Frustrasi Moral
Oleh Fauzan Saleh
“Frustrasi Moral!” Ungkapan ini pernah dilontarkan oleh seorang etikawan Barat yang telah lama bermukim di Indonesia, Dr. Kees Bertens (Kompas, 3 Maret 2007). Ungkapan itu sendiri memiliki banyak makna. Namun secara umum ia menggambarkan kondisi masyarakat yang sudah begitu skeptis terhadap tatatan moral dan ketentuan-ketantuan etis yang seharusnya diikuti oleh masyarakat tetapi banyak diabaikan. Orang merasa frustrasi karena dia tahu banyak sekali pelanggaran norma-norma moral tetapi tidak pernah ada tindakan yang dapat mencegahnya. Hukum juga tidak kuasa memberikan sangsi yang dapat membuat jera pelaku tindak kejahatan. Akhirnya orang pun berkesimpulan bahwa pelanggaran hukum—juga norma-norma moral—tidak perlu dikenai sangsi. Pelanggaran aturan lalu lintas menjadi biasa, sekalipun ada petugas polisi yang berjaga. Untuk apa mentaati aturan jika kepentingan diri sendiri terhambat. Orang yang patuh pada aturan justru merugi, dihambat oleh ketentuan birokrasi yang lamban. Carilah jalan pintas, menelikung, menyuap petugas, maka kepentingan Anda akan segera terpenuhi. Rugi uang sedikit tak apa, asal urusan cepat selesai.
Jika orang lain dapat berbuat seperti itu, mengapa kita tidak? Inilah gambaran riil dari frustrasi moral tersebut. Seolah-olah tidak ada gunanya lagi orang memerhatikan aturan hukum atau ketentuan-ketentuan umum dalam tatakrama dan sopan santun. Kembalilah manusia pada zaman Yunani kuno, ketika kaum Shophist (abad ke-5 S. M.) mengajarkan bahwa kebenaran itu relatif dan setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Salah seorang tokoh utama kelompok ini, Protagoras (485-415 S.M.), menyatakan bahwa setiap orang adalah ukuran bagi segala sesuatu. Oleh karena itu tidak ada ketentuan baik-buruk secara universal. Masing-masing individu berhak untuk menyatakan dan melakukan tindakan sesuai dengan jalan fikiran, keinginan dan hasrat pribadinya. Yang baik bagi orang lain belum tentu baik untuk diri kita. Kebenaran adalah subyektif, kebaikan adalah apa yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing manusia.
Dapat dibayangkan seperti apa jadinya jika manusia harus kembali ke masa-masa seperti itu lagi. Jawabannya mudah ditebak: anarki!. Tidak ada otoritas atas nama apa pun yang diakui oleh orang lain, kecuali yang memenuhi kepentingan subyektif seseorang. Maka yang terjadi berikutnya ialah setiap manusia adalah ancaman bagi manusia lainnya, homo homini, lupus. Yang kuatlah yang menang, sehingga muncul dan berlakulah teori Darwinisme sosial. Mereka yang lemah dan tak berdaya sebaiknya menyingkir dari percaturan dunia. Biarkan dunia dimiliki oleh mereka yang kuat menghalau setiap ancaman. Yang lemah akan musnah. Tidak ada belas kasihan, apalagi kasih sayang, tolong-menolong. Semua istilah itu hanya berlaku bagi orang-orang naif, bodoh dan lemah yang tak bisa berbuat apa-apa, sekalipun untuk membela diri sendiri. Apakah sudah sekejam itu kehidupan yang berlaku dalam masyarakat kita? Tentu banyak orang tidak setuju.
Beberapa waktu yang lalu (30 Juli 2010) publik sempat digegerkan oleh tindakan nekat seorang artis dan tokoh perfilman senior, Pong Hardjatmo. Tanpa diketahui oleh pihak keamanan gedung DPR-MPR di Senayan, dia dengan leluasanya memanjat gedung dan menaiki kubah kura-kura, atap gedung wakil rakyat itu. Di sana, seperti banyak dimuat di media massa, dia mencoretkan tulisan yang dengan jelas terbaca: “Jujur, Adil, Tegas.” Banyak pesan yang dapat ditangkap, bukan saja dari makna coretan yang ia bubuhkan, tetapi juga dari tindakan sang artis itu sendiri. Orang pun beramai-ramai memberikan komentar, memaknai tindakan nekat itu. Seorang pimpinan Dewan yang terhormat menuduhnya sekedar cari popularitas atau perhatian. Tetapi ada juga unsur pimpinan Dewan lain yang memberikan komentar simpatik dan bersedia menerimanya sebagai bahan koreksi diri.
Tindakan Pong Hardjatmo telah menandai betapa rakyat telah jengah dan frustrasi dengan segala kepura-puraan dan basa-basi. Persis seperti yang diungkap oleh Pong sendiri begitu “ditangkap” oleh pihak keamanan: “Sekarang bicara sudah enggak didengerin, menulis juga enggak dipeduliin. Makanya saya bertindak saja.” Kesalahan yang selalu ditutup-tutupi tidak lagi bisa didiamkan berlama-lama. Ini adalah alam demokrasi, alam kebebasan menyatakan pendapat (dan berserikat). Ketika anggota DPR yang terhormat disorot karena tingkat kemalasan dan bolosnya yang tinggi sehingga berakibat pada rendahnya produktifitas legislasi yang jadi tugasnya, maka beramai-ramai mereka membela diri dengan segala alasan yang justru menandai kekerdilan mereka. Mereka seperti tidak perlu dipersalahkan dengan segala kelakuan seperti itu. Orang dipaksa memaklumi bahwa tugas anggota Dewan amat banyak, termasuk tugas-tugas yang diberikan oleh partai. Oleh karena itu biarkan saja ketika mereka membolos, malas, dan tidur saat mengikuti rapat. Juga biarkan saja jika wartawan mau menyorot mereka dengan kamera televisi saat tertidur di ruang rapat. Hal itu tak berarti mereka perlu merubah perilaku atau memperbaiki penampilan. Tetapi perasaan kecewa rakyat tidak bisa disimpan-simpan. Rakyat sudah merasa frustrasi atas kinerja mereka yang telah digaji oleh negara ratusan juta rupiah pertahunnnya, tetapi selalu membela diri atas semua bentuk kritik dari rakyat yang diwakilinya. Ini hanya memperparah frustrasi moral.
Artikel Fsaleh2010
Minggu, 15 Agustus 2010
Sabtu, 14 Agustus 2010
Islamic Higher Education in Indonesia
Whither the State Islamic Higher Education in Indonesia?
Maintaining Neutrality toward Sectarianism in Academic Life
By Fauzan Saleh
Paper Presented for the International Conference on
“The Ideal of an Indonesian Islamic University:
Contemporary Perspectives”
Administered by
CIDA, UIN Jogjakarta and UIN Jakarta
Jogjakarta
December 9 – 11, 2004
Whither the State Islamic Higher Education in Indonesia?
Maintaining Neutrality toward Sectarianism in Academic Life
By Fauzan Saleh*)
Abstract
The State Islamic Higher Education in Indonesia (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, PTAIN) has played an instrumental role in elevating young Muslims to the higher degree of social life. However, this educational institution administered by the Ministry of Religious Affairs, always encounters a serious problem concerning its mission and aims. Since its early foundation, this nation-wide educational system has explicitly declared that this institution has two-pronged aims: propagating Islam and maintaining academic objectivity. In many cases, these two goals may contradict each other. In reality, it is almost impossible for Muslims to relinquish their commitment to their belief, while they have also to keep their objective stance in their academic accomplishment. It seems true that such a problem has made a further consequence for some more practical matters. There have been prevailing rivalries in gaining structural positions in the campus bureaucracy among the Muslim groups. In general, the academic life in Indonesia could not successfully free itself from the sectarian (or political) groups flourishing outside the campus The tensions resulted from this matter have ignored the fundamental character of the academic life, and, to some extent, jeopardized the sense of rationality and objectivity. Staff members are then attracted only to seize the strategic positions in the campus bureaucracy. If the stakeholders of the State Islamic Higher Education in Indonesia could not overcome this problem quickly, it would be hard for Muslims to achieve an ideal form of educational system. This article tries to examine how this tendency toward sectarianism is still clearly manifested in the campus life, and to which extent it influences the academic achievement so far. Ideally, as a public institution funded and administered by the State, this Islamic higher education system should maintain its neutrality toward any sectarian group or interest.
During the last few years before the end of the last century, we witnessed that Indonesian students at the university levels are more and more attracted to be involved in political activities, including those in the State Islamic Higher Education (UIN, IAIN and STAIN) throughout the country. Their interest in politics found its venue especially when Suharto was overthrown and forced to resign from his presidency. This era was celebrated as the end of the New Order era, in which people found their euphoria to free themselves from any restraint to express their political aspirations. Young people were challenged to express their political concerns by taking parts in huge demonstrations taking place several days in the Parliament Building and other strategic corners of the town. Students then occupied the building until they successfully forced the President to step down, and submitted his authority to the new leader. This euphoria resulted from the so-called “Reformasi” has invigorated the students’ sense of politics after being curtailed for many years since the flourishing of the New Order regime in the mid-1970s.
However, since this political openness took place too drastically and suddenly, many people were unprepared, and thus they had to make new allies and associate themselves with those belonging to the same ideals or beliefs. They felt they were secured only when they were in the midst of those who belonged to the same ideals or beliefs. Discrepancy was viewed as a danger and was suspected as a threat. The tendency was considered to be the foundation of the emergence of “sectarianism” in general political life, which, in turn, also gave a great influence to the academic circumstances in the university campuses, including the ones belonging to the Islamic Higher Education Institutions.
The phenomenon of the reemergence of sectarianism was an inevitable consequence of the establishment of multifarious political parties, during the early era of Reformasi with its euphoric manifestations. In congruence with this phenomenon, in addition to the crisis of reliance directed to the state administration, political sectarianism also passed through campus life. This is because there has been a freedom of expressing one’s political aspirations, while the state had no much to do, due to the faults made by the previous oppressive regime. When a tendency toward sectarianism was very common in the university campuses, what one may hope when students and their lecturers were more attracted to deal with political issues than with their primary duties of accomplishing their intellectual achievement? It has been the knowledge of everybody that the university campuses bear a great responsibility of producing professional scholars capable of overcoming the multi-dimensional crisis endured by the nation in general.
Recently, the influence of political sectarianism has been significantly felt in the university campuses, including those of the Islamic Higher Education. Moreover, this inclination has been also felt as a “parasite” that endangers the main duty of the higher educational institutions. Ideally, as an academic institution, the university and the educational institutions in general, should be free of the interference of the political interests from without. The university campus is basically an institution where young people are trained to examine all subject matters rationally and objectively, and thus it should eliminate all political and sectarian interests. It should facilitate a space where the ideals of cultivating young educated people having highly venerable characters may be easily achieved. Yet, it is not easy to accomplish that duty. It requires a strong intellectual commitment, honesty, independent thought, and hard work to realize those ideals by those in charge in the campus life. This commitment should be a social capital to intensify the realization of such an ideal.
The current emergence of the sectarian politics is inevitable. It has a strong foundation in the social history of our nation. This sectarian politics got its validity when the political interests were established on the basis of primordial discrepancies or ideologies, originating from religious as well as non-religious beliefs, such as socialism and nationalism. However, it is still possible to come from ethnic or locality sentiments. In real political contexts, these discrepancies would overlap. In this country, the political currents will be in rivalry between Islam, secular-nationalists, and socialists-democrat. These variables are represented by religious groups, such as the Muhammadiyah, NU, ICMI, and (in the past) Masyumi, PNI, and still many others. Thus, the discrepancy originating from the past political ideologies might reemerge in the present time, manifesting all tendencies of political sectarism.
Though it is very common to see that the political issues influence other aspect of non-political domains, in reality, when they penetrate into the academic life of the university campuses, they cause very crucial consequences. In the classical era of Islamic history, we may refer to the establishment of the Nizamiyah madrasah by the great and wise vizier Nizam al-Mulk (d. 1092). The madrasah was founded to defend the Sunni theological doctrines against the Shi’ite beliefs which had been widely propagated in the society. In such a case, there were many restrictions in the fields of science taught in this institution. As a bastion for defending the orthodox beliefs, this madrasah only taught the Sunnite doctrinal beliefs. Likewise, there was a very strict preference in deciding any teaching staff. Only those assured to be thoroughly Sunnites were accepted as lecturers at the institution. Accordingly, not every textbook was allowed to be distributed or studied. Students were entirely directed to study the Sunnite beliefs, and were not allowed to study any other beliefs or other branch of knowledge beyond the ones determined by the authority. In other words, there was no freedom of thought in this madrasah institution, since it was established for the interests of propagating and defending the Sunnites beliefs against the existing Shi’ite doctrines.
In the present time, however, such a tendency gets its way to penetrate into any field of social activity, including the campus life. The student organization in the campuses has experienced a lot of changes since the last five or more years. The students did not like to take a term usually made in the previous era to identify their structural organization. They prefer to use particular terms having some more political sense, such as the “president,” instead of merely the chairman, of the Student Government. This student government now takes a new name, the Student Republic (Republik Mahasiswa). As the president of the student republic, he has the authority to govern over the Executive Body of the Students (Badan Eksekutif Mahasiswa, BEM). Interestingly, this intra-campus student government is hardly capable of staying away from the influence of the extra-campus student organizations, which have strong affiliation with the nation-wide political or ideological currents. It is understandable, therefore, that it is almost impossible to eliminate the influence of those extra-campus students’ organizations as well as of those ideological currents.
Nevertheless, it is still advantageous for the students to experience such a fundamental change in the contemporary political movements. The students are accordingly made more mindful of the political issues, and are effectively trained to get involved more seriously in the political progression, though with some inevitable risks. It is very common that in politics one will be allowed to take advantage from every given authority to win rivalries by inviting young and ardent students who are perceived as potential human sources to support the interests of the elite politicians. Inevitably, the political movement will greatly attract the students’ alertness in the Islamic Higher Education. There has been a systematic and organized effort to mobilize those young students in order to support the authority of particular leaders or to oppose the ones who are to be refused.
The involvement of students in political sectarianism has clearly caused much distortion to the neutrality and impartiality of these educational institutions. It is frequently witnessed that the rivalries among figures in taking the strategic positions in the campus bureaucracy, such as rector, dean, or the head of departments, are mostly based on the sectarian and political considerations rather than on objective and rational choice. In many cases students are invited to get involved in giving support to either party in order to win the rivalries. They are seen as potential and powerful forces through their rallies required to realizing the political ambitions of those figures. Of course, if the sense of objectivity and impartiality disappear from the campus life, it will endanger the realization of the fundamental goal of universal learning activities. Especially in the Islamic Higher Education, such impartiality is absolutely required, since, otherwise, there will be no chance to embedding the sense of inclusive, moderate and tolerant religiosity.
But, what actually attracts the students of the Islamic Higher Education in particular to be more engaged in political movements? Indonesian university campuses were made barren of political involvement for many years during the New Order era under the Suharto administration. This was due to the implementation of the state policy called “Normalization of the Campus Life” (Normalisasi Kehidupan Kampus, NKK) during the 1980s, in which students were prohibited to take parts in designing political decisions of the nation. They were only allowed to make exalted achievements in academic matters, to be good students having high grades for their courses. Their involvement in designing the nation’s political matters was seen as only disturbing the authority of the state holders. When the New Order regime was finally overthrown, the chance for political activities was widely open. The characterization of the university campus as an “ivory tower” was then demolished, after it had been an effective pretext employed by the ruler to seclude the students from their awareness of the actual problems encountered by their nation. In the past, under the New Order administration, the campus was merely designed for an academic community, in which no political activity was allowed, including rally and demonstration. Now, it seems impossible to see any university campus which is totally free from students’ demonstration. There is a strong impression that the students would lose their momentum of their youth psychological maturation if they did not get involved in political rallies. Or, as students, they would feel less confident if they did not experience some violence caused by the police while undertaking the rallies in the roadway. They claim that the real political training is the one experienced on the streets, and the courses they get in the classrooms are only accumulation of obsolete theories which have no relevancy with the actual life.
The students are very much bothered with a question of what is actually wrong with their country. With such a question in their mind, they would not like to postpone their involvement in the political movements by taking parts in deciding the objective and the future of their nation. Therefore, it is not surprising to see that political movements are always magnetizing for these young students to get involved more closely. On the other hand, in spite of their idealism and zeal to bring about the social and political changes, their involvement in political movement is actually meant to be an “economic enterprise.” Honestly, they are anticipating some particular possibilities to seize the chance of winning the future livelihood through their on road political training. In addition, through this political involvement too that they hope to be economically elevated, by gaining some better position in the social life. In many developing countries like Indonesia, in which the rate of educated unemployment is still very high, political vocation becomes greatly promising. In the past, political recruitment during the early ascent of the New Order rule, was mostly based on the phenomenon of the road rallies. It was on the road political activities, and not on a piece of diploma, that the process of leadership recruitment was actually undertaken. Many of the current political leaders originally came from this model of political recruitment process. It is reasonable, therefore, that today we witness many of the contemporary students are very much engaged in recurring the previous experience made by their senior activists.
