya terhadap persoalan tersebut secara serius. Perhatian itu diwujudkan dengan diselenggarakannya program terobosan dalam bentuk pemberian bea siswa khusus kepada para mahasiswa yang bersedia masuk ke “prodi langka peminat.” Anggaran yang disediakan untuk itu cukup besar, tetapi dengan gambaran yang masih belum jelas akan keberlanjutan program tersebut. Program ini antara lain dilatarbelakangi oleh beberapa kenyataan yang cukup memprihatinkan, seperti:
1.        Jumlah mahasiswa/peminat program studi tertentu di tiga fakultas/jurusan (Ushuluddin, Dakwah dan Adab) mengalami penurunan dari tahun ke tahun
2.        Ketidakjelasan masa depan lulusan fakultas/jurusan/prodi tertentu di bidang ilmu-ilmu murni berkaitan dengan lapangan pekerjaan yang tersedia
3.        Berkurangnya minat masyarakat Muslim (pendukung PTAI) untuk mengirimkan anak-anaknya ke UIN/IAIN/STAIN untuk mendalami ilmu-ilmu agama ‘tradisional-murni’
4.        Pengelola/pimpinan PTAI kurang memberikan perhatian sewajarnya terhadap fakultas/jurusan/prodi yang mengalami kejenuhan atau kurang peminat.
Selanjutnya, program ini dilaksanakan dengan tujuan, antara lain:
  1. Menyelenggarakan ‘program khusus‘ (affirmative action, crass-program) untuk mendorong, mendongkrak, menstimulasi dan menambah jumlah mahasiswa pada fakultas/jurusan/prodi tertentu PTAIN yang mengalami kekurangan peminat
  2. Merevitalisasi ilmu-ilmu keislaman ‘tradisional-murni’ melalui penguatan dan jaminan keberlangsungan Program Studi ilmu-ilmu keislaman di PTAIN, dan
  3. Memperkuat lembaga PTAIN sesuai dengan main-mandate yang dimiliki sebagai lembaga pengkajian ilmu-ilmu agama.[13]


Melihat gambaran persoalan yang melatarbelakangi dan yang menjadi tujuan program ini tampak jelas bahwa Kementerian Agama telah menyadari betapa kajian ilmu-ilmu keislaman murni akan semakin ditinggalkan oleh para calon mahasiswanya. Gejala tersebut dapat dibaca sebagai kecenderungan adanya “disorientasi” di dalam pengembangan intelektual di lingkungan PTAI. Meskipun tidak dijelaskan apa dampak yang akan timbul dari berkurangnya minat calon mahasiswa untuk mendalami ilmu-ilmu agama murni tersebut, kita dapat merasakan akan terjadi pendangkalan secara kognitif terhadap ilmu-ilmu keislaman tradisonal. Hal ini tentu akan memperlemah posisi PTAI sebagai lembaga pengkajian ilmu-ilmu agama yang merupakan mandat utamanya.
Namun kebijakan ini tampaknya juga masih bersifat ad hoc atau masih dalam rangka uji coba. Hal ini tercermin antara lain dari rencana anggaran yang disebutkan bahwa “program ini dibiayai dari DIPA Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI  Tahun Anggaran 2009.” Artinya, untuk kelanjutannya, masih belum jelas apakah pada tahun-tahun berikutnya program ini akan dibiayai dari DIPA lagi atau tidak, Jika dibandingkan dengan proyek pengadaan guru agama atau penyetaraan guru-guru agama di tingkat SD/MI atau Tsanawiyah maka tampak sekali penanganan “prodi langka peminat” ini kurang diprioritaskan. Proyek peningkatan mutu madrasah yang ditangani oleh Subdit Kelembagaan dan Kerjasama, Direktorat Pendidikan Madrasah, Kementerian Agama sudah sangat mantap. Di samping berbagai program peningkatan kualifikasi Sarjana (S1) bagi guru madrasah ibtidaiyah dan pendidikan agama Islam di sekolah melalui program Dual Mode System (DMS), peningkatan mutu madrasah juga dilakukan dengan berbagai program kerjasama dengan institusi-institusi asing, Bahkan, tidak mau kalah dengan Kementerian Pendidikan Nasional, peningkatan mutu Madrasah Tsanawiyah-Aliyah ini sudah mengarah pada pembentukan Madrasah Bertaraf Internasional.[14] Hal ini terasa kontras sekali dengan penanganan prodi langka peminat tersebut.