By referring to the above exposition, we may assume that the university campuses may become only stepping-stones for young people to achieve a formal status as students. This status as a university student, they believe, has served as an effective medium for winning the access to some more promising position in the future. In the meantime they also realize that the sciences they have studied for very long time in the campus are not always suitable for their livelihood or may meet their career requirement. For them, both the education and work market do not necessarily have real applicability; they always go on different tracks. Many graduates of the law faculty, for instance, have to be contented to become language teachers in senior high schools, rather than to be professional lawyers. Scholars’ booming which has been under way since the last 1980s, besides very benefiting, also becomes a problem in itself. It was not always easy to get a suitable job in accordance with their academic achievement. Accordingly, it is not surprising to see many of them have to continue their study to the graduate levels, not because of their eagerness to increase their academic accomplishment, but merely because they have to spend their spare time waiting for an appropriate job. Becoming on road political activists, these young students are actually making a bargaining process, by virtue of which they strive to gain one of potential economic resources. Political movement was seen as the most possible chance to ensure the security their future livelihood.
It was from this perspective that we should consider why many of the students at the Islamic Higher Education strive to make their future in the political activities. They are deeply aware that religious sciences give only very limited chance for their future livelihood. On the other hand, the current social structure is felt as particularly unfair for the devout Muslims as well as for the graduates of the Islamic Higher Education. If they want to apply to be civil servants, for instance, among some thirty-two departments of the state bureaucracy, the most possible chance for them is only the one provided by the Department of Religious Affairs. This is unlike for those who graduate from non-religious universities, whose chance to be accepted as civil servants is more widely open, in addition to have practical knowledge and skills based on their academic training. Since the chance to be accepted as civil servants or to win work market rivalry is considerably very limited in the field of religion, many of Muslim leaders do not encourage their children to continue their higher education in Islamic educational institutions. It is not surprising, therefore, that very few lecturers and civil servants working in UIN, IAIN and STAIN are sincerely fond of having their children enroll in the educational institutions they acquire their academic career. They will be more contented if their children are registered as students in general, non-religious universities. In this respect, it is fairly questionable when some Muslim leaders in particular regions in this country demand to apply the Islamic legal system (shari’ah) thoroughly. Economically, the application of Islamic legal system may help sustain the high position of devout Muslims in the new social structure, in addition to their sincere fidelity to Islamic precepts.
Based on the above consideration, it can be understood why many young Muslim students in Islamic universities look very impassioned to advance their future career in political movements rather than in religious matters. Working for politics is more promising and is more widely open, disregarding their basic educational background. Their eagerness to establish their future on politics has been assured by their awareness that many devout Muslims today, including those with the traditional Islamic educational background, become more and more prominent in the national political discourse. They successfully occupy some high ranks of the state political structure. Yet, their career in politics would not be easily achieved without joining some particular training. Many of those devout Muslim politicians were originally zealot activists in their university campus. This fact has been an effective justification for young Muslims to be more actively involved in political movements since the early years of their study. Their involvement in political activities, in addition to their eagerness to develop their academic and intellectual aptitudes, has been a fruitful channel to pursue the high rank of political achievements. It is in this respect that we should understand why many of young Muslim students are eagerly taking parts in political movements, though only by joining some rallies or voicing some particular concerns, as well as influencing the public opinion.
Political activities, besides promising, also have some incontestable merit for the university students. However, as has been previously explained, interpolating political activities in the campus life and entangling students in political enterprise may cause some dreadful risks. It should be reconsidered, therefore, how to put these two sides of political issues in a proportional deliberation. Students and young activists should not be allowed to be sightless of politics, or ignorant of political changes that always take place dynamically in their country. Nevertheless, to some extent, the university campuses should maintain their impartiality from political activities. This should be firmly declared, since it would be of great harm to bring the university campus to particular political sectarianism. The university campuses, with their human resources of young and ardent students, would be merely an extension of political interests of dominant groups from without. In this regard the campus would not be capable of maintaining its fundamental mission as the bastion for developing intellectual aptitude, with its objective, independent and rational characters. But is it possible to isolate the university campuses from political interests? It should be. At least, there is a possible chance if everybody in charge of the campus administration maintains his or her commitment to the ultimate mission of the Islamic Higher Education.
There are several steps that can be earnestly considered to realize this ideal image of Islamic Higher Education vis-a-vis the political dilemma. The first is that the campus should maintain its impartiality, liberty, and objectivity, without any threat from the prevailing political restrictions, in developing the academic accomplishment. The second is that all the campus stakeholders should realize that their ultimate responsibility deals mainly with the advancement of knowledge through the intensive learning and teaching activities. It means that the university should be a center of learning and intellectual enterprises, having a high responsibility of cultivating the sense of criticism and enlightenment for young people, both for intellectual and spiritual domains. Finally, it should be recognized that it is mostly impossible to isolate the campus from the tendency toward political sectarianism. Nevertheless, if the campus stakeholders would like to get involved in politics, their most possible chance can be securely found in the domain of discourse. In other words, the academic people are only allowed to be engaged in “high politics,” and not in political sectarianism. If they could fairly maintain such a commitment, all the public affairs dealing with the campus policy, including the campus leadership succession, could be undertaken in sound and fair fashions, without sacrificing its fundamental objectives.
Maintaining Neutrality toward Sectarianism in Academic Life
By Fauzan Saleh
Paper Presented for the International Conference on
“The Ideal of an Indonesian Islamic University:
Contemporary Perspectives”
Administered by
CIDA, UIN Jogjakarta and UIN Jakarta
Jogjakarta
December 9 – 11, 2004
Whither the State Islamic Higher Education in Indonesia?
Maintaining Neutrality toward Sectarianism in Academic Life
By Fauzan Saleh*)
Abstract
The State Islamic Higher Education in Indonesia (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, PTAIN) has played an instrumental role in elevating young Muslims to the higher degree of social life. However, this educational institution administered by the Ministry of Religious Affairs, always encounters a serious problem concerning its mission and aims. Since its early foundation, this nation-wide educational system has explicitly declared that this institution has two-pronged aims: propagating Islam and maintaining academic objectivity. In many cases, these two goals may contradict each other. In reality, it is almost impossible for Muslims to relinquish their commitment to their belief, while they have also to keep their objective stance in their academic accomplishment. It seems true that such a problem has made a further consequence for some more practical matters. There have been prevailing rivalries in gaining structural positions in the campus bureaucracy among the Muslim groups. In general, the academic life in Indonesia could not successfully free itself from the sectarian (or political) groups flourishing outside the campus The tensions resulted from this matter have ignored the fundamental character of the academic life, and, to some extent, jeopardized the sense of rationality and objectivity. Staff members are then attracted only to seize the strategic positions in the campus bureaucracy. If the stakeholders of the State Islamic Higher Education in Indonesia could not overcome this problem quickly, it would be hard for Muslims to achieve an ideal form of educational system. This article tries to examine how this tendency toward sectarianism is still clearly manifested in the campus life, and to which extent it influences the academic achievement so far. Ideally, as a public institution funded and administered by the State, this Islamic higher education system should maintain its neutrality toward any sectarian group or interest.
During the last few years before the end of the last century, we witnessed that Indonesian students at the university levels are more and more attracted to be involved in political activities, including those in the State Islamic Higher Education (UIN, IAIN and STAIN) throughout the country. Their interest in politics found its venue especially when Suharto was overthrown and forced to resign from his presidency. This era was celebrated as the end of the New Order era, in which people found their euphoria to free themselves from any restraint to express their political aspirations. Young people were challenged to express their political concerns by taking parts in huge demonstrations taking place several days in the Parliament Building and other strategic corners of the town. Students then occupied the building until they successfully forced the President to step down, and submitted his authority to the new leader. This euphoria resulted from the so-called “Reformasi” has invigorated the students’ sense of politics after being curtailed for many years since the flourishing of the New Order regime in the mid-1970s.
However, since this political openness took place too drastically and suddenly, many people were unprepared, and thus they had to make new allies and associate themselves with those belonging to the same ideals or beliefs. They felt they were secured only when they were in the midst of those who belonged to the same ideals or beliefs. Discrepancy was viewed as a danger and was suspected as a threat. The tendency was considered to be the foundation of the emergence of “sectarianism” in general political life, which, in turn, also gave a great influence to the academic circumstances in the university campuses, including the ones belonging to the Islamic Higher Education Institutions.
The phenomenon of the reemergence of sectarianism was an inevitable consequence of the establishment of multifarious political parties, during the early era of Reformasi with its euphoric manifestations. In congruence with this phenomenon, in addition to the crisis of reliance directed to the state administration, political sectarianism also passed through campus life. This is because there has been a freedom of expressing one’s political aspirations, while the state had no much to do, due to the faults made by the previous oppressive regime. When a tendency toward sectarianism was very common in the university campuses, what one may hope when students and their lecturers were more attracted to deal with political issues than with their primary duties of accomplishing their intellectual achievement? It has been the knowledge of everybody that the university campuses bear a great responsibility of producing professional scholars capable of overcoming the multi-dimensional crisis endured by the nation in general.
Recently, the influence of political sectarianism has been significantly felt in the university campuses, including those of the Islamic Higher Education. Moreover, this inclination has been also felt as a “parasite” that endangers the main duty of the higher educational institutions. Ideally, as an academic institution, the university and the educational institutions in general, should be free of the interference of the political interests from without. The university campus is basically an institution where young people are trained to examine all subject matters rationally and objectively, and thus it should eliminate all political and sectarian interests. It should facilitate a space where the ideals of cultivating young educated people having highly venerable characters may be easily achieved. Yet, it is not easy to accomplish that duty. It requires a strong intellectual commitment, honesty, independent thought, and hard work to realize those ideals by those in charge in the campus life. This commitment should be a social capital to intensify the realization of such an ideal.
The current emergence of the sectarian politics is inevitable. It has a strong foundation in the social history of our nation. This sectarian politics got its validity when the political interests were established on the basis of primordial discrepancies or ideologies, originating from religious as well as non-religious beliefs, such as socialism and nationalism. However, it is still possible to come from ethnic or locality sentiments. In real political contexts, these discrepancies would overlap. In this country, the political currents will be in rivalry between Islam, secular-nationalists, and socialists-democrat. These variables are represented by religious groups, such as the Muhammadiyah, NU, ICMI, and (in the past) Masyumi, PNI, and still many others. Thus, the discrepancy originating from the past political ideologies might reemerge in the present time, manifesting all tendencies of political sectarism.
Though it is very common to see that the political issues influence other aspect of non-political domains, in reality, when they penetrate into the academic life of the university campuses, they cause very crucial consequences. In the classical era of Islamic history, we may refer to the establishment of the Nizamiyah madrasah by the great and wise vizier Nizam al-Mulk (d. 1092). The madrasah was founded to defend the Sunni theological doctrines against the Shi’ite beliefs which had been widely propagated in the society. In such a case, there were many restrictions in the fields of science taught in this institution. As a bastion for defending the orthodox beliefs, this madrasah only taught the Sunnite doctrinal beliefs. Likewise, there was a very strict preference in deciding any teaching staff. Only those assured to be thoroughly Sunnites were accepted as lecturers at the institution. Accordingly, not every textbook was allowed to be distributed or studied. Students were entirely directed to study the Sunnite beliefs, and were not allowed to study any other beliefs or other branch of knowledge beyond the ones determined by the authority. In other words, there was no freedom of thought in this madrasah institution, since it was established for the interests of propagating and defending the Sunnites beliefs against the existing Shi’ite doctrines.
In the present time, however, such a tendency gets its way to penetrate into any field of social activity, including the campus life. The student organization in the campuses has experienced a lot of changes since the last five or more years. The students did not like to take a term usually made in the previous era to identify their structural organization. They prefer to use particular terms having some more political sense, such as the “president,” instead of merely the chairman, of the Student Government. This student government now takes a new name, the Student Republic (Republik Mahasiswa). As the president of the student republic, he has the authority to govern over the Executive Body of the Students (Badan Eksekutif Mahasiswa, BEM). Interestingly, this intra-campus student government is hardly capable of staying away from the influence of the extra-campus student organizations, which have strong affiliation with the nation-wide political or ideological currents. It is understandable, therefore, that it is almost impossible to eliminate the influence of those extra-campus students’ organizations as well as of those ideological currents.
Nevertheless, it is still advantageous for the students to experience such a fundamental change in the contemporary political movements. The students are accordingly made more mindful of the political issues, and are effectively trained to get involved more seriously in the political progression, though with some inevitable risks. It is very common that in politics one will be allowed to take advantage from every given authority to win rivalries by inviting young and ardent students who are perceived as potential human sources to support the interests of the elite politicians. Inevitably, the political movement will greatly attract the students’ alertness in the Islamic Higher Education. There has been a systematic and organized effort to mobilize those young students in order to support the authority of particular leaders or to oppose the ones who are to be refused.
The involvement of students in political sectarianism has clearly caused much distortion to the neutrality and impartiality of these educational institutions. It is frequently witnessed that the rivalries among figures in taking the strategic positions in the campus bureaucracy, such as rector, dean, or the head of departments, are mostly based on the sectarian and political considerations rather than on objective and rational choice. In many cases students are invited to get involved in giving support to either party in order to win the rivalries. They are seen as potential and powerful forces through their rallies required to realizing the political ambitions of those figures. Of course, if the sense of objectivity and impartiality disappear from the campus life, it will endanger the realization of the fundamental goal of universal learning activities. Especially in the Islamic Higher Education, such impartiality is absolutely required, since, otherwise, there will be no chance to embedding the sense of inclusive, moderate and tolerant religiosity.
But, what actually attracts the students of the Islamic Higher Education in particular to be more engaged in political movements? Indonesian university campuses were made barren of political involvement for many years during the New Order era under the Suharto administration. This was due to the implementation of the state policy called “Normalization of the Campus Life” (Normalisasi Kehidupan Kampus, NKK) during the 1980s, in which students were prohibited to take parts in designing political decisions of the nation. They were only allowed to make exalted achievements in academic matters, to be good students having high grades for their courses. Their involvement in designing the nation’s political matters was seen as only disturbing the authority of the state holders. When the New Order regime was finally overthrown, the chance for political activities was widely open. The characterization of the university campus as an “ivory tower” was then demolished, after it had been an effective pretext employed by the ruler to seclude the students from their awareness of the actual problems encountered by their nation. In the past, under the New Order administration, the campus was merely designed for an academic community, in which no political activity was allowed, including rally and demonstration. Now, it seems impossible to see any university campus which is totally free from students’ demonstration. There is a strong impression that the students would lose their momentum of their youth psychological maturation if they did not get involved in political rallies. Or, as students, they would feel less confident if they did not experience some violence caused by the police while undertaking the rallies in the roadway. They claim that the real political training is the one experienced on the streets, and the courses they get in the classrooms are only accumulation of obsolete theories which have no relevancy with the actual life.
The students are very much bothered with a question of what is actually wrong with their country. With such a question in their mind, they would not like to postpone their involvement in the political movements by taking parts in deciding the objective and the future of their nation. Therefore, it is not surprising to see that political movements are always magnetizing for these young students to get involved more closely. On the other hand, in spite of their idealism and zeal to bring about the social and political changes, their involvement in political movement is actually meant to be an “economic enterprise.” Honestly, they are anticipating some particular possibilities to seize the chance of winning the future livelihood through their on road political training. In addition, through this political involvement too that they hope to be economically elevated, by gaining some better position in the social life. In many developing countries like Indonesia, in which the rate of educated unemployment is still very high, political vocation becomes greatly promising. In the past, political recruitment during the early ascent of the New Order rule, was mostly based on the phenomenon of the road rallies. It was on the road political activities, and not on a piece of diploma, that the process of leadership recruitment was actually undertaken. Many of the current political leaders originally came from this model of political recruitment process. It is reasonable, therefore, that today we witness many of the contemporary students are very much engaged in recurring the previous experience made by their senior activists.
By referring to the above exposition, we may assume that the university campuses may become only stepping-stones for young people to achieve a formal status as students. This status as a university student, they believe, has served as an effective medium for winning the access to some more promising position in the future. In the meantime they also realize that the sciences they have studied for very long time in the campus are not always suitable for their livelihood or may meet their career requirement. For them, both the education and work market do not necessarily have real applicability; they always go on different tracks. Many graduates of the law faculty, for instance, have to be contented to become language teachers in senior high schools, rather than to be professional lawyers. Scholars’ booming which has been under way since the last 1980s, besides very benefiting, also becomes a problem in itself. It was not always easy to get a suitable job in accordance with their academic achievement. Accordingly, it is not surprising to see many of them have to continue their study to the graduate levels, not because of their eagerness to increase their academic accomplishment, but merely because they have to spend their spare time waiting for an appropriate job. Becoming on road political activists, these young students are actually making a bargaining process, by virtue of which they strive to gain one of potential economic resources. Political movement was seen as the most possible chance to ensure the security their future livelihood.
It was from this perspective that we should consider why many of the students at the Islamic Higher Education strive to make their future in the political activities. They are deeply aware that religious sciences give only very limited chance for their future livelihood. On the other hand, the current social structure is felt as particularly unfair for the devout Muslims as well as for the graduates of the Islamic Higher Education. If they want to apply to be civil servants, for instance, among some thirty-two departments of the state bureaucracy, the most possible chance for them is only the one provided by the Department of Religious Affairs. This is unlike for those who graduate from non-religious universities, whose chance to be accepted as civil servants is more widely open, in addition to have practical knowledge and skills based on their academic training. Since the chance to be accepted as civil servants or to win work market rivalry is considerably very limited in the field of religion, many of Muslim leaders do not encourage their children to continue their higher education in Islamic educational institutions. It is not surprising, therefore, that very few lecturers and civil servants working in UIN, IAIN and STAIN are sincerely fond of having their children enroll in the educational institutions they acquire their academic career. They will be more contented if their children are registered as students in general, non-religious universities. In this respect, it is fairly questionable when some Muslim leaders in particular regions in this country demand to apply the Islamic legal system (shari’ah) thoroughly. Economically, the application of Islamic legal system may help sustain the high position of devout Muslims in the new social structure, in addition to their sincere fidelity to Islamic precepts.
Based on the above consideration, it can be understood why many young Muslim students in Islamic universities look very impassioned to advance their future career in political movements rather than in religious matters. Working for politics is more promising and is more widely open, disregarding their basic educational background. Their eagerness to establish their future on politics has been assured by their awareness that many devout Muslims today, including those with the traditional Islamic educational background, become more and more prominent in the national political discourse. They successfully occupy some high ranks of the state political structure. Yet, their career in politics would not be easily achieved without joining some particular training. Many of those devout Muslim politicians were originally zealot activists in their university campus. This fact has been an effective justification for young Muslims to be more actively involved in political movements since the early years of their study. Their involvement in political activities, in addition to their eagerness to develop their academic and intellectual aptitudes, has been a fruitful channel to pursue the high rank of political achievements. It is in this respect that we should understand why many of young Muslim students are eagerly taking parts in political movements, though only by joining some rallies or voicing some particular concerns, as well as influencing the public opinion.
Political activities, besides promising, also have some incontestable merit for the university students. However, as has been previously explained, interpolating political activities in the campus life and entangling students in political enterprise may cause some dreadful risks. It should be reconsidered, therefore, how to put these two sides of political issues in a proportional deliberation. Students and young activists should not be allowed to be sightless of politics, or ignorant of political changes that always take place dynamically in their country. Nevertheless, to some extent, the university campuses should maintain their impartiality from political activities. This should be firmly declared, since it would be of great harm to bring the university campus to particular political sectarianism. The university campuses, with their human resources of young and ardent students, would be merely an extension of political interests of dominant groups from without. In this regard the campus would not be capable of maintaining its fundamental mission as the bastion for developing intellectual aptitude, with its objective, independent and rational characters. But is it possible to isolate the university campuses from political interests? It should be. At least, there is a possible chance if everybody in charge of the campus administration maintains his or her commitment to the ultimate mission of the Islamic Higher Education.
There are several steps that can be earnestly considered to realize this ideal image of Islamic Higher Education vis-a-vis the political dilemma. The first is that the campus should maintain its impartiality, liberty, and objectivity, without any threat from the prevailing political restrictions, in developing the academic accomplishment. The second is that all the campus stakeholders should realize that their ultimate responsibility deals mainly with the advancement of knowledge through the intensive learning and teaching activities. It means that the university should be a center of learning and intellectual enterprises, having a high responsibility of cultivating the sense of criticism and enlightenment for young people, both for intellectual and spiritual domains. Finally, it should be recognized that it is mostly impossible to isolate the campus from the tendency toward political sectarianism. Nevertheless, if the campus stakeholders would like to get involved in politics, their most possible chance can be securely found in the domain of discourse. In other words, the academic people are only allowed to be engaged in “high politics,” and not in political sectarianism. If they could fairly maintain such a commitment, all the public affairs dealing with the campus policy, including the campus leadership succession, could be undertaken in sound and fair fashions, without sacrificing its fundamental objectives.
Islam Kultural
Pendidikan dan Upaya Membangun “Tradisi Besar “:
Perkembangan Islam Kultural di Indonesia
Oleh Fauzan Saleh
Paper Dipresentasikan pada
The International Conference
On Religious Harmony: Problems, Practice and Education
IAHR, UIN Jogjakarta dan IAIN Semarang
Jogjakarta dan Semarang
27 September – 3 Oktober 2004
Pendidikan dan Upaya Membangun “Tradisi Besar”:
Perkembangan Islam Kultural di Indonesia
Oleh Fauzan Saleh
Abstraksi
Dalam hal kelembagaan dan budaya, semua agama mengalami perkembangan. Agama juga terus berubah. Suatu ketika ia tampil dalam vitalitasnya yang tinggi, pada saat lain ia akan tampak dalam kelesuannya. Ketika Islam pertama kali masuk ke Indonesia ia berada dalam titik lemahnya, baik dari sisi politik, ekonomi maupun pengaruh militernya. Di samping itu, Islam datang ke Indonesia sudah sangat terlambat jika dibandingkan dengan kedatangannya di bagian-bagian lain dunia Islam. Sebagai konsekwensinya pada awal kehadirannya di Indonesia Islam tidak mampu mentransformasikan seluruh sistim keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran dasarnya. Islam hanya bisa menyentuh kehidupan kultural melalui proses asimilasi, bukan revolusi. Akibatnya, Islam harus mengakomodasi berbagai elemen dari tradisi lokal yang hampir seluruhnya asing bagi karakter dasarnya. Namun, sebagaimana agama-agama lain yang tak mungkin luput dari perkembangan sejarah, Islam di Indonesia mengalami evolusi yang cukup signifikan dengan mentransformasikan dirinya dari “tradisi kecil” ke “tradisi besar” (greater tradition). Fazlur Rahman (w. 1988) menyebut transformasi ini sebagai proses “ortodoksifikasi.” Artikel ini mencoba menelaah transformasi teologis yang terjadi pada umat Islam di Indonesia. Transformasi teologis ini telah mendapatkan pijakan yang kokoh pada perbaikan sistim pendidikan nasional, dan dapat dilacak pada fenomena semakin meningkatnya peran Islam kultural dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Pendahuluan
Ortodoksi, sebagai suatu konsep yang terdapat pada semua tradisi agama-agama besar—termasuk Islam—biasanya menunjuk pada kemungkinan untuk membedakan antara apa yang benar dan apa yang dianggap salah. Meskipun kata ortodoksi tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Arab dan dipandang tidak ada tempat untuk membicarakannya dalam konteks Islam, hampir tidak mungkin untuk berasumsi bahwa konsep tersebut tidak dikenal oleh para sarjana Muslim (Watt, 1973, 6). Dengan mengacu pada pengertian umum tentang ortodoksi sebagai keyakinan yang benar atau yang murni sesuai dengan ajaran dari pemiliki kewenangan mutlak penganjur agama itu (Callan, 1912, 230), maka dapat dimengerti jika umat Islam sangat peduli terhadap validitas konsep ini. Bahkan, selama berabad-abad, upaya mempertahankan keyakinan yang murni dan benar ini telah menjadi salah satu produk intelektual paling dominan. Oleh karena itu Islam sering disebut sebagai “agama ultra heresiografis yang terpusat pada upaya memantapkan dan mempertahankan [kemurnian] dogma” (Henderson, 1998, 12). Untuk konteks Islam di Indonesia, istilah ortodoksi ini bisa digunakan untuk menunjuk kepada kategori Islam santri, yang merepresentasikan sekelompok orang Islam yang taat dan patuh dalam menjalankan kewajiban agamanya, dan selalu mengikuti perintah-perintah Tuhan. Mereka dapat dilawankan dengan kelompok sinkretis yang tidak terlalu peduli dengan aspek-aspek formal ajaran Islam, yang biasa disebut sebagai kelompok abangan (Cederroth, 1995, 230). Santri, dengan demikian adalah mereka yang memiliki motivasi tinggi untuk berusaha menjadi seorang Muslim yang sebenarnya (Nakamura, 1983, 150). Inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan menjadi Muslim ortodoks itu.
Disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak sangat jauh dari pusat penyebaran Islam, Indonesia mengalami keterlambatan dalam proses Islamisasi. Islam baru datang ke Indonesia sekitar enam atau tujuh abad setelah penaklukan Sepanyol dan India oleh penguasa Bani Umaiyah pada awal abad kedelapan. Bahkan kerajaan terbesar di Jawa sebelum Islam, Majapahit, berdiri sekitar setengah abad setelah kehancuran Baghdad oleh tentara Mongol (1258), atau sekitar dua abad setelah masa al-Ghazali (w. 1111). Karena Majapahit adalah kerajaan Hindu terbesar di Jawa yang kehancurannya pada pertengahan abad ke-15 menandai perkembangan Islam, hal itu lebih lanjut menunjukkan bahwa proses Islamisasi sudah amat terlambat (Madjid, 1992, lvii-lix). Selain itu, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia bukan Islam yang berada pada puncak kejayaan politik dan peradabannya, tetapi Islam yang sudah mengalami penurunan. Konsekwensinya, umat Islam tidak mampu menanamkan pengaruhnya yang kuat untuk mentransformasikan keyakian asli penduduk dan tradisi yang mereka anut menjadi tradisi keislaman yang kokoh. Islam harus menyesuaikan dirinya dengan berbagai unsur adat istiadat lokal dan mentolerir tradisi-tradisi yang asing bagi watak dasar Islam itu sendiri. Dalam hal ini tidak heran jika salah seorang pengamat Barat mendeskripsikan Islam di Indonesia sekedar lapisan tipis dari berbagai simbol yang dilekatkan pada inti tradisi Animisme dan Hindu-Budisme yang lebih kokoh (Woodward, 1989, 82). Namun, sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat lain di kawasan Asia Tenggara, proses Islamisasi telah berlangsung secara gradual, yang pada saat bersamaan keyakinan lama telah berganti secara bertahap, meskipun tidak sampai hilang sama sekali.
Oleh karen itu cukup bisa difahami jika para ahli tentang Indonesia (Indonesianist) berbeda pendapat ketika harus mendeskripsikan perkembangan Islam di Indonesia. Sebagian pengamat mengatakan bahwa Islam tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Namun, pengamat lain menyatakan pandangannya yang lebih empatik bahwa selama lebih dari empat ratus tahun belakangan, Islam di Indonesia telah secara perlahan bergerak ke arah yang lebih ortodoks baik dalam hal keyakinan maupun praktik ritualnya, sementara itu sisi-sisi heterodoksinya semakin berkurang sejalan dengan perkembangan zaman (Federspiel, 1970, 3). Senada dengan ungkapan terakhir di atas, pengamat lain lagi menyatakan bahwa sejarah Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan sejarah perluasan budaya santri dan dampaknya pada kehidupan keagamaan dan politik (Benda, 1958, 14). Kajian ini dimaksudkan untuk meninjau ulang dua perspektif berbeda tentang Islam di Indonesia, dengan mencermati perkembangan pemikiran teologisnya.
Pembaharuan Pemikiran Teologi di Indonesia
Salah satu kelompok terpenting yang telah secara gigih mengupayakan adanya pembaharuan pemikiran teologi Islam di Indonesia ialah Muhammadiyah. Saya akan mulai dengan bagaimana pertama kali Muhammadiyah memformulasikan dasar-dasar keyakinan dalam Islam. Pada dasarnya gerakan pembaruan Islam yang didirikan pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan ini bertujuan untuk memberikan formulasi tentang doktrin pokok agama Islam yang lebih mudah difahami dengan menggunakan bahasa lokal. Dengan demikian, diharapkan umat Islam dapat menyadari secara lebih mendalam tentang ajaran agama mereka dan dapat meluruskan jalan hidup mereka sesuai dengan semangat ajaran itu. Meskipun sangat sederhana, karena hanya membicarakan rukun iman yang telah diketahui oleh setiap Muslim, penyajiannya dalam bahasa Indonesia untuk konteks waktu itu (awal abad ke-20) merupakan suatu terobosan yang amat berani. Hal ini berbeda dengan kalangan pesantren yang mengajarkan dasar-dasar keyakinan tersebut dengan menitikberatkan pada teks Arab dan lebih banyak didasarkan pada hafalan daripada pemahaman yang mendalam.
Melalui formulasi sederhana tentang dasar keyakinan ini Muhammadiyah juga bertujuan untuk membawa umat Islam di Indonesia kepada kemurnian Islam, dan membebaskan mereka dari doktrin palsu yang berasal dari tradisi atau adat istiadat lokal yang bertentangan dengan karakter Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah telah mempelopori perkembangan ortodoksi Islam di Indonesia melalui upayanya yang sungguh-sungguh untuk memurnikan keyakinan dan penekanan tentang perlunya melaksanakan ijtihad, atau penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rasional. Pemurnian keyakinan dan perilaku keagamaan merupakan langkah yang diperlukan untuk membebaskan agama dari semua elemen-elemen mistik, magi, animisme dan tradisi Hindu-Buda yang telah secara keliru dicampur-adukkan dengan ajaran Islam. Berdasarkan perspektif ini, hanya dengan keyakinan yang murnilah umat Islam dapat merasionalkan kehidupan abad modern (Peacock, 1978, 18).
Berdasarkan formulasi mengenai dasar keyakinan yang dikemukakan oleh Muhammadiyah inilah Mas Mansoer (w. 1949), salah seorang tokoh terkemuka dalam gerakan pembaruan ini, menawarkan formulasinya tentang bagaimana cara menyingkirkan semua elemen kemusyrikan dari keyakinan umat Islam. Tujuannya ialah untuk meneguhkan tauhid atau keyakinan akan keesaan Allah. Mas Mansoer menegaskan bahwa elemen-elemen kemusyrikan yang dicampuradukkan dengan agama ini telah merusakkan Islam, dan menyebabkan kelemahan serta keterbelakangan bagi umat Islam sendiri. Sebagai contoh, Mas Mansoer mengkritisi mereka yang mempercayai bahwa arwah orang yang sudah meninggal bisa menolong orang-orang yang masih hidup, dengan melakukan acara ritual di kuburan. Banyak orang yang mendatangi kuburan orang-orang tertentu yang sangat dihormati untuk memohon melalui rohnya untuk menyembuhkan penyakit atau untuk mendapatkan kekayaan dan memperoleh keberuntungan. Tindakan seperti itu, menurut Mansoer, jelas-jelas termasuk syirik, sebab dengan melakukan hal itu orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada roh orang yang sudah meninggal (Mansoer, 1970, 11). Dengan kata lain, mereka telah meyakini akan adanya kekuatan lain di samping Allah yang memiliki kekuatan gaib untuk memenuhi keinginannya.
Sejalan dengan semangat yang diusung Mas Mansoer, A. Hassan (w. 1958), tokoh terkemuka Persatuan Islam, suatu gerakan pembaruan penting lainnya, juga menekankan perlunya pemurnian akidah. Di antara adat kebiasaan lama yang ia kritisi ialah tradisi penggunaan tawassul yang tidak pada tempatnya dan cenderung mengarah kepada syirik. Sebagaimana halnya dengan Mansoer, Hassan juga menentang kebiasaan orang-orang yang memohon kepada arwah orang yang sudah meninggal dengan tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan duniawi. Sebenarnya tawassul masih bisa dibenarkan sebagai bentuk upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sejauh hal itu dilakukan dengan mentaati semua perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Hassan menegaskan bahwa umat Islam harus membangun hubungan langsung dengan Allah, tanpa perantara, seperti arwah Nabi, para wali atau orang-orang yang dipandang suci lainnya (Hassan, 1958, 29).
Baik Mansoer maupun Hassan dapat dikelompokkan sebagai tokoh yang merepresentasikan era memperkokoh fondasi tauhid, dengan semangat purifikasi atau pemurnian akidah umat Islam dari semua unsur syirik dan keyakinan yang keliru. Melanjutkan era ini, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan Hamka (1908-1981), tokoh penting lainnya dari Muhammadiyah, telah melakukan terobosan baru dalam perkembangan pemikiran teologi di Indonesia. Hamka telah tampil sebagai representasi dari era rekonstruksi pemahaman doktrin Islam. Yang ia hadapi bukan lagi masalah adat-istiadat yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu, tetapi lebih banyak terkait dengan kemampuan manusia untuk memahami kebenaran itu sendiri. Dengan pendekatannya yang cukup spesifik, Hamka menekankan perlunya mempertahankan pemahaman yang benar tentang dasar-dasar keyakinan bagi kemajuan umat Islam dalam kehidupan duniawinya. Dalam pembahasannya tentang qadla dan qadar, misalnya, Hamka menegaskan bahwa ayat-ayat Qur’an yang menyatakan adanya ketentuan Tuhan (taqdir) bagi kehidupan manusia dimaksudkan untuk membangkitkan semangat umat Islam dan mempersatukan mereka dalam mencapai kemajuan kehidupan duniawi (Hamka, 1956, 77). Dengan demikian Hamka telah memperkenalkan suatu pandangan teologis yang radikal dengan menggunakan penafsiran yang rasional tentang qadla dan qadar. Dia menekankan bahwa pengaruh negatif dari doktrin fatalistik dan hilangnya semangat kebebasan kehendak (free will) telah membawa kepada kemalasan dan keterbelakangan bagi umat Islam di Indonesia. Ayat-ayat fatalistik yang terdapat di dalam al-Qur’an, dengan demikian, tidak harus dimaknai sebagai pembenaran atau memberi lisensi kepada umat Islam untuk menjadi pasrah (submissive) atau bersikap kekanak-kanakan dengan mengandalkan adanya perlindungan dari Tuhan. Pendapat serupa dikemukakan oleh A. Hassan dengan mengatakan bahwa melalui qadar (ketentuan) sebenarnya Allah telah menetapkan semua hal yang baik dan yang jahat. Tetapi manusia diberi kemampuan untuk memilih. Tanpa adanya keyakinan tentang kemampuan memilih secara bebas (free choice) ini maka orang mukmin akan kehilangan keteguhan moralnya yang diperlukan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan hanya akan menjadi apatis serta pasrah, tidak memiliki keinginan untuk mengambil inisiatif melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan. (Hassan, 1991, 21). Seorang Muslim harus selalu berusaha atau melakukan ikhtiyar untuk memperoleh kesejahteraan hidupnya, sebab hanya dia sendiri yang bertanggungjawab atas perbaikan hidupnya di dunia ini. Tuhan tidak akan mengubah nasib seorang manusia kecuali jika manusia itu sendiri berkehendak atau bertekat untuk merubahnya (Q.S. 13:11). Pemikiran teologis Hamka sebenarnya telah menjadi jembatan yang menghubungkan perkembangan wacana teologi Islam di Indonesia paling awal dengan perkembangan sesudahnya, yaitu yang dikembangkan oleh generasi tahun 1970-an, yang dipeloposri oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.