Selain karena perubahan trend atau “disorientasi” yang tengah berlangsung saat ini, bahwa belajar adalah investasi masa depan, harus diakui pula bahwa proses ini adalah bagian dari “warisan” masa lalu. Terpinggirkannya kajian Islam tradisional di PTAI tidak lepas dari kecenderungan dikotomis dalam pembidangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Tetapi berbeda dengan yang berlangsung saat ini, di abad tengah, ilmu-ilmu keislaman mendapat perhatian begitu luas dan diprioritaskan, mengalahkan ilmu-ilmu umum. Mereka yang belajar ilmu-ilmu keislaman ini selalu mendapat beasiswa dan kelak jka mereka tamat dari pendidikannya mereka akan mendapatkan job dengan gaji yang menjanjikan sebagai qadi atau hakim agama, suatu jabatan yang amat bergengsi. Selain itu, status sosial sebagai ulama’ yang menguasai ilmu-ilmu agama ini sangat dihormati oleh masyarakat. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu umum harus berjuang sendiri, tidak banyak mendapat dukungan fasilitas beasiswa, dan jika menyelesaikan studinya tidak ada pekerjaan yang jelas untuk mereka. Sebagian besar mereka akan bekerja di lingkungan istana untuk pengembangan ilmu sendiri di bawah patronase penguasa yang peduli pada pengembangan ilmu pengetahuan. Di masyarakat sendiri apresiasi pada pengembangan ilmu-ilmu umum ini sangat sedikit.
Dikotomi ilmu pengetahuan seperti ini barangkali tidak lepas dari pandangan al-Ghazali (w. 1111) yang ingin membelokkan perhatian masyarakat Muslim agar lebih fokus pada ilmu-ilmu keagamaan murni sebagai ilmu yang menjanjikan keselamatan dan pengenalan akan hakekat yang sebenarnya. Semesntara itu, ilmu-ilmu umum, terutama kajian filsafat, dipandang hanya akan membingungkan dan menggoyahkan iman. Filsafat bahkan dituduhnya telah menjadikan agama sebagai perdebatan kering tanpa makna. Maka yang dipentingkan adalah qalbu, dzauq dan amaliyah yang dapat membawa ketenangan jiwa manusia. Ilmu-ilmu yang tidak menopang tujuan tersebut hendaknya dijauhkan dari perhatian umat. Kalaupun masih perlu dikembangkan maka status dan gradasinya hanya sekedar dalam posisi “fardlu kifayah.” Mulai saat itu, hanya mereka yang mau belajar ilmu-ilmu keagamaan murni yang mendapat bantuan beasiswa dan tinggal di asrama dengan segala fasilitas yang menyenangkan.