Namun demikian, berbeda dengan wacana teologi yang telah digariskan sebelumnya, perkembangan yang disebut terakhir ini memiliki arahnya tersendiri. Dalam banyak hal gerakan tersebut didukung oleh orang-orang yang tidak memiliki keterikatan langsung dengan organisasi atau gerakan pembaruan di atas. Hanya saja hal itu tidak harus diartikan bahwa tidak ada perkembangan lebih lanjut dari wacana teologis di kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Para sarjana dari kelompok pembaru ini masih terus mengembangkan wacana teologis mereka sesuai dengan karakter dan misi-visi gerakan yang mereka dukung. Secara umum gerakan kultural yang muncul di era 1970-an ini memiliki karakter sebagai gerakan non-sektarian, dengan penyajian gagasan yang lebih bernuansa akademik, dan dalam banyak hal lebih bersifat akomodatif terhadap program pembangunan dan proses modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal itu berbeda dengan sikap reaktif yang dikedepankan oleh kelompok modernis-skripturalis yang cukup dominan hingga akhir 1970-an.
Membangun Islam Kultural
Dalam kaitan ini Harun Nasution telah berjasa dengan usahanya untuk menampilkan Islam yang lebih moderat, terbuka bagi perbedaan budaya, dan tidak terperangkap dalam batasan madzhab yang sempit. Nasution juga telah berhasil mengembangkan pemahaman umat Islam tentang Mu’tazilah dan teologi rasional bagi upaya memajukan kehidupan umat Islam di Indonesia. Dia menegaskan bahwa apabila umat Islam ingin berhasil di dalam beradaptasi dengan modernitas maka mereka harus bersedia menggantikan faham teologis mereka dari Asy’ariyah ke Mu’tazilah. Faham Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya, menurut Nasution, umat Islam bisa memasuki kehidupan modern dan mampu bersaing dengan kemajuan yang datang dari Barat, tanpa kehilangan sikap kesalehan yang menjadi watak dasar Islam tradisional (Martin, 1997, 165). Karena itulah Nasution menegaskan: “yang penting diperhatikan pada pembangunan di bidang agama ialah upaya mengubah sikap mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Dengan kata lain, filsafat hidup tradisional yang masih dianut sekarang harus diganti dengan filsafat hidup yang bercorak liberal” (Nasution, 1996, 146).
Obsesi Nasution dengan memperkenalkan faham Mu’tazilah dalam konteks Indonesia modern memiliki dua makna penting: (1) Rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk memiliki mental yang terbuka, sehingga mereka mau menerima liberalisme; dan (2) Pengakuan akan kemampuan manusia dalam pengertian Qadariah tentang faham kebebasan kehendak (Martin, 1997). Secara umum, Nasution telah menyelesaikan suatu tugas berat yang belum pernah bisa dilakukan oleh siapa pun sebelumnya. Dia telah melakukan suatu terobosan besar yang memungkinkan kalangan muda Muslim untuk menikmati kebebasan mereka dalam mengekpresikan pemahaman mereka tentang persoalan doktrin agama. Islam telah disuguhkan sebagai suatu objek kajian yang terbuka untuk dikritisi. Islam bukan lagi semata-mata doktrin teologis yang harus diterima dan dipatuhi. Melalui karya-karya Nasution, faham Mu’tazilah yang telah dilupakan banyak orang selama berabad-abad dan dipandang sebagai faham yang keliru mulai mendapatkan penghargaan kembali dan dikagumi (Nasution, 1996, 129, 138). Kegigihannya untuk menyebarluaskan ajaran Mu’tazilah, terlepas dari banyaknya kritikan ditujukan pada dirinya karena dianggap terlalu memihak kepada kelompok elit, telah dibantah sebagai suatu langkah yang amat perlu untuk jangka panjang. Menurut Nasution, hanya kelompok elit yang mampu memperbaiki citra Islam, terutama melalui keputusan politik yang mereka buat. Namun keputusan politik mereka ini tidak mungkin akan menguntungkan umat Islam kecuali jika mereka secara tulus mengikuti ajaran Islam. Tetapi kalangan elit ini akan menerima Islam secara lebih bersemangat jika Islam ditampilkan dalam format yang lebih canggih dengan muatan teologi rasionalnya, sesuai dengan semangat modernitas dan kemajuan.
Melanjutkan semangat Nasution, Nurcholish Madjid (l. 1939) tampil dengan gagasannya tentang bagaimana memperbaiki posisi umat Islam dalam konteks budaya Indonesia. Gerakan yang diusungnya, yang lebih dikenal dengan Neo-Modernisme Indonesia, telah memberikan kontribusi amat besar bagi perbaikan pemahaman umat Islam tentang konsep modernitas vis-Ã -vis komitmen keagamaan yang mendalam. Melalui gerakan ini Madjid berusaha untuk mereformulasikan landasan keimanan kepada Tuhan dalam hubungannya dengan manusia dan alam, dan cara yang harus ditempuh untuk menggariskan bentuk hubungan di antara masing-masing aspek ini dalam realitas sosial-politik yang ada. Oleh karena itu gerakan pembaruan yang ia canangkan merupakan elaborasi yang lebih canggih tentang konsep dasar ajaran Islam tetapi tetap sesuai dengan usaha-usaha meneguhkan modernisasi sistim politik dan kehidupan sosial di Indonesia.
Bagi Madjid, bagaimanapun, tugas terpenting yang harus diselesaikan oleh umat Islam Indonesia ialah bagaimana mereka bisa mengimplementasikan ajaran Islam secara tepat. Namun untuk dapat mengimplementasikan ajaran tersebut secara tepat, pertama-tama mereka harus memiliki pemahaman yang benar tentang doktrin agama mereka, dan kedua mereka juga harus memahami secara baik lingkungan di mana mereka akan mengimplementasikan ajaran itu, yaitu Indonesia (Madjid, 1992, lxvii). Madjid telah secara jelas memformulasikan gagasannya dalam konsep “Islam kultural,” yaitu Islam yang memiliki peran utama dalam kehidupan berbangsa sebagai sumber nilai etis dan pedoman pengembangan budaya (Hefner, 1993, 4). Di dalam mengembangkan gagasan tentang Islam kultural ini Madjid juga bertujuan untuk mengatasi ketegangan internal yang dialami umat Islam ketika dihadapkan dengan akselarasi pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Dia bersama para pendukung gagasannya telah sepakat untuk mengikuti aspirasi elemen bangsa yang lain, termasuk kalangan militer, teknokrat dan intelektual, untuk menciptakan Indonesia yang modern dan stabil secara politis. Dia menegaskan bahwa, sebagai konstituen utama dari bangsa ini, umat Islam harus secara aktif berpartisipasi di dalam proses transformasi sosial, yang dengan itu aspirasi umat akan mendapatkan kesempatan baru untuk berkembang lebih semarak lagi. Umat Islam juga harus melibatkan diri dalam proses modernisasi di mana pendekatan empiris dan ilmiah digunakan untuk menginterpretasikan pesan-pesan universal ajaran Islam, bagi kemajuan seluruh bangsa dengan mengacu pada kehidupan budaya mereka (Rahardjo, 1992, 31).
Baik Nasution maupun Madjid memiliki kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam dalam dimensi yang lebih luas, khususnya melalui upaya mereka untuk menjadikan Islam lebih bisa diterima di kalangan elit. Kemunculan mereka telah merepresentasikan suatu arah baru dalam perkembangan Islam di Indonesia, yaitu Islam yang terbebas dari kerangka sektarianisme dan faham ideologis-primordial. Dengan kata lain, mereka telah menawarkan Islam non-sektarian yang tidak diberi cap sebagai Muhammadiyah atau NU, dua “warna” utama Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa orang secara sah bisa menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim yang sebenarnya meskipun tanpa menggunakan label dua oraganisasi ini. Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini dicapai terutama karena adanya perbaikan dalam bidang pendidikan agama yang difasilitasi oleh pemerintah, di mana pengaruh Nasution dan Madjid serta para tokoh seaspirasi dengan keduanya, khususnya di lingkungan UIN dan IAIN/STAIN sangat menonjol. Pemerintah juga telah berhasil mempertahankan netralitasnya dari kedua kelompok sektarian di atas, sebab pendidikan agama yang difasilitasi oleh pemerintah telah menjadikan kabur batasan budaya antara kelompok modernis dan tradisionalis. Kaburnya batasan ini telah membawa hasil yang positif, berdasarkan kenyataan bahwa pendukung kedua belah pihak tidak bisa mengklaim dirinya lebih alim atau lebih taat dalam beragama, semata-mata karena dia mendukung kelompok tradisionalis atau modernis. Semua orang yang secara benar melaksanakan kewajiban agamanya dan menjaga kemurnian akidahnya serta dengan sungguh-sungguh menjauhi larangan agama adalah orang yang taat dalam beragama, terlepas dari warna organisasi atau kelompok sektarian yang diikutinya.
Hasil lain yang positif dari kaburnya batasan budaya antara kelompok modernis dan tradisionalis ini ialah semakin kecilnya kemungkinan munculnya konflik ideologis yang disebabkan oleh perbedaan faham, yang dalam beberapa hal ikut menciptakan kehidupan sosial umat Islam yang semakin kohesif. Mereka yang dulu terbiasa mencemooh rekannya karena praktik ritual yang dijalankannya atau karena perbedaan pandangan ideologisnya, sekarang dapat bersama-sama datang ke satu masjid untuk menjalankan ibadah atau mengikuti pengajian yang diselenggarakan di sana . Tetapi perkembangan yang jauh lebih signifikan dalam hal ini ialah sekarang sudah tidak ada lagi ancaman bagi seseorang untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang sebenarnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun-tahun 1960-an.
Upaya Membangun “Tradisi Besar”
Meskipun dihambat oleh kondisi sosial-politis yang tidak menyenangkan selama era Orde Baru (1966-1998), kecenderungan ke arah Islam yang lebih ortodoks (dalam pengertian yang lebih murni) masih terus berjalan. Hal itu juga menunjukkan bahwa perkembangan budaya santri telah menemukan momentum yang menentukan, dan bahkan mendapatkan dukungan dari berbagai elemen bangsa, termasuk dari pihak penguasa sendiri. Hanya saja dukungan ini baru sebatas pada pelaksanaan ritual tertentu atau pada tingkat kesalehan individual. Ini terutama karena penguasa Orde Baru menerapkan kebijakan ganda di dalam menghadapi umat Islam: Menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu, tetapi di sisi yang lain mencegah munculnya Islam politis. Pelaksanaan kegiatan keagamaan diberi dukungan yang kuat, bukan saja bagi umat Islam tetapi juga bagi penganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Pada awalnya, dukungan terhadap pelakasanaan kegiatan keagamaan ini dimaksudkan sebagai pertanda bahwa seseorang bukan pengikut ideologi Komunis yang dilarang. Ateisme, sebagai bagian tak terpisahkan dari ideologi Komunis, dinyatakan sebagai anti-Pancasila dan oleh karena itu dilarang. Para pelajar dan mahasiswa, baik negeri maupun swasta, harus mengikuti pendidikan agama. Departeman Agama diperkuat fungsinya dan dipimpin oleh tokoh-tokoh non-partisan, yang tidak terlibat dalam konflik ideologis sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya. Peran UIN/IAIN (dan STAIN) sebagai perguruan tinggi agama Islam telah diberi mandat yang lebih luas disertai pendanaan yang lebih besar.
Pada satu sisi sebenarnya umat Islam telah mendapatkan banyak manfaat dari perbaikan kultural yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru, khususnya dalam bidang pendidikan. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan rezim ini, ketika penguasa lebih memihak kepada kalangan etnis Cina dan kelompok nasionalis-sekuler, umat Islam tidak diberi banyak kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politik dan menumbuhkan perekonomian mereka. Dengan demikian pendidikan adalah satu-satunya peluang untuk memperbaiki nasib mereka. Berkat upaya penguasa Orde Baru dalam memperbaiki sistim pendidikan nasional, meskipun banyak kritikan diarahkan kepada kebijakan ini, pada kenyataannya kesempatan memperoleh pendidikan telah terbuka lebih luas bagi kebanyakan penduduk Indonesia. Lebih banyak lagi warga negara yang mampu menyekolahkan anak-anaknya, bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi, sehingga banyak di antara mereka yang terangkat status sosialnya ke level “kelas menengah.” Fenomena ini sering disebut sebagai embourgeoisement, dan sering dipandang sebagai salah satu keberhasilan penting yang dicapai oleh umat Islam di abad modern ini. Mereka yang termasuk dalam kelompok generasi baru Muslim yang terdidik ini sering digambarkan sebagai kelompok yang memiliki cara pandang (mindset) modern dan dalam banyak hal mereka mampu menduduki posisi-posisi penting di lembaga-lembaga modern serta mampu mengadopsi gaya hidup kelas menengah. Semuanya ini telah memberikan kontribusi yang besar bagi kebangkitan apa yang disebut sebagai “intelektual booming” dari kalangan muda Muslim yang memiliki kemampuan teknis tingkat tinggi (Anwar, 1992, 13).
Pada sisi yang lain, intelektual booming ini juga telah memungkinkan adanya mobilitas vertikal dan horizontal kelompok santri. Mobilitas horizontal ditandai dengan penyebaran kelompok Muslim profesional dalam berbagai macam bidang kehidupan, sedangkan mobilitas vertikal ditandai dengan perbaikan status sosial umat Islam secara lebih umum. Selain itu, di samping memperoleh manfaat dari ketrampilan managerial dan teknik yang mereka kuasai, sebagai seorang Muslim yang taat, mereka juga selalu mempertahankan komitmen keagamaan mereka. Kelas baru Muslim ini telah tampil ke permukaan sosial bersamaan dengan munculnya fenomena urban Islam yang direpresentasikan oleh kelompok santri dengan perolehan gaji yang tinggi, namun tetap taat menjalankan kewajiban agama mereka. Kelompok yang disebut terakhir ini menampakkan komitmen keagamaan mereka dengan menjalankan kewajiban ritual sehari-hari mereka di kantor atau tempat kerja mereka, yang dengan itu mereka telah menunjukkan peran sebagai “pemain dalam” (inner players). Setelah berlangsung sekitar dua dekade, peran mereka sebagai inner players telah mendatangkan hasil dalam bentuk mobilitas vertikal dalam proses Islamisasi. Pada tahun 1980-an fenomena ini dikenal dengan sebutan “Islamisasi birokrasi” yang selanjutnya berpengaruh pada pengaburan dikotomi santri – abangan yang pernah dipopulerkan oleh Clifford Geertz beberapa dekade sebelumnya (Castle, 1991). Sekarang seseorang yang menjalankan perintah agama Islam secara taat tidak perlu lagi dicurigai sebagai orang Islam yang fanatik. Ini merupakan ekpresi keagamaan yang sudah sangat umum dan bisa diterima oleh siapa pun sebagai konsekwensi dari keberadaannya selaku seorang Muslim yang sebenarnya.
Tradisi Besar dalam Manifestasi Islam Kultural
Apa yang telah diuraikan di atas telah menunjukkan betapa domain budaya santri telah secara perlahan mengembang dan meluas. Bersamaan dengan itu semakin tumbuh pula kesadaran di kalangan umat Islam sendiri tentang perlunya menjaga dan mengembangkan pandangan teologi yang inklusif dan pluralis. Ada beberapa faktor yang dapat digarisbawahi sebagai penyangga dari perluasan budaya santri yang sekaligus bermakna sebagai pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia. Di bawah ini akan diuraikan secara garis besar perkembangan pandangan teologis umat Islam di Indonesia dari awal abad ke-20 hingga penghujung milenium kedua yang lalu. Pertumbuhan itu sekaligus dapat dimakani sebagai proses perkembangan dari tradisi kecil menjadi tradisi besar.
1. Usaha-usaha internal umat Islam untuk memberikan elaborasi yang lebih jelas tentang doktrin agama mereka. Usaha-usaha paling awal telah dilakukan oleh kalangan pembaru yang telah mencoba memberikan rumusan secara jelas tentang doktrin utama Islam, terbebas dari unsur-unsur bid’ah dan khurafat. Penggunaan bahasa daerah atau Indonesia untuk menjelaskan prinsip-prinsip keyakinan yang benar—dan tidak hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab—telah memungkinkan ajaran Islam bisa difahami oleh kalangan yang lebih luas (Federspiel, 1999, 8). Begitu landasan ini telah dibangun, Harun Nasution tampil dengan memberikan komponen teologis yang lebih maju dan sistimatis. Upaya Nasution memperoleh sukses besar, khususnya karena adanya dukungan institusional yang diberikan oleh UIN/IAIN dan STAIN untuk menyebarluaskan ide-idenya. Kehadiran Nurcholish Madjid telah menyempurnakan perkembangan ini. Dia tidak hanya memperbaiki muatan dasar atau substansi teologis yang telah dibangun oleh Nasution tetapi juga lebih jauh telah memperluas landasan tersebut dengan menunjukkan bagaimana menempatkan pandangan teologis yang lebih canggih dalam konteks budaya yang bisa diterima oleh semua pihak dalam proses demokratatisasi yang terus berlangsung.
2. Keputusan politik tertentu yang tidak sengaja telah memberikan peluang bagi penyebaran Islam secara lebih luas. Selama masa pemerintahan Orde Baru, penguasa menerapkan kebijakan “floating mass” atau massa mengambang. Dengan kebijakan tersebut partai politik tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan politik pada tingkat desa atau kelurahan. Dengan demikian rakyat harus dijauhkan dari politik, dan hanya diharapkan hanya akan mendukung program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Mereka hanya diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dalam pemilihan umum, sekali dalam lima tahun. Bagi umat Islam, kebijakan ini telah memberikan kontribusi cukup besar untuk mereduksi munculnya konflik-konflik ideologis disebabkan oleh perbedaan afinitas ideologis primordial mereka. Dengan cara yang sama, penegasan pemerintah bahwa seluruh partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan harus didasarkan pada asas tunggal Pancasila sebagai ideologi negara, juga telah memberikan landasan bagi terciptanya tatanan masyarakat Islam yang lebih kohesif. Saat itu tidak ada lagi partai Islam yang dapat mengklaim dirinya sebagai representasi satu-satunya bagi kepentingan umat Islam di Indonesia. Klaim semacam itu dulu telah begitu sering menimbulkan konflik ideologis dan menyebabkan fragmentasi di dalam tubuh umat Islam sendiri. Mereka yang dulu terbiasa mencemooh kelompok lain karena menjalankan praktik-praktik ritual yang berbeda semata-mata karena perbedaan ideologis, kini mereka dapat bersama-sama ke masjid atau lembaga pendidikan yang sama, atau bersama-sama mendatangi majlis taklim dan pengajian di suatu tempat. Lebih penting dari itu semua ialah kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ancaman politis bagi mereka yang ingin menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang Muslim yang taat.
3. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama. Di samping perbaikan-perbaikan dalam bidang pendidikan secara umum sebagaimana disinggung di depan, pendidikan agama telah memberikan kontribusi sangat besar bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan. Pelajar dan mahasiswa pada semua jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi, harus mendapatkan pendidikan agama secara intensif. Kalangan santri atau mereka yang memiliki keilmuan mendalam tentang ajaran Islam, dituntut untuk dapat memberikan pengajaran agama, bukan saja di pusat-pusat pengajaran agama tradisional seperti madrasah atau pesantren, tetapi juga di semua level lembaga pendidikan “sekuler” yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi Negeri juga telah semakin nyata menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan mengakomodasi kecenderungan mahasiswanya untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan agama yang lebih mendalam. Dana yang cukup banyak telah dialokasikan guna membangun mushalla dan masjid di sekolah dan kampus-kampus Perguruan Tinggi. Demikian pula kegiatan-kegiatan keagamaan tidak jarang diselenggarakan di pusat-pusat pendidikan umum dalam bentuk peringatan hari-hari besar Islam atau seminar ilmiah untuk mengkaji aspek doktrin maupun sosial dalam Islam. Sejalan dengan semangat itu pula kiranya kajian tentang Ekonomi Islam semakin diminati di Perguruan Tinggi Umum, seperti Universitas Brawijaya di Malang dan Universitas Airlangga di Surabaya, Jawa Timur. Demikian pula kenyataan bahwa tidak jarang dari kampus Perguruan Tinggi “sekuler” ini telah muncul para tokoh yang lancar berbicara tentang agama dan tampil sebagai juru dakwah atau menjadi pimpinan organisasi sosial-keagamaan, seperti Prof. Imaduddin Abdurrahim, Prof. Jalaluddin Rahmat, Prof. M. Amien Rais dan Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, sekedar menunjuk sebagian contoh.
4. Intensifikasi pelaksanaan dakwah. Di luar pendidikan agama formal yang diselenggarakan di sekolah dan kampus-kampus perguruan tinggi, tuntutan untuk mendapatkan pengajaran atau pengetahuan agama yang lebih mendalam juga dapat dipenuhi melalui kegiatan dakwah. Terlepas dari sifatnya yang “informal” dan tidak adanya “kurikulum” yang standar atau tingkatan yang terstruktur, kegiatan dakwah memiliki pengaruh secara langsung pada perbaikan kehidupan keagamaan sehari-hari. Justru dengan sifatnya yang informal itulah maka dakwah dapat dilaksanakan secara fleksibel di tempat dan waktu kapan pun yang memungkinkan. Karena itu pula dakwah memiliki daya tarik tersendiri dan dapat menyedot perhatian banyak orang, tergantung pada kemampuan retorika dan popularitas penyaji materi dakwah tersebut. Tampaknya intensitas pelaksanaan dakwah ini pula sisa-sisa animisme semakin berkurang dari praktik kehidupan umat Islam secar umum. Eldar Braten, misalnya, menunjukkan hasil kajiannya tentang tradisi slametan bahwa tradisi ini telah mengalami banyak transformasi sehingga menjadi semakin ‘ortodoks’ dalam pelaksanaannya. Para pemuka umat Islam, melalui kegiatan dakwah mereka, telah berhasil membersihkan tradisi slametan dari ritual pemberian sesaji dan penggunaan kemenyan yang menyimbulkan penghormatan kepada arwah para leluhur yang berbau animis. Lebih penting lagi, tradisi slametan telah berubah menjadi tahlilan sebagai istilah yang lebih umum dipakai, sebab inti ritual yang dilakukan adalah pembacaan tahlil, sebagai bagian utama dari syahadat umat Islam. Oleh karena itu, terlepas dari warna simbolisme berupa makanan yang disajikan dalam ritual tersebut, sudah tidak ada lagi sisa-sisa animisme, yang menandakan bahwa dalam proses transformasi tersebut, slametan telah berkembang menjadi lebih Islami. Demikian pula dengan berbagai ungkapan spontan yang dilontarkan oleh orang dalam rangka menjaga diri telah banyak berganti dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang diucapkan dalam bahasa Arab. Transformasi simbolis lainnya juga nampak di dalam acara berkunjung ke kuburan atau pemakaman. Di masa lalu orang suka menabur bunga di atas kuburan sebagai bentuk sesaji bagi orang yang sudah meninggal dan dikuburkan di pemakaman tersebut. Sekarang tradisi menabur bunga telah berubah makna menjadi sekedar mengekspresikan rasa hormat dan kasih sayang semata. Bahkan tidak sedikit orang yang meninggalkan kebiasaan seperti itu. Jika pada masa-masa sebelumnya berkunjung (ziarah) ke makam mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dari orang yang dimakamkan, sekarang, sesuai dengan pemahaman doktrin agama yang semakin mandalam, telah berubah menjadi sarana untuk mengingatkan diri seseorang tentang akhir kehidupannya, dan untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal tersebut untuk mendapatkan ampunan dari Tuhan. Dengan kata lain, orientasi keagamaan dalam melaksanakan ziarah kubur tersebut sudah semakin jelas dan telah beralih ke Tuhan secara langsung, tidak lagi berorientasi kepada nenek moyang atau leluhur seseorang. Lebih penting lagi, nama Allah selalu disuarakan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pengeras suara di masjid-masjid, dalam pengajian, dalam kegiatan belajar mengaji yang diikuti oleh anak-anak, dan juga dalam acara tahlilan atau slametan (Braten, 1999, 165-70).
Semua realitas di atas telah menunjukkan secara jelas bagaimana Islam di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan mendekati bentuk ortodoksinya, baik dalam hal keyakinan maupun praktik kehidupan sehari-hari. Perkembangan menuju ortodoksi inilah sebenarnya yang dimaksud dengan proses menuju terciptanya “tradisi besar” (the greater tradition) dalam pemaparan paper ini. Hanya saja bentuk ortodoksi ini tidak serta merta dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mempertimbangkan realitas budaya yang sebenarnya dihadapi oleh umat Islam di negeri mereka masing-masing. Ini berarti bahwa keyakinan yang murni dan ortodoks saja tidak cukup. Islam harus dibawa “turun ke bumi” untuk merespon tuntutan riil budaya umat, tanpa mengorbankan integritas doktrin itu sendiri. Perkembangan Islam yang lebih dikenal dengan nama Islam kultural ini sekarang telah menjadi perhatian utama bagi kelompok yang menyebut dirinya sebagai Neo-Modernis. Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia telah berkembang menjadi semakin murni, mendekati tradisi asli agama itu sediri sebagai tradisi besarnya, tetapi ia tidak harus tercerabut dari akar budaya Indonesianya. Perkembangan menuju “the greater tradition” ini tidak lepas dari upaya-upaya perbaikan yang dilakukan dalam bidang pendidikan selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Sebenarnya dalam pengertian ortodoksi seperti inilah umat Islam di Indonesia, meminjam bahasa Akbar S. Ahmed, memasuki suatu tahapan kesadaran diri yang lebih mendalam dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan menekankan pada pendekatan kultural ini Islam telah ditampilkan dalam citranya yang lebih ramah, dan tidak perlu dikait-kaitkan dengan kekerasan atau bom dan pembakaran buku-buku (Ahmed, 1992, 35).
Bibliografi
Abdillah, Masykuri. 1998. “Alamsjah Ratu Perwiranegara: Stabilitas Nasional dan
Kerukunan,” dalam Azumardi Azra dan Saiful Umam (eds.), Menteri-
Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS-PPIM.
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise.
London and New York: Routledge.
Anwar, M. Syafii. 1992. “Islam, Negara dan Formasi Sosial dalam Orde Baru:
Menguak Dimensi Sosio-Historis Kelahiran dan Perkembangan ICMI.”
Ulumul Qur’an, vol. 8, no. 3 (Supplement).
Benda, Harry J. 1958. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the
Japanese Occupation 1942-1945. The Hague: W. van Hoeve.
Braten, Eldar. 1999. “To Colour, Not Oppose: Spreading Islam in Rural Java,” in Leif
Manger (ed.), Muslim Diversity: Local Islam in Global Context. Surrey,
England: Curzon Press.
Callan, Charles J. 1912. “Orthodoxy.” The Catholic Encyclopedia, vol. 11.
Castle, Lance. 1991. “Pasang Surut Usahawan Santri,” Jawa Pos, 18 March.
Cederroth, Sven. 1995. Survival and Profit in Rural Java: The Case of an East
Javanese Village. Surrey, the Great Britain: Curzon Press.
Federspiel, Howard M. 1970. Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University.
--------. 1999. “Muslim Intellectuals in Southeast Asia.” Studia Islamika, vol. 6, no. 1.
Hamka. 1956. Peladjaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hassan, Ahmad. 1958. At-Tauhid. Bangil: Persatuan Islam Bahagian Pustaka.
--------. 1991. Pengajaran Shalat. Bangil: Pustaka Tamaam.
Hefner, Robert W. 1993. “Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle for
the Indonesia Middle Class.” Indonesia, no. 56.
Henderson, John B. 1998. The Construction of Orthodoxy and Heresy: Neo-
Confucian, Islam, Jewish and Early Christian Patterns. Albany: State
University of New York.
Madjid, Nurcholish. 1992a. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.
--------. 1992b. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Mansoer, K.H. Mas. 1970. Risalah Tauhid dan Sjirik. Surabaya: Peneleh.
Martin, Richard C, et al. 1997. Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld.
Nakamura, Mitsuo. 1983. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
--------. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution.
Bandung: Mizan.
Peacock, James. 1978. Muslim Puritans: Reformist Psychology in Southeast Asian
Islam. Berkeley: University of California Press.
Rahardjo, M. Dawam. 1992. “Islam dan Modernisasi: Catatan Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid,” an introductory remark to Madjid’s Islam Kemodernan
dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. 1985. “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” in
Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson:
The University of Arizona.
Watt, Montgomery. 1973. The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Woodward, Mark R. 1989. “The Slametan: Textual Knowledge and Ritual
Performance in Central Java Islam.” History of Religion, vol. 28, no. 1.
Perkembangan Islam Kultural di Indonesia
Oleh Fauzan Saleh
Paper Dipresentasikan pada
The International Conference
On Religious Harmony: Problems, Practice and Education
IAHR, UIN Jogjakarta dan IAIN Semarang
Jogjakarta dan Semarang
27 September – 3 Oktober 2004
Pendidikan dan Upaya Membangun “Tradisi Besar”:
Perkembangan Islam Kultural di Indonesia
Oleh Fauzan Saleh
Abstraksi
Dalam hal kelembagaan dan budaya, semua agama mengalami perkembangan. Agama juga terus berubah. Suatu ketika ia tampil dalam vitalitasnya yang tinggi, pada saat lain ia akan tampak dalam kelesuannya. Ketika Islam pertama kali masuk ke Indonesia ia berada dalam titik lemahnya, baik dari sisi politik, ekonomi maupun pengaruh militernya. Di samping itu, Islam datang ke Indonesia sudah sangat terlambat jika dibandingkan dengan kedatangannya di bagian-bagian lain dunia Islam. Sebagai konsekwensinya pada awal kehadirannya di Indonesia Islam tidak mampu mentransformasikan seluruh sistim keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran dasarnya. Islam hanya bisa menyentuh kehidupan kultural melalui proses asimilasi, bukan revolusi. Akibatnya, Islam harus mengakomodasi berbagai elemen dari tradisi lokal yang hampir seluruhnya asing bagi karakter dasarnya. Namun, sebagaimana agama-agama lain yang tak mungkin luput dari perkembangan sejarah, Islam di Indonesia mengalami evolusi yang cukup signifikan dengan mentransformasikan dirinya dari “tradisi kecil” ke “tradisi besar” (greater tradition). Fazlur Rahman (w. 1988) menyebut transformasi ini sebagai proses “ortodoksifikasi.” Artikel ini mencoba menelaah transformasi teologis yang terjadi pada umat Islam di Indonesia. Transformasi teologis ini telah mendapatkan pijakan yang kokoh pada perbaikan sistim pendidikan nasional, dan dapat dilacak pada fenomena semakin meningkatnya peran Islam kultural dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Pendahuluan
Ortodoksi, sebagai suatu konsep yang terdapat pada semua tradisi agama-agama besar—termasuk Islam—biasanya menunjuk pada kemungkinan untuk membedakan antara apa yang benar dan apa yang dianggap salah. Meskipun kata ortodoksi tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Arab dan dipandang tidak ada tempat untuk membicarakannya dalam konteks Islam, hampir tidak mungkin untuk berasumsi bahwa konsep tersebut tidak dikenal oleh para sarjana Muslim (Watt, 1973, 6). Dengan mengacu pada pengertian umum tentang ortodoksi sebagai keyakinan yang benar atau yang murni sesuai dengan ajaran dari pemiliki kewenangan mutlak penganjur agama itu (Callan, 1912, 230), maka dapat dimengerti jika umat Islam sangat peduli terhadap validitas konsep ini. Bahkan, selama berabad-abad, upaya mempertahankan keyakinan yang murni dan benar ini telah menjadi salah satu produk intelektual paling dominan. Oleh karena itu Islam sering disebut sebagai “agama ultra heresiografis yang terpusat pada upaya memantapkan dan mempertahankan [kemurnian] dogma” (Henderson, 1998, 12). Untuk konteks Islam di Indonesia, istilah ortodoksi ini bisa digunakan untuk menunjuk kepada kategori Islam santri, yang merepresentasikan sekelompok orang Islam yang taat dan patuh dalam menjalankan kewajiban agamanya, dan selalu mengikuti perintah-perintah Tuhan. Mereka dapat dilawankan dengan kelompok sinkretis yang tidak terlalu peduli dengan aspek-aspek formal ajaran Islam, yang biasa disebut sebagai kelompok abangan (Cederroth, 1995, 230). Santri, dengan demikian adalah mereka yang memiliki motivasi tinggi untuk berusaha menjadi seorang Muslim yang sebenarnya (Nakamura, 1983, 150). Inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan menjadi Muslim ortodoks itu.
Disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak sangat jauh dari pusat penyebaran Islam, Indonesia mengalami keterlambatan dalam proses Islamisasi. Islam baru datang ke Indonesia sekitar enam atau tujuh abad setelah penaklukan Sepanyol dan India oleh penguasa Bani Umaiyah pada awal abad kedelapan. Bahkan kerajaan terbesar di Jawa sebelum Islam, Majapahit, berdiri sekitar setengah abad setelah kehancuran Baghdad oleh tentara Mongol (1258), atau sekitar dua abad setelah masa al-Ghazali (w. 1111). Karena Majapahit adalah kerajaan Hindu terbesar di Jawa yang kehancurannya pada pertengahan abad ke-15 menandai perkembangan Islam, hal itu lebih lanjut menunjukkan bahwa proses Islamisasi sudah amat terlambat (Madjid, 1992, lvii-lix). Selain itu, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia bukan Islam yang berada pada puncak kejayaan politik dan peradabannya, tetapi Islam yang sudah mengalami penurunan. Konsekwensinya, umat Islam tidak mampu menanamkan pengaruhnya yang kuat untuk mentransformasikan keyakian asli penduduk dan tradisi yang mereka anut menjadi tradisi keislaman yang kokoh. Islam harus menyesuaikan dirinya dengan berbagai unsur adat istiadat lokal dan mentolerir tradisi-tradisi yang asing bagi watak dasar Islam itu sendiri. Dalam hal ini tidak heran jika salah seorang pengamat Barat mendeskripsikan Islam di Indonesia sekedar lapisan tipis dari berbagai simbol yang dilekatkan pada inti tradisi Animisme dan Hindu-Budisme yang lebih kokoh (Woodward, 1989, 82). Namun, sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat lain di kawasan Asia Tenggara, proses Islamisasi telah berlangsung secara gradual, yang pada saat bersamaan keyakinan lama telah berganti secara bertahap, meskipun tidak sampai hilang sama sekali.
Oleh karen itu cukup bisa difahami jika para ahli tentang Indonesia (Indonesianist) berbeda pendapat ketika harus mendeskripsikan perkembangan Islam di Indonesia. Sebagian pengamat mengatakan bahwa Islam tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Namun, pengamat lain menyatakan pandangannya yang lebih empatik bahwa selama lebih dari empat ratus tahun belakangan, Islam di Indonesia telah secara perlahan bergerak ke arah yang lebih ortodoks baik dalam hal keyakinan maupun praktik ritualnya, sementara itu sisi-sisi heterodoksinya semakin berkurang sejalan dengan perkembangan zaman (Federspiel, 1970, 3). Senada dengan ungkapan terakhir di atas, pengamat lain lagi menyatakan bahwa sejarah Islam di Indonesia pada dasarnya merupakan sejarah perluasan budaya santri dan dampaknya pada kehidupan keagamaan dan politik (Benda, 1958, 14). Kajian ini dimaksudkan untuk meninjau ulang dua perspektif berbeda tentang Islam di Indonesia, dengan mencermati perkembangan pemikiran teologisnya.
Pembaharuan Pemikiran Teologi di Indonesia
Salah satu kelompok terpenting yang telah secara gigih mengupayakan adanya pembaharuan pemikiran teologi Islam di Indonesia ialah Muhammadiyah. Saya akan mulai dengan bagaimana pertama kali Muhammadiyah memformulasikan dasar-dasar keyakinan dalam Islam. Pada dasarnya gerakan pembaruan Islam yang didirikan pada tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan ini bertujuan untuk memberikan formulasi tentang doktrin pokok agama Islam yang lebih mudah difahami dengan menggunakan bahasa lokal. Dengan demikian, diharapkan umat Islam dapat menyadari secara lebih mendalam tentang ajaran agama mereka dan dapat meluruskan jalan hidup mereka sesuai dengan semangat ajaran itu. Meskipun sangat sederhana, karena hanya membicarakan rukun iman yang telah diketahui oleh setiap Muslim, penyajiannya dalam bahasa Indonesia untuk konteks waktu itu (awal abad ke-20) merupakan suatu terobosan yang amat berani. Hal ini berbeda dengan kalangan pesantren yang mengajarkan dasar-dasar keyakinan tersebut dengan menitikberatkan pada teks Arab dan lebih banyak didasarkan pada hafalan daripada pemahaman yang mendalam.
Melalui formulasi sederhana tentang dasar keyakinan ini Muhammadiyah juga bertujuan untuk membawa umat Islam di Indonesia kepada kemurnian Islam, dan membebaskan mereka dari doktrin palsu yang berasal dari tradisi atau adat istiadat lokal yang bertentangan dengan karakter Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah telah mempelopori perkembangan ortodoksi Islam di Indonesia melalui upayanya yang sungguh-sungguh untuk memurnikan keyakinan dan penekanan tentang perlunya melaksanakan ijtihad, atau penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rasional. Pemurnian keyakinan dan perilaku keagamaan merupakan langkah yang diperlukan untuk membebaskan agama dari semua elemen-elemen mistik, magi, animisme dan tradisi Hindu-Buda yang telah secara keliru dicampur-adukkan dengan ajaran Islam. Berdasarkan perspektif ini, hanya dengan keyakinan yang murnilah umat Islam dapat merasionalkan kehidupan abad modern (Peacock, 1978, 18).
Berdasarkan formulasi mengenai dasar keyakinan yang dikemukakan oleh Muhammadiyah inilah Mas Mansoer (w. 1949), salah seorang tokoh terkemuka dalam gerakan pembaruan ini, menawarkan formulasinya tentang bagaimana cara menyingkirkan semua elemen kemusyrikan dari keyakinan umat Islam. Tujuannya ialah untuk meneguhkan tauhid atau keyakinan akan keesaan Allah. Mas Mansoer menegaskan bahwa elemen-elemen kemusyrikan yang dicampuradukkan dengan agama ini telah merusakkan Islam, dan menyebabkan kelemahan serta keterbelakangan bagi umat Islam sendiri. Sebagai contoh, Mas Mansoer mengkritisi mereka yang mempercayai bahwa arwah orang yang sudah meninggal bisa menolong orang-orang yang masih hidup, dengan melakukan acara ritual di kuburan. Banyak orang yang mendatangi kuburan orang-orang tertentu yang sangat dihormati untuk memohon melalui rohnya untuk menyembuhkan penyakit atau untuk mendapatkan kekayaan dan memperoleh keberuntungan. Tindakan seperti itu, menurut Mansoer, jelas-jelas termasuk syirik, sebab dengan melakukan hal itu orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada roh orang yang sudah meninggal (Mansoer, 1970, 11). Dengan kata lain, mereka telah meyakini akan adanya kekuatan lain di samping Allah yang memiliki kekuatan gaib untuk memenuhi keinginannya.
Sejalan dengan semangat yang diusung Mas Mansoer, A. Hassan (w. 1958), tokoh terkemuka Persatuan Islam, suatu gerakan pembaruan penting lainnya, juga menekankan perlunya pemurnian akidah. Di antara adat kebiasaan lama yang ia kritisi ialah tradisi penggunaan tawassul yang tidak pada tempatnya dan cenderung mengarah kepada syirik. Sebagaimana halnya dengan Mansoer, Hassan juga menentang kebiasaan orang-orang yang memohon kepada arwah orang yang sudah meninggal dengan tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan duniawi. Sebenarnya tawassul masih bisa dibenarkan sebagai bentuk upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sejauh hal itu dilakukan dengan mentaati semua perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Hassan menegaskan bahwa umat Islam harus membangun hubungan langsung dengan Allah, tanpa perantara, seperti arwah Nabi, para wali atau orang-orang yang dipandang suci lainnya (Hassan, 1958, 29).
Baik Mansoer maupun Hassan dapat dikelompokkan sebagai tokoh yang merepresentasikan era memperkokoh fondasi tauhid, dengan semangat purifikasi atau pemurnian akidah umat Islam dari semua unsur syirik dan keyakinan yang keliru. Melanjutkan era ini, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan Hamka (1908-1981), tokoh penting lainnya dari Muhammadiyah, telah melakukan terobosan baru dalam perkembangan pemikiran teologi di Indonesia. Hamka telah tampil sebagai representasi dari era rekonstruksi pemahaman doktrin Islam. Yang ia hadapi bukan lagi masalah adat-istiadat yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu, tetapi lebih banyak terkait dengan kemampuan manusia untuk memahami kebenaran itu sendiri. Dengan pendekatannya yang cukup spesifik, Hamka menekankan perlunya mempertahankan pemahaman yang benar tentang dasar-dasar keyakinan bagi kemajuan umat Islam dalam kehidupan duniawinya. Dalam pembahasannya tentang qadla dan qadar, misalnya, Hamka menegaskan bahwa ayat-ayat Qur’an yang menyatakan adanya ketentuan Tuhan (taqdir) bagi kehidupan manusia dimaksudkan untuk membangkitkan semangat umat Islam dan mempersatukan mereka dalam mencapai kemajuan kehidupan duniawi (Hamka, 1956, 77). Dengan demikian Hamka telah memperkenalkan suatu pandangan teologis yang radikal dengan menggunakan penafsiran yang rasional tentang qadla dan qadar. Dia menekankan bahwa pengaruh negatif dari doktrin fatalistik dan hilangnya semangat kebebasan kehendak (free will) telah membawa kepada kemalasan dan keterbelakangan bagi umat Islam di Indonesia. Ayat-ayat fatalistik yang terdapat di dalam al-Qur’an, dengan demikian, tidak harus dimaknai sebagai pembenaran atau memberi lisensi kepada umat Islam untuk menjadi pasrah (submissive) atau bersikap kekanak-kanakan dengan mengandalkan adanya perlindungan dari Tuhan. Pendapat serupa dikemukakan oleh A. Hassan dengan mengatakan bahwa melalui qadar (ketentuan) sebenarnya Allah telah menetapkan semua hal yang baik dan yang jahat. Tetapi manusia diberi kemampuan untuk memilih. Tanpa adanya keyakinan tentang kemampuan memilih secara bebas (free choice) ini maka orang mukmin akan kehilangan keteguhan moralnya yang diperlukan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan hanya akan menjadi apatis serta pasrah, tidak memiliki keinginan untuk mengambil inisiatif melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan. (Hassan, 1991, 21). Seorang Muslim harus selalu berusaha atau melakukan ikhtiyar untuk memperoleh kesejahteraan hidupnya, sebab hanya dia sendiri yang bertanggungjawab atas perbaikan hidupnya di dunia ini. Tuhan tidak akan mengubah nasib seorang manusia kecuali jika manusia itu sendiri berkehendak atau bertekat untuk merubahnya (Q.S. 13:11). Pemikiran teologis Hamka sebenarnya telah menjadi jembatan yang menghubungkan perkembangan wacana teologi Islam di Indonesia paling awal dengan perkembangan sesudahnya, yaitu yang dikembangkan oleh generasi tahun 1970-an, yang dipeloposri oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.
Namun demikian, berbeda dengan wacana teologi yang telah digariskan sebelumnya, perkembangan yang disebut terakhir ini memiliki arahnya tersendiri. Dalam banyak hal gerakan tersebut didukung oleh orang-orang yang tidak memiliki keterikatan langsung dengan organisasi atau gerakan pembaruan di atas. Hanya saja hal itu tidak harus diartikan bahwa tidak ada perkembangan lebih lanjut dari wacana teologis di kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Para sarjana dari kelompok pembaru ini masih terus mengembangkan wacana teologis mereka sesuai dengan karakter dan misi-visi gerakan yang mereka dukung. Secara umum gerakan kultural yang muncul di era 1970-an ini memiliki karakter sebagai gerakan non-sektarian, dengan penyajian gagasan yang lebih bernuansa akademik, dan dalam banyak hal lebih bersifat akomodatif terhadap program pembangunan dan proses modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal itu berbeda dengan sikap reaktif yang dikedepankan oleh kelompok modernis-skripturalis yang cukup dominan hingga akhir 1970-an.
Membangun Islam Kultural
Dalam kaitan ini Harun Nasution telah berjasa dengan usahanya untuk menampilkan Islam yang lebih moderat, terbuka bagi perbedaan budaya, dan tidak terperangkap dalam batasan madzhab yang sempit. Nasution juga telah berhasil mengembangkan pemahaman umat Islam tentang Mu’tazilah dan teologi rasional bagi upaya memajukan kehidupan umat Islam di Indonesia. Dia menegaskan bahwa apabila umat Islam ingin berhasil di dalam beradaptasi dengan modernitas maka mereka harus bersedia menggantikan faham teologis mereka dari Asy’ariyah ke Mu’tazilah. Faham Mu’tazilah dengan teologi rasionalnya, menurut Nasution, umat Islam bisa memasuki kehidupan modern dan mampu bersaing dengan kemajuan yang datang dari Barat, tanpa kehilangan sikap kesalehan yang menjadi watak dasar Islam tradisional (Martin, 1997, 165). Karena itulah Nasution menegaskan: “yang penting diperhatikan pada pembangunan di bidang agama ialah upaya mengubah sikap mental tradisional menjadi sikap mental rasional. Dengan kata lain, filsafat hidup tradisional yang masih dianut sekarang harus diganti dengan filsafat hidup yang bercorak liberal” (Nasution, 1996, 146).
Obsesi Nasution dengan memperkenalkan faham Mu’tazilah dalam konteks Indonesia modern memiliki dua makna penting: (1) Rasionalitas yang mengarahkan umat Islam untuk memiliki mental yang terbuka, sehingga mereka mau menerima liberalisme; dan (2) Pengakuan akan kemampuan manusia dalam pengertian Qadariah tentang faham kebebasan kehendak (Martin, 1997). Secara umum, Nasution telah menyelesaikan suatu tugas berat yang belum pernah bisa dilakukan oleh siapa pun sebelumnya. Dia telah melakukan suatu terobosan besar yang memungkinkan kalangan muda Muslim untuk menikmati kebebasan mereka dalam mengekpresikan pemahaman mereka tentang persoalan doktrin agama. Islam telah disuguhkan sebagai suatu objek kajian yang terbuka untuk dikritisi. Islam bukan lagi semata-mata doktrin teologis yang harus diterima dan dipatuhi. Melalui karya-karya Nasution, faham Mu’tazilah yang telah dilupakan banyak orang selama berabad-abad dan dipandang sebagai faham yang keliru mulai mendapatkan penghargaan kembali dan dikagumi (Nasution, 1996, 129, 138). Kegigihannya untuk menyebarluaskan ajaran Mu’tazilah, terlepas dari banyaknya kritikan ditujukan pada dirinya karena dianggap terlalu memihak kepada kelompok elit, telah dibantah sebagai suatu langkah yang amat perlu untuk jangka panjang. Menurut Nasution, hanya kelompok elit yang mampu memperbaiki citra Islam, terutama melalui keputusan politik yang mereka buat. Namun keputusan politik mereka ini tidak mungkin akan menguntungkan umat Islam kecuali jika mereka secara tulus mengikuti ajaran Islam. Tetapi kalangan elit ini akan menerima Islam secara lebih bersemangat jika Islam ditampilkan dalam format yang lebih canggih dengan muatan teologi rasionalnya, sesuai dengan semangat modernitas dan kemajuan.
Melanjutkan semangat Nasution, Nurcholish Madjid (l. 1939) tampil dengan gagasannya tentang bagaimana memperbaiki posisi umat Islam dalam konteks budaya Indonesia. Gerakan yang diusungnya, yang lebih dikenal dengan Neo-Modernisme Indonesia, telah memberikan kontribusi amat besar bagi perbaikan pemahaman umat Islam tentang konsep modernitas vis-Ã -vis komitmen keagamaan yang mendalam. Melalui gerakan ini Madjid berusaha untuk mereformulasikan landasan keimanan kepada Tuhan dalam hubungannya dengan manusia dan alam, dan cara yang harus ditempuh untuk menggariskan bentuk hubungan di antara masing-masing aspek ini dalam realitas sosial-politik yang ada. Oleh karena itu gerakan pembaruan yang ia canangkan merupakan elaborasi yang lebih canggih tentang konsep dasar ajaran Islam tetapi tetap sesuai dengan usaha-usaha meneguhkan modernisasi sistim politik dan kehidupan sosial di Indonesia.