Kiranya kecenderungan seperti itu masih tetap berlangsung hingga saat ini di negara-negara Timur Tengah, seperti yang terjadi di Madinah, Arab Saudi dan di al-Azhar, Cairo, Mesir. Mengapa kebanyakan, atau tepatnya hampir seluruh, mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar mengambil jurusan ilmu-ilmu agama murni (Syari’ah, Ushuluddin dan Qism al-Lughah)? Jawabannya jelas, hanya pada fakultas-fakultas agama inilah mereka dapat sekolah dengan gratis dan mendapat beasiswa. Jika ada mahasiswa Indonesia yang belajar di Fakultas Tarbiyah di al-Azhar, maka, selain jumlahnya sedikit, mereka jelas dari kalangan yang cukup mapan secara ekonomi, sebab di Fakultas Tarbiyah pun orang harus bayar SPP, alias tidak gratis.[15] Suatu hal yang menarik, dengan jumlah mahasiswa Indonesia mencapai ribuan di al-Azhar—khusus pada ketiga fakultas di atas—ternyata dinamika intelektual mereka cukup tinggi. Salah seorang tokoh mahasiswa pernah menyatakan pada penulis saat penulis berkunjung ke Cairo (2003) bahwa “kita memang sekolah di al-Azhar (dengan segala keterbatasan ruang lingkup keilmuan yang mereka dapati—pen.), tetapi kita belajar di Mesir.” Mesir memang masih tetap menjadi kiblat pengembangan peradaban Islam di abad modern ini. Karena itulah ungkapan teman tadi menarik untuk dicermati lebih lanjut. Dengan tidak hanya fokus pada pelajaran yang mereka geluti di bangku kuliah, mereka tertantang untuk belajar kepada banyak tokoh yang terpandang dan memiliki reputasi akademik dunia, seperti Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Mohammed Abid al-Jabiri, untuk menyebut sebagian nama. Mereka juga aktif melakukan diskusi kelompok untuk mempertajam daya kritis mereka..Dengan kegiatan seperti itu mereka menjadi semakin conversant dengan berbagai persoalan kontemporer seperti pluralisme agama, hak asasi manusia, kesetaraan gender dan dekonstruksi pemikiran yang digagas oleh Michel Foucault.[16]
Apa makna yang dapat kita tangkap dari proses di atas? Sekali lagi, mengacu pada pandangan Nurcholish Madjid di atas, yang penting dalam proses belajar di Perguruan Tinggi ialah unintended consequences-nya, bukan sekedar pencapaian formal dari sebuah proses pembelajaran yang berujung pada perolehan ijazah dan titel akademik dari lembaga tersebut. Belajar adalah sebuah proses panjang dan bersifat multidimensional. Sebagai proses multidimensi maka mahasiswa dituntut untuk mampu mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang tengah dihadapi. Belajar adalah “proses untuk menjadi” yang tidak pernah berhenti. Apa pun faktor yang dapat menunjang bagi keberhasilan proses itu harus mendapat perhatian yang serius. Pengembangan bakat dan minat mahasiswa merupakan faktor yang amat menentukan bagi keberhasilan proses untuk menjadi tersebut. Di sini mahasiswa perlu didorong untuk dapat mengambil manfaat yang seluas-luasnya dari semua fasilitas di kampus, bukan sekedar dalam bentuk sarana fisik yang tersedia tetapi juga suasana dan atmosfer akademik yang sengaja diciptakan untuk memperkuat proses menjadi tersebut. Jika mahasiswa tidak mau memanfaatkan suasana tersebut dia kelak hanya akan menjadi “tukang” yang diproduksi sekedar untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, dan dia, mohon maaf, hanya layak untuk menjadi “kuli” bagi proses produksi di lingkungan kerjanya.
Mengacu pada salah satu konsideran yang digunakan oleh Presiden Suharto dalam keputusannya tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) tahun 1997, bahwa
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan,[17]

maka proses pembelajaran di PTAI harus dapat menjamin terwujudnya manusia yang bukan saja memiliki kepandaian dan keterampilan akademik, tetapi juga manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri.
Berkepribadian yang tangguh dan mandiri merupukan tujuan yang sangat ideal dari sebuah proses pembelajaran. Tujuan yang ideal itu tidak mudah terwujud jika seorang mahasiswa tidak memiliki idealisme untuk menjadi dirinya sendiri (being fully one’s self) secara utuh. Karena itulah perlu disadari bahwa pada hakekatnya program studi atau jurusan dengan segala disiplin ilmu yang disajikannya untuk mahasiswa hanya wahana untuk menjalani sebuah proses pembelajaran. Pada jurusan apa pun, jika orang benar-benar menghayati pembelajaran sebagai proses untuk menjadi, maka tidak sulit bagi orang tersebut untuk meraih sukes dalam hidupnya. Persoalannya ialah bahwa pada era di mana kecenderungan pragmatisme semakin menguat dewasa ini maka semakin sulit menumbuhkan idealisme pada generasi muda. Apalagi jika keseharian mereka telah dikepung oleh budaya konsumerisme yang telah menjurus pada gaya hidup hedonistis dalam berperilaku, tanpa menyadari jati diri mereka yang sebenarnya.