Bagi Madjid, bagaimanapun, tugas terpenting yang harus diselesaikan oleh umat Islam Indonesia ialah bagaimana mereka bisa mengimplementasikan ajaran Islam secara tepat. Namun untuk dapat mengimplementasikan ajaran tersebut secara tepat, pertama-tama mereka harus memiliki pemahaman yang benar tentang doktrin agama mereka, dan kedua mereka juga harus memahami secara baik lingkungan di mana mereka akan mengimplementasikan ajaran itu, yaitu Indonesia (Madjid, 1992, lxvii). Madjid telah secara jelas memformulasikan gagasannya dalam konsep “Islam kultural,” yaitu Islam yang memiliki peran utama dalam kehidupan berbangsa sebagai sumber nilai etis dan pedoman pengembangan budaya (Hefner, 1993, 4). Di dalam mengembangkan gagasan tentang Islam kultural ini Madjid juga bertujuan untuk mengatasi ketegangan internal yang dialami umat Islam ketika dihadapkan dengan akselarasi pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Dia bersama para pendukung gagasannya telah sepakat untuk mengikuti aspirasi elemen bangsa yang lain, termasuk kalangan militer, teknokrat dan intelektual, untuk menciptakan Indonesia yang modern dan stabil secara politis. Dia menegaskan bahwa, sebagai konstituen utama dari bangsa ini, umat Islam harus secara aktif berpartisipasi di dalam proses transformasi sosial, yang dengan itu aspirasi umat akan mendapatkan kesempatan baru untuk berkembang lebih semarak lagi. Umat Islam juga harus melibatkan diri dalam proses modernisasi di mana pendekatan empiris dan ilmiah digunakan untuk menginterpretasikan pesan-pesan universal ajaran Islam, bagi kemajuan seluruh bangsa dengan mengacu pada kehidupan budaya mereka (Rahardjo, 1992, 31).
Baik Nasution maupun Madjid memiliki kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam dalam dimensi yang lebih luas, khususnya melalui upaya mereka untuk menjadikan Islam lebih bisa diterima di kalangan elit. Kemunculan mereka telah merepresentasikan suatu arah baru dalam perkembangan Islam di Indonesia, yaitu Islam yang terbebas dari kerangka sektarianisme dan faham ideologis-primordial. Dengan kata lain, mereka telah menawarkan Islam non-sektarian yang tidak diberi cap sebagai Muhammadiyah atau NU, dua “warna” utama Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa orang secara sah bisa menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim yang sebenarnya meskipun tanpa menggunakan label dua oraganisasi ini. Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini dicapai terutama karena adanya perbaikan dalam bidang pendidikan agama yang difasilitasi oleh pemerintah, di mana pengaruh Nasution dan Madjid serta para tokoh seaspirasi dengan keduanya, khususnya di lingkungan UIN dan IAIN/STAIN sangat menonjol. Pemerintah juga telah berhasil mempertahankan netralitasnya dari kedua kelompok sektarian di atas, sebab pendidikan agama yang difasilitasi oleh pemerintah telah menjadikan kabur batasan budaya antara kelompok modernis dan tradisionalis. Kaburnya batasan ini telah membawa hasil yang positif, berdasarkan kenyataan bahwa pendukung kedua belah pihak tidak bisa mengklaim dirinya lebih alim atau lebih taat dalam beragama, semata-mata karena dia mendukung kelompok tradisionalis atau modernis. Semua orang yang secara benar melaksanakan kewajiban agamanya dan menjaga kemurnian akidahnya serta dengan sungguh-sungguh menjauhi larangan agama adalah orang yang taat dalam beragama, terlepas dari warna organisasi atau kelompok sektarian yang diikutinya.
Hasil lain yang positif dari kaburnya batasan budaya antara kelompok modernis dan tradisionalis ini ialah semakin kecilnya kemungkinan munculnya konflik ideologis yang disebabkan oleh perbedaan faham, yang dalam beberapa hal ikut menciptakan kehidupan sosial umat Islam yang semakin kohesif. Mereka yang dulu terbiasa mencemooh rekannya karena praktik ritual yang dijalankannya atau karena perbedaan pandangan ideologisnya, sekarang dapat bersama-sama datang ke satu masjid untuk menjalankan ibadah atau mengikuti pengajian yang diselenggarakan di sana . Tetapi perkembangan yang jauh lebih signifikan dalam hal ini ialah sekarang sudah tidak ada lagi ancaman bagi seseorang untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang sebenarnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun-tahun 1960-an.
Upaya Membangun “Tradisi Besar”
Meskipun dihambat oleh kondisi sosial-politis yang tidak menyenangkan selama era Orde Baru (1966-1998), kecenderungan ke arah Islam yang lebih ortodoks (dalam pengertian yang lebih murni) masih terus berjalan. Hal itu juga menunjukkan bahwa perkembangan budaya santri telah menemukan momentum yang menentukan, dan bahkan mendapatkan dukungan dari berbagai elemen bangsa, termasuk dari pihak penguasa sendiri. Hanya saja dukungan ini baru sebatas pada pelaksanaan ritual tertentu atau pada tingkat kesalehan individual. Ini terutama karena penguasa Orde Baru menerapkan kebijakan ganda di dalam menghadapi umat Islam: Menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu, tetapi di sisi yang lain mencegah munculnya Islam politis. Pelaksanaan kegiatan keagamaan diberi dukungan yang kuat, bukan saja bagi umat Islam tetapi juga bagi penganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Pada awalnya, dukungan terhadap pelakasanaan kegiatan keagamaan ini dimaksudkan sebagai pertanda bahwa seseorang bukan pengikut ideologi Komunis yang dilarang. Ateisme, sebagai bagian tak terpisahkan dari ideologi Komunis, dinyatakan sebagai anti-Pancasila dan oleh karena itu dilarang. Para pelajar dan mahasiswa, baik negeri maupun swasta, harus mengikuti pendidikan agama. Departeman Agama diperkuat fungsinya dan dipimpin oleh tokoh-tokoh non-partisan, yang tidak terlibat dalam konflik ideologis sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya. Peran UIN/IAIN (dan STAIN) sebagai perguruan tinggi agama Islam telah diberi mandat yang lebih luas disertai pendanaan yang lebih besar.
Pada satu sisi sebenarnya umat Islam telah mendapatkan banyak manfaat dari perbaikan kultural yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru, khususnya dalam bidang pendidikan. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan rezim ini, ketika penguasa lebih memihak kepada kalangan etnis Cina dan kelompok nasionalis-sekuler, umat Islam tidak diberi banyak kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politik dan menumbuhkan perekonomian mereka. Dengan demikian pendidikan adalah satu-satunya peluang untuk memperbaiki nasib mereka. Berkat upaya penguasa Orde Baru dalam memperbaiki sistim pendidikan nasional, meskipun banyak kritikan diarahkan kepada kebijakan ini, pada kenyataannya kesempatan memperoleh pendidikan telah terbuka lebih luas bagi kebanyakan penduduk Indonesia. Lebih banyak lagi warga negara yang mampu menyekolahkan anak-anaknya, bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi, sehingga banyak di antara mereka yang terangkat status sosialnya ke level “kelas menengah.” Fenomena ini sering disebut sebagai embourgeoisement, dan sering dipandang sebagai salah satu keberhasilan penting yang dicapai oleh umat Islam di abad modern ini. Mereka yang termasuk dalam kelompok generasi baru Muslim yang terdidik ini sering digambarkan sebagai kelompok yang memiliki cara pandang (mindset) modern dan dalam banyak hal mereka mampu menduduki posisi-posisi penting di lembaga-lembaga modern serta mampu mengadopsi gaya hidup kelas menengah. Semuanya ini telah memberikan kontribusi yang besar bagi kebangkitan apa yang disebut sebagai “intelektual booming” dari kalangan muda Muslim yang memiliki kemampuan teknis tingkat tinggi (Anwar, 1992, 13).
Pada sisi yang lain, intelektual booming ini juga telah memungkinkan adanya mobilitas vertikal dan horizontal kelompok santri. Mobilitas horizontal ditandai dengan penyebaran kelompok Muslim profesional dalam berbagai macam bidang kehidupan, sedangkan mobilitas vertikal ditandai dengan perbaikan status sosial umat Islam secara lebih umum. Selain itu, di samping memperoleh manfaat dari ketrampilan managerial dan teknik yang mereka kuasai, sebagai seorang Muslim yang taat, mereka juga selalu mempertahankan komitmen keagamaan mereka. Kelas baru Muslim ini telah tampil ke permukaan sosial bersamaan dengan munculnya fenomena urban Islam yang direpresentasikan oleh kelompok santri dengan perolehan gaji yang tinggi, namun tetap taat menjalankan kewajiban agama mereka. Kelompok yang disebut terakhir ini menampakkan komitmen keagamaan mereka dengan menjalankan kewajiban ritual sehari-hari mereka di kantor atau tempat kerja mereka, yang dengan itu mereka telah menunjukkan peran sebagai “pemain dalam” (inner players). Setelah berlangsung sekitar dua dekade, peran mereka sebagai inner players telah mendatangkan hasil dalam bentuk mobilitas vertikal dalam proses Islamisasi. Pada tahun 1980-an fenomena ini dikenal dengan sebutan “Islamisasi birokrasi” yang selanjutnya berpengaruh pada pengaburan dikotomi santri – abangan yang pernah dipopulerkan oleh Clifford Geertz beberapa dekade sebelumnya (Castle, 1991). Sekarang seseorang yang menjalankan perintah agama Islam secara taat tidak perlu lagi dicurigai sebagai orang Islam yang fanatik. Ini merupakan ekpresi keagamaan yang sudah sangat umum dan bisa diterima oleh siapa pun sebagai konsekwensi dari keberadaannya selaku seorang Muslim yang sebenarnya.
Tradisi Besar dalam Manifestasi Islam Kultural
Apa yang telah diuraikan di atas telah menunjukkan betapa domain budaya santri telah secara perlahan mengembang dan meluas. Bersamaan dengan itu semakin tumbuh pula kesadaran di kalangan umat Islam sendiri tentang perlunya menjaga dan mengembangkan pandangan teologi yang inklusif dan pluralis. Ada beberapa faktor yang dapat digarisbawahi sebagai penyangga dari perluasan budaya santri yang sekaligus bermakna sebagai pertumbuhan ortodoksi Islam di Indonesia. Di bawah ini akan diuraikan secara garis besar perkembangan pandangan teologis umat Islam di Indonesia dari awal abad ke-20 hingga penghujung milenium kedua yang lalu. Pertumbuhan itu sekaligus dapat dimakani sebagai proses perkembangan dari tradisi kecil menjadi tradisi besar.
1. Usaha-usaha internal umat Islam untuk memberikan elaborasi yang lebih jelas tentang doktrin agama mereka. Usaha-usaha paling awal telah dilakukan oleh kalangan pembaru yang telah mencoba memberikan rumusan secara jelas tentang doktrin utama Islam, terbebas dari unsur-unsur bid’ah dan khurafat. Penggunaan bahasa daerah atau Indonesia untuk menjelaskan prinsip-prinsip keyakinan yang benar—dan tidak hanya bersandar pada sumber-sumber berbahasa Arab—telah memungkinkan ajaran Islam bisa difahami oleh kalangan yang lebih luas (Federspiel, 1999, 8). Begitu landasan ini telah dibangun, Harun Nasution tampil dengan memberikan komponen teologis yang lebih maju dan sistimatis. Upaya Nasution memperoleh sukses besar, khususnya karena adanya dukungan institusional yang diberikan oleh UIN/IAIN dan STAIN untuk menyebarluaskan ide-idenya. Kehadiran Nurcholish Madjid telah menyempurnakan perkembangan ini. Dia tidak hanya memperbaiki muatan dasar atau substansi teologis yang telah dibangun oleh Nasution tetapi juga lebih jauh telah memperluas landasan tersebut dengan menunjukkan bagaimana menempatkan pandangan teologis yang lebih canggih dalam konteks budaya yang bisa diterima oleh semua pihak dalam proses demokratatisasi yang terus berlangsung.
2. Keputusan politik tertentu yang tidak sengaja telah memberikan peluang bagi penyebaran Islam secara lebih luas. Selama masa pemerintahan Orde Baru, penguasa menerapkan kebijakan “floating mass” atau massa mengambang. Dengan kebijakan tersebut partai politik tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan politik pada tingkat desa atau kelurahan. Dengan demikian rakyat harus dijauhkan dari politik, dan hanya diharapkan hanya akan mendukung program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Mereka hanya diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dalam pemilihan umum, sekali dalam lima tahun. Bagi umat Islam, kebijakan ini telah memberikan kontribusi cukup besar untuk mereduksi munculnya konflik-konflik ideologis disebabkan oleh perbedaan afinitas ideologis primordial mereka. Dengan cara yang sama, penegasan pemerintah bahwa seluruh partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan harus didasarkan pada asas tunggal Pancasila sebagai ideologi negara, juga telah memberikan landasan bagi terciptanya tatanan masyarakat Islam yang lebih kohesif. Saat itu tidak ada lagi partai Islam yang dapat mengklaim dirinya sebagai representasi satu-satunya bagi kepentingan umat Islam di Indonesia. Klaim semacam itu dulu telah begitu sering menimbulkan konflik ideologis dan menyebabkan fragmentasi di dalam tubuh umat Islam sendiri. Mereka yang dulu terbiasa mencemooh kelompok lain karena menjalankan praktik-praktik ritual yang berbeda semata-mata karena perbedaan ideologis, kini mereka dapat bersama-sama ke masjid atau lembaga pendidikan yang sama, atau bersama-sama mendatangi majlis taklim dan pengajian di suatu tempat. Lebih penting dari itu semua ialah kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ancaman politis bagi mereka yang ingin menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang Muslim yang taat.
3. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama. Di samping perbaikan-perbaikan dalam bidang pendidikan secara umum sebagaimana disinggung di depan, pendidikan agama telah memberikan kontribusi sangat besar bagi kemajuan bangsa secara keseluruhan. Pelajar dan mahasiswa pada semua jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi, harus mendapatkan pendidikan agama secara intensif. Kalangan santri atau mereka yang memiliki keilmuan mendalam tentang ajaran Islam, dituntut untuk dapat memberikan pengajaran agama, bukan saja di pusat-pusat pengajaran agama tradisional seperti madrasah atau pesantren, tetapi juga di semua level lembaga pendidikan “sekuler” yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi Negeri juga telah semakin nyata menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan mengakomodasi kecenderungan mahasiswanya untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan agama yang lebih mendalam. Dana yang cukup banyak telah dialokasikan guna membangun mushalla dan masjid di sekolah dan kampus-kampus Perguruan Tinggi. Demikian pula kegiatan-kegiatan keagamaan tidak jarang diselenggarakan di pusat-pusat pendidikan umum dalam bentuk peringatan hari-hari besar Islam atau seminar ilmiah untuk mengkaji aspek doktrin maupun sosial dalam Islam. Sejalan dengan semangat itu pula kiranya kajian tentang Ekonomi Islam semakin diminati di Perguruan Tinggi Umum, seperti Universitas Brawijaya di Malang dan Universitas Airlangga di Surabaya, Jawa Timur. Demikian pula kenyataan bahwa tidak jarang dari kampus Perguruan Tinggi “sekuler” ini telah muncul para tokoh yang lancar berbicara tentang agama dan tampil sebagai juru dakwah atau menjadi pimpinan organisasi sosial-keagamaan, seperti Prof. Imaduddin Abdurrahim, Prof. Jalaluddin Rahmat, Prof. M. Amien Rais dan Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, sekedar menunjuk sebagian contoh.
4. Intensifikasi pelaksanaan dakwah. Di luar pendidikan agama formal yang diselenggarakan di sekolah dan kampus-kampus perguruan tinggi, tuntutan untuk mendapatkan pengajaran atau pengetahuan agama yang lebih mendalam juga dapat dipenuhi melalui kegiatan dakwah. Terlepas dari sifatnya yang “informal” dan tidak adanya “kurikulum” yang standar atau tingkatan yang terstruktur, kegiatan dakwah memiliki pengaruh secara langsung pada perbaikan kehidupan keagamaan sehari-hari. Justru dengan sifatnya yang informal itulah maka dakwah dapat dilaksanakan secara fleksibel di tempat dan waktu kapan pun yang memungkinkan. Karena itu pula dakwah memiliki daya tarik tersendiri dan dapat menyedot perhatian banyak orang, tergantung pada kemampuan retorika dan popularitas penyaji materi dakwah tersebut. Tampaknya intensitas pelaksanaan dakwah ini pula sisa-sisa animisme semakin berkurang dari praktik kehidupan umat Islam secar umum. Eldar Braten, misalnya, menunjukkan hasil kajiannya tentang tradisi slametan bahwa tradisi ini telah mengalami banyak transformasi sehingga menjadi semakin ‘ortodoks’ dalam pelaksanaannya. Para pemuka umat Islam, melalui kegiatan dakwah mereka, telah berhasil membersihkan tradisi slametan dari ritual pemberian sesaji dan penggunaan kemenyan yang menyimbulkan penghormatan kepada arwah para leluhur yang berbau animis. Lebih penting lagi, tradisi slametan telah berubah menjadi tahlilan sebagai istilah yang lebih umum dipakai, sebab inti ritual yang dilakukan adalah pembacaan tahlil, sebagai bagian utama dari syahadat umat Islam. Oleh karena itu, terlepas dari warna simbolisme berupa makanan yang disajikan dalam ritual tersebut, sudah tidak ada lagi sisa-sisa animisme, yang menandakan bahwa dalam proses transformasi tersebut, slametan telah berkembang menjadi lebih Islami. Demikian pula dengan berbagai ungkapan spontan yang dilontarkan oleh orang dalam rangka menjaga diri telah banyak berganti dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang diucapkan dalam bahasa Arab. Transformasi simbolis lainnya juga nampak di dalam acara berkunjung ke kuburan atau pemakaman. Di masa lalu orang suka menabur bunga di atas kuburan sebagai bentuk sesaji bagi orang yang sudah meninggal dan dikuburkan di pemakaman tersebut. Sekarang tradisi menabur bunga telah berubah makna menjadi sekedar mengekspresikan rasa hormat dan kasih sayang semata. Bahkan tidak sedikit orang yang meninggalkan kebiasaan seperti itu. Jika pada masa-masa sebelumnya berkunjung (ziarah) ke makam mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan berkah dari orang yang dimakamkan, sekarang, sesuai dengan pemahaman doktrin agama yang semakin mandalam, telah berubah menjadi sarana untuk mengingatkan diri seseorang tentang akhir kehidupannya, dan untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal tersebut untuk mendapatkan ampunan dari Tuhan. Dengan kata lain, orientasi keagamaan dalam melaksanakan ziarah kubur tersebut sudah semakin jelas dan telah beralih ke Tuhan secara langsung, tidak lagi berorientasi kepada nenek moyang atau leluhur seseorang. Lebih penting lagi, nama Allah selalu disuarakan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui pengeras suara di masjid-masjid, dalam pengajian, dalam kegiatan belajar mengaji yang diikuti oleh anak-anak, dan juga dalam acara tahlilan atau slametan (Braten, 1999, 165-70).