Pengembangan prodi langka peminat yang tengah menjadi garapan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama, tampak akan sulit mencapai hasil yang diharapkan jika hanya ditangani secara ad hoc dan tidak berkelanjutan. Mengaca pada al-Azhar dan perguruan tingg lain di Timur Tengah maka idealnya pengelolaan program studi langka peminat yang menangani ilmu-ilmu keislaman tradisional ini seharusnya ditopang oleh pemberian beasiswa yang cukup bagi para mahasiswa. Memang terasa mahal biaya yang harus disiapkan. Tetapi perlu diingat bahwa negara dengan jumlah umat Islam yang mayoritas ditambah adanya sejumlah organisasi massa keagamaan yang beraneka ragam ini mestinya, secara kalkulatif kasar, mampu mengumpulkan harta wakaf untuk membiayai pengembangan ilmu-ilmu keislaman tradisional di PTAIN-nya. Apalagi dengan adanya Dana Abadi Umat di bawah Kementerian Agama yang mestinya dapat dikelola menjadi sumber pendanaan bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman tradisional, seperti yang berlaku di al-Azhar. Salah satu tujuan adanya Dana Abadi Umat adalah untuk membantu keperluan umat, termasuk untuk membiayai pendidikan dan dakwah, di samping untuk pnyelenggaraan ibadah haji itu sendiri.[18] Jika dana itu dapat dikelola dengan baik, dan diarahkan untuk membiayai pengembangan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, barangkali kita tidak akan menghadapi kesulitan seperti sekarang ini. Dengan cara seperti ini pula dapat diharapkan kecenderungan “disorientasi” yang menjadi pokok permasalahan dalam diskusi ini sedikit banyak dapat diatasi.




[1] Jonathan Berkey, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1992), p. 95.
[2] Bandingkan dengan kenyataan yang terungkap dari hasil penelitian tentang peran yang dimainkan oleh IAIN dalam menyemaikan dan menebarkan wacana baru keislaman di Indonesia, oleh tim peneliti dari IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayautllah, Jakarta. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa pendirian IAIN, khususnya IAIN Jakarta, terkait erat dengan kepentingan pemerintah untuk mencetak pegawai yang memiliki ketrampilan dalam pelayanan keagamaan. Lihat, Fuad Jabali dan Jamhari (eds.), IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002), h. 61.
[3] Jeje Abd. Rozaq, “Mesiasati Ruang Kosong Kompetisi PTAI dalam Rumah Indonesia.” Makalah dipresentasikan dalam The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), di Surakarta, 2-5 November 2009.
[4] Tentang perubahan status dimaksud, lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997, tanggal 21 Maret 1997, tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Salah satu konsideran yang menjadi dasar pertimbangan ialah bahwa “untuk meingkatkan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN dipandang perlu melakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar IAIN induk.” Selanjutnya ditegaskan pula bahwa STAIN berada di lingkungan Departemen (sekarang Kementerian) Agama, dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Agama. Jika dulu sebagai fakultas daerah harus tunduk pada kebijakan Rektor IAIN dengan kewenangan yang amat terbatas, maka dengan Keputusan Presiden tersebut STAIN memiliki keleluasaan dan kewenangan yang lebih luas untuk mengembangkan diri dengan membuka jurusan atau program studi yang baru. Dalam Keputusan Presiden ini tidak kurang dari 33 fakultas daerah yang lepas dari IAIN induk dan berubah menjadi STAIN.
[5] Tentang perubahan gelar akademik terbaru di lingkungan PTAI, lihat Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama.
[6] Harun Nasution adalah salah seorang tokoh pembaruan Islam yang paling berpengaruh di kalangan terpelajar Muslim di Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sosok intelektual Muslim yang liberal dan telah banyak menawarkan cara pandang yang rasional, terbuka dan ilmiah terhadap kajian keislaman, seperti yang ia tuangkan dalam berbagai karyanya yang banyak dikaji oleh para calon cendekiawan Muslim, khususnya di lingkungan PTAIN. Tentang Mukti Ali, tokoh ini sudah banyak dikenal sebagai salah seorang intelektual Muslim yang kritis dan berpengaruh di kalangan Muslim terpelajar di Jogjakarta, jauh sebelum ia diangkat menjadi Menteri Agama, tahun 1970-an. Di antara jasa-jasanya, dia dikenal sebagai tokoh yang berhasil mengembangkan studi agama-agama, sehingga ia lebih dikenal sebagai tokoh ilmu Perbandingan Agama di Indonesia yang paling awal. Kemunculan kedua tokoh terkemuka ini telah mengangkat pamor Fakultas Ushuluddin menjadi fakultas yang “bergengsi” baik di Jakarta maupun Jogjakarta. Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam, h. 143.
[7] Nurcholish Madjid (1939-2005), sebagaimana tertulis pada sampul jaket Ensiklopedi Norcholish Madjid (2006), dikenal sebagai cendekiawan yang gigih memperjuangkan gagasan pluralisme Islam dan sebagai perumus “wajah Islam Indonesia” yang empati dan inklusif melalui penyerasian tiga tema besar: keislaman, kemoderenan, dan keindonesiaan. Dengan keberanian moralnya yang nothing to lose, dia tampil dengan gagasan-gagasan yang segar dan membebaskan. Jika ia pernah dianggap sebagai sosok yang kontroversial, maka kontroversi, baginya, adalah suatu hukum alam yang tak mungkin dibelokkan. Kontroversi adalah bentuk kritis dari interaksi antar-manusia. Dia tidak ingin menjadi nothing, bukan demi popularitas, tetapi karena itulah tugas yang harus diembannya sebagai hamba Allah.
[8] Fuad Jabali dan Jamhari (eds.), IAIN dan ModernisasiIslam, h. 145, dikutip dari hasil wawancara dengan Nurcholish Madjid.
[9] Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri No. 037/U/1975 tentag Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, tanggal 24 Maret 1975 menyebutkan, antara lain, bahwa dalam rangka pencapaian tujuan nasional pada umumnya dan mencerdasakan kehidupan bangsa pada khususnya, serta memberi kesempatan yang sama kepada tiap-tiap warga negara Indonesia untuk memperoleh dan untuk mendapat pengajaran yang sama bagi tiap-tiap warga negara Indonesia perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah umum dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. SKB Tiga Menteri ini bertujuan agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang sederajat, sehingga ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat. Disebutkan pula bahwa pelajaran umum pada Madrasah Aliyah sama dengan standar pengetahuan umum pada Sekolah Menengah Atas. Penulis berterimakasih kepada Dr.Nur Ahid yang telah memberikan informasi yang lengkap tentang SKB Tiga Menteri tersebut sebagaimana termuat dalam lampiran bukunya Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009).
[10] Asumsi terakhir ini dapat dijjastifikasi, antara lain, dengan memperhatikan hasil ujian masuk STAIN Kediri selama beberapa tahun terakhir, di mana nilai ujian untuk Pengetahuan Agama Islam (dan kemampuan membaca al-Qur’an) rata-rata lebih bagus dari nilai mata ujian lainnya, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal terakhir ini tentu cukup menggembirakan, karena SLTA telah memberikan pendidikan agama dengan cukup baik, sehingga nuansa keislaman tampak cukup kuat mewarnai, paling tidak, “penampilan” para generasi muda ini ketika mereka melanjutkan studi di tingkat perguruan tinggi, termasuk di perguruan tinggi umum.  