Semua realitas di atas telah menunjukkan secara jelas bagaimana Islam di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan mendekati bentuk ortodoksinya, baik dalam hal keyakinan maupun praktik kehidupan sehari-hari. Perkembangan menuju ortodoksi inilah sebenarnya yang dimaksud dengan proses menuju terciptanya “tradisi besar” (the greater tradition) dalam pemaparan paper ini. Hanya saja bentuk ortodoksi ini tidak serta merta dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mempertimbangkan realitas budaya yang sebenarnya dihadapi oleh umat Islam di negeri mereka masing-masing. Ini berarti bahwa keyakinan yang murni dan ortodoks saja tidak cukup. Islam harus dibawa “turun ke bumi” untuk merespon tuntutan riil budaya umat, tanpa mengorbankan integritas doktrin itu sendiri. Perkembangan Islam yang lebih dikenal dengan nama Islam kultural ini sekarang telah menjadi perhatian utama bagi kelompok yang menyebut dirinya sebagai Neo-Modernis. Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia telah berkembang menjadi semakin murni, mendekati tradisi asli agama itu sediri sebagai tradisi besarnya, tetapi ia tidak harus tercerabut dari akar budaya Indonesianya. Perkembangan menuju “the greater tradition” ini tidak lepas dari upaya-upaya perbaikan yang dilakukan dalam bidang pendidikan selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Sebenarnya dalam pengertian ortodoksi seperti inilah umat Islam di Indonesia, meminjam bahasa Akbar S. Ahmed, memasuki suatu tahapan kesadaran diri yang lebih mendalam dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan menekankan pada pendekatan kultural ini Islam telah ditampilkan dalam citranya yang lebih ramah, dan tidak perlu dikait-kaitkan dengan kekerasan atau bom dan pembakaran buku-buku (Ahmed, 1992, 35).
Bibliografi
Abdillah, Masykuri. 1998. “Alamsjah Ratu Perwiranegara: Stabilitas Nasional dan
Kerukunan,” dalam Azumardi Azra dan Saiful Umam (eds.), Menteri-
Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS-PPIM.
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise.
London and New York: Routledge.
Anwar, M. Syafii. 1992. “Islam, Negara dan Formasi Sosial dalam Orde Baru:
Menguak Dimensi Sosio-Historis Kelahiran dan Perkembangan ICMI.”
Ulumul Qur’an, vol. 8, no. 3 (Supplement).
Benda, Harry J. 1958. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the
Japanese Occupation 1942-1945. The Hague: W. van Hoeve.
Braten, Eldar. 1999. “To Colour, Not Oppose: Spreading Islam in Rural Java,” in Leif
Manger (ed.), Muslim Diversity: Local Islam in Global Context. Surrey,
England: Curzon Press.
Callan, Charles J. 1912. “Orthodoxy.” The Catholic Encyclopedia, vol. 11.
Castle, Lance. 1991. “Pasang Surut Usahawan Santri,” Jawa Pos, 18 March.
Cederroth, Sven. 1995. Survival and Profit in Rural Java: The Case of an East
Javanese Village. Surrey, the Great Britain: Curzon Press.
Federspiel, Howard M. 1970. Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University.
--------. 1999. “Muslim Intellectuals in Southeast Asia.” Studia Islamika, vol. 6, no. 1.
Hamka. 1956. Peladjaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hassan, Ahmad. 1958. At-Tauhid. Bangil: Persatuan Islam Bahagian Pustaka.
--------. 1991. Pengajaran Shalat. Bangil: Pustaka Tamaam.
Hefner, Robert W. 1993. “Islam, State and Civil Society: ICMI and the Struggle for
the Indonesia Middle Class.” Indonesia, no. 56.
Henderson, John B. 1998. The Construction of Orthodoxy and Heresy: Neo-
Confucian, Islam, Jewish and Early Christian Patterns. Albany: State
University of New York.
Madjid, Nurcholish. 1992a. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.
--------. 1992b. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Mansoer, K.H. Mas. 1970. Risalah Tauhid dan Sjirik. Surabaya: Peneleh.
Martin, Richard C, et al. 1997. Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from
Medieval School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld.
Nakamura, Mitsuo. 1983. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
--------. 1996. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution.
Bandung: Mizan.
Peacock, James. 1978. Muslim Puritans: Reformist Psychology in Southeast Asian
Islam. Berkeley: University of California Press.
Rahardjo, M. Dawam. 1992. “Islam dan Modernisasi: Catatan Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid,” an introductory remark to Madjid’s Islam Kemodernan
dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. 1985. “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” in
Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson:
The University of Arizona.
Watt, Montgomery. 1973. The Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Woodward, Mark R. 1989. “The Slametan: Textual Knowledge and Ritual
Performance in Central Java Islam.” History of Religion, vol. 28, no. 1.
Tajdid Pemikiran
TAJDID PEMIKIRAN
DAN WACANA MEMBANGUN “THE GREATER TRADITION”
Dalam Persyarikatan Muhammadiyah
Oleh Fauzan Saleh*)
Hari-hari ini kita menyaksikan saudara kita, kalangan nahdliyin, sedang “ribut” menggelar gawe besar, muktamar NU ke-31, di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Sejak dua dekade yang lalu, dalam setiap muktamar seperti ini, mereka disibukkan oleh persoalan keharusan menjaga konsistensi khitah 1926 sebagai landasan gerak jam’iyah ini. Pada dasarnya wacana yang berkembang menghendaki agar NU tidak kehilangan jati dirinya sebagai jam’iyah diniyah dengan mengembalikan karakter organisasi kepada khittah yang disakralkan ini. Kontroversi selalu muncul dan orang dibuat tersedot perhatiannya untuk membicarakan soal yang satu ini, khususnya ketika kelompok elit mereka selalu tergoda untuk membawa organisasi ini ke kancah politik, atau cenderung untuk menjadikannya sebagai kendaraan politik.
Saya tidak berpretensi ingin membandingkan “keributan” NU dalam membahas khittah dengan kalangan Muhammadiyah, yang sedang punya gawe besar juga, dalam mengupas soal tajdid. Namun atensi publik dari konstituen kedua organisasi ini tampak tidak jauh berbeda terhadap kedua isu tersebut, khittah 1926 dan tajdid. Tajdid, seolah-olah telah menjadi trade mark dan karakter dasar pergerakan Muhammadiyah sejak awal kelahiran persyarikatan ini. Oleh karena itu, sampai kapan pun tajdid tidak bisa lepas dari Muhammadiyah, sehingga sekarang orang masih terus mencari-cari relevansi tajdid dalam konteks bermuhammadiyah di awal millenium ketiga ini. Mungkin ada semacam kekhawatiran jika tajdid tidak direvitalisasi, Muhammadiyah akan kehilangan jati dirinya.
Suatu kajian yang cukup komprehensif mengenai tajdid saya dapatkan dalam bukunya Dr. Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (2004), khususnya pada. Bab I. Tajdid dalam hal ini memiliki makna “pembaharuan” atau “reformasi” yang erat kaitannya dengan makna revivalisme, purifikasi, dan sekaligus modernisasi, sesuai dengan konteks zaman dan budaya yang memunculkannya. Tajdid dalam Islam memiliki landasan teologis yang cukup valid, seperti diyakini bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya seorang pembaharu bagi agama ini pada setiap seratus tahun. Di samping itu tajdid sangat dibutuhkan dalam rangka merevitalisasi kehidupan keagamaan dan menyegarkan semangat umat, setelah berbagai faktor sosial-politik dan ekonomi mengakibatkan kejenuhan dan melemahkan gairah keagamaan yang ditimbulkan oleh berbagai penyimpangan. Perlu ditambahkan bahwa Islam, sebagaimana diklaim juga oleh Yahudi dan Kristen, adalah agama yang sangat peduli terhadap kemurnian doktrinnya. Upaya mempertahankan kemurnian doktrin ini menjadi sangat menonjol dan telah memunculkan banyak tokoh yang dikenal sebagai heresiographers, semisal al-Asy’ari, al-Ghazali, al-Baghdadi, al-Syahrastani dan lain-lain. Mereka telah menuliskan karya-karya yang sangat berpengaruh dalam menunjukkan kepada umat Islam doktrin agama yang “standar” dan baku, terlepas dari berbagai bentuk penyimpangan.
Dalam bahasa agama, para tokoh ini telah mengupayakan berlangsungnya proses “ortodoksifikasi” dalam Islam, seperti diistilahkan oleh Fazlur Rahman. Ortodoksi sendiri merupakan suatu istilah yang sangat umum dalam semua agama, dan dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan antara ajaran yang benar dan yang salah, yang murni dan yang sudah menyimpang. Memang istilah ortodoksi itu sendiri tidak memiliki padanannya dalam bahasa Arab dan tidak memiliki tempat dalam Islam. Namun hampir tidak mungkin untuk mengatakan bahwa konsep itu tidak dikenal di kalangan umat Islam. Dengan merujuk kepada pengertian umum tentang ortodoksi sebagai keyakinan yang benar dan murni sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi—tidak dicampuri oleh unsur-unsur asing yang berasal dari luar Islam—maka dapat dimengerti jika umat Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap konsep ini. Dalam hal ini Muhammadiyah, melalui gerakan tajdidnya, jelas sangat peduli terhadap upaya-upaya menjaga kemurnian doktrin dan praksis keagamaan dengan mengeliminir semua bentuk penyimpangan yang diistilahkan dengan takhayyul, bid’ah, dan khurafat. Inilah fakta yang amat fenomenal dari persyarikatan ini sejak awal berdirinya, tahun 1912.
Seperti telah banyak dibahas oleh para pengamat, di dalam mengembangkan misi tajdidnya, Muhammadiyah sejak awal berusaha memudahkan pemahaman keagamaan bagi konstituennya. Islam yang murni adalah agama yang cukup sederhana, simpel, rasional dan tidak dibebani oleh tradisi-tradisi yang menjadikan agama ini sangat absurd. Karena itulah Muhammadiyah mempelopori adanya khutbah berbahasa Indonesia (atau Jawa), penerangan agama untuk publik (baca: pengajian umum), dan menerjemahkan teks-teks suci keagamaan ke dalam bahasa lokal. Sekali lagi ini dimaksudkan agar umat Islam lebih mudah memahami hakekat doktrin agamanya. Ini merupakan terobosan yang, untuk konteks waktu itu, tergolong radikal. Masih sangat kuat anggapan sebagian besar umat Islam di Indonesia bahwa khutbah Jum’at, sebagai suatu ritual yang sakral, hanya boleh disampaikan dalam bahasa Arab, meskipun isinya tidak bisa difahami oleh jama’ah yang hadir. Karena itulah pemahaman keagamaan menjadi sangat lambat, untuk tidak mengatakan mandeg. Bahkan pengajaran agama di pesantren hampir seluruhnya disampaikan dengan menggunakan teks-teks berbahasa Arab yang berasal dari tulisan para ulama’ abad tengah yang konteks sosial-budayanya sudah terlalu jauh dari pengalaman sehari-hari masyarakat kita. Merubah metode pengajaran seperti itu dianggap haram dan menyimpang, dan oleh karena itu ditentang habis-habisan. Sebagian besar pemuka agama di tanah air ketika itu memandang inovasi-inovasi kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai sesuatu yang tidak benar dan, akibatnya, menimbulkan banyak ketegangan antara kedua belah pihak.
Dengan memberikan pemahaman yang mudah dan sederhana seperti itulah sebenarnya persyarikatan Muhammadiyah mengajak umat Islam di Indonesia untuk dapat menjalankan agamanya dengan benar, sesuai dengan semangat dan dinamika asli yang diajarkan oleh agama itu. Para pemuka Muhammadiyah awal, terinspirasi oleh gerakan-gerakan pembaharuan yang sudah bermunculan sejak abad kesembilanbelas di berbagai belahan dunia, merasa sangat prihatin terhadap keterpurukan umat Islam di negeri ini. Mereka kemudian melakukan berbagai ijtihad untuk mengatasi keterpurukan itu dengan berusaha menggali kembali semangat dasar yang diajarkan oleh agama ini. Mereka yakin bahwa Islam tidak menghendaki umatnya menjadi tertindas dan terpuruk, jatuh di bawah hegemoni bangsa Barat yang kafir. Mereka juga percaya bahwa jika ajaran Islam difahami secara benar maka umat Islam akan tampil sebagai bangsa yang maju. Islam tidak harus identik dengan ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan. Selain itu, mereka percaya bahwa hanya dengan keyakinan yang benar dan murni mereka akan mampu merasionalisasikan ajaran-ajaran pokok agama mereka dan dapat beradaptasi dengan kehidupan modern yang semakin maju.
Mulai saat itu muncullah jargon-jargon penuh semangat membangkitkan kesadaran umat Islam, agar mereka mau berusaha untuk keluar dari keterpurukan dan keterbelakangan. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari berbagai battle cry yang diambil dari al-Qur’an, seperti “Allah tidak akan merubah kondisi atau nasib suatu bangsa, jika bangsa itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubah dirinya” (Q.S. 13:11), “Berlomba-lobalah dalam kebaikan” (Q.S. 2:148, 5:48), “Kamu adalah sebaik-baik umat” (3:110), “Nun, demi qalam dan apa yang mereka tuliskan” (68:1), dan lain-lain. Ayat-ayat ini telah menjadi jargon penggugah semangat yang sangat efektif untuk melakukan tajdid, menyegarkan jiwa, dan meningkatkan kesadaran keagamaan umat. Jargon-jargon ini pula yang kemudian menjadi tema utama dari wacana pembaharuan yang dilancarkan oleh para kader persyarikatan, dan akhirnya menjadi karakteristik yang membedakan gerakan ini dari gerakan keagamaan lain yang bermuculan setelah kelahiran Muhammadiyah. Demikianlah, seperti diakui sendiri oleh kalangan tradisionalis, jika Muhammadiyah banyak mengusung tema-tema perubahan dan semangat pembaharuan—dengan mengacu pada ayat-ayat di atas—kelompok tradisionalis, sebaliknya, lebih suka mengangkat tema-tema keakhiratan, tawakal, dan submisifme dalam beragama untuk materi khutbah atau ceramah keagamaan mereka.
Secara teologis, perkembangan wacana tajdid oleh persyarikatan Muhammadiyah sejak awal berdirinya dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut.
1. Dimulai dari penjabaran dasar-dasar keimanan berbahasa Arab disertai penjelasannya dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan dalil-dalil tekstualnya seperti tertuang dalam “Kitab al-Iman” dari Himpunan Putusan Tarjih (mula-mula dirumuskan tahun 1929). Meskipun kelihatan sederhana, penjabaran ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran umat tentang keyakinan yang harus mereka ikuti, sehingga mereka akan meluruskan jalan hidup mereka sesuai dengan doktrin agama yang benar dan membebaskan diri mereka dari berbagai keyakinan palsu yang berasal dari tradisi lokal, yang bertentangan dengan doktrin Islam.
2. Pada tahapan berikutnya tampil K.H. Mas Mansoer (w. 1949) dengan rumusan purifikasi yang tegas. Mansoer menekankan bahwa untuk memperkokoh aqidah umat Islam mereka harus menjauhkan diri dari unsur-unsur politeisme yang secara tidak sadar dijalankan oleh umat Islam. Padahal, unsur-unsur politeisme yang berasal dari tradisi lokal itu telah menyebabkan kelemahan dan keterbelakangan umat Islam selama ini. Dalam risalahnya yang cukup sederhana, Risalah Tauhid dan Sjirik, dia mengkritisi kebiasaan meminta-minta kepada arwah orang yang sudah meninggal untuk keperluan duniawi, seperti mengobati penyakit, mendapatkan jodoh, mencari kekayaan, dan lain-lain. Praktik seperti itu, menurut Mansoer, jelas-jelas perbuatan syirik, sebab orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada pihak lain selain Tuhan. Dengan kata lain orang tersebut telah mempercayai adanya kekuatan lain di luar Tuhan yang mampu memenuhi permohonannya. Perbuatan seperti