[11] Jeje Abd. Rozaq, “Mensiasati Ruang Kosong,” mengutip dari Lampiran Keputusan Menteri Agama Nomor 506 Tahun 2003 tentang Pedoman Perumusan Visi dan Misi Satuan Organisasi /Kerja di Lingungan Departemen Agama.
[12] Ibid., mengutip dari Arif Furchan, Memetakan Persoalan Perguruan Tinggi Agama Islam: Visi, Misi dan Program Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI (Jakarta: Ditpertais, 2004), h. 4.
[13] Materi dipresentasikan dalam rangka sosialisasi “Beasiswa Mahasiswa Program Studi Langka Peminat Tahun Anggaran 2009” oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, di Jakarta, tanggal 12 Agustus 2009. Program ini dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan/sarjana (S1) yang sekurang-kurangnya memiliki kualifikasi (
1).Penguasaan dasar-dasar ilmu keislaman secara baik (2).Terampil berkomunikasi minimal dengan bahasa Arab dan Inggris, baik secara lisan dan tulisan, dan (3).Hafal al-Qur’an


[14] Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) adalah madrasah yang memenuhi delapan komponen Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan memiliki keunggulan dalam bidang pelayanan dan menghasilkan lulusan yang diakui secara internasional. Sistim pendidikannya yang terpadu dengan sistim pendidikan pesantren diharapkan dapat menjadi pusat keunggulan pendidikan Islam di masa mendatang. Proyek ini memiliki tujuan yang cukup ambisius, menghasilkan lulusan madrasah yang melebihi standar nasional, atau lulusan bertaraf internasional. Lihat brosur Program Rintisan MBI (Madrasah Bertaraf Internasional), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Madrasah, Subdit Kelembagaan dan Kerjasama. Penulis berterima kasih kepada Dr. Nur Ahid atas bantuannya untuk memberikan fotokopi dari brosur ini.
[15] Pengamatan penulis ini dibenarkan oleh Qomaruz Zaman, Lc. M.Pd.I., dosen STAIN Kediri dan alumni Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Cairo, dalam wawancara tanggal 8 April 2010.
[16] Penulis cukup terkesan dengan dinamika intelektual kawan-kawan di Cairo selama melakukan kunjungan ke kota itu. Penulsi juga memperoleh kesempatan untuk menghadiri berbagai forum diskusi yang mereka adakan dan diundang sebagai pembicara. Pemikiran kritis dari para tokoh intelektual kontemporer sudah banyak menjadi acuan mereka dalam berbagai kesempatas diskusi tersebut. Untuk karya Foucault, lihat The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language (New York: Pantheon Books, 1972).
[17] Lihat, “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 1997 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,” tanggal 21 Maret 1997.
[18] Dana Abadi Umat, seperti dijelaskan dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, adalah dana yang dikumpulkan oleh pemerintah Indonesia dan diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini pengumpulan dana ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001. Dana Abadi Umat berfungsi, antara lain untuk membantu umat Islam dalam bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, di samping untuk penyelenggaraan ibadah haji. Selanjutnya, mekanisme pengelolaan Dana Abadi Umat ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2008 tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat, tanggal 26 Januari 2008. Adanya Dana Abadi Umat ini ternyata memberi inspirasi pada Kementerian Pendidikan Nasional untuk menggagas adanya Dana Abadi Pendidikan. Dengan dibatalkannya Undang-ndang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi, Kementerian Pendidikan harus memikirkan bagaimana aspek sosial pendidikan tdak dabaikan., sehingga pendidikan tidak dikelola layaknya sebuah korporasi. “Rencana [membentuk Dana Abadi Pendidikan] ini  langkah konkret mengatasi masyarakat miskin bersekolah—salah satu masalah berkaitan perlunya kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat.” Lihat “Tata Ulang Pendidikan Nasional,” Kompas, 10 April 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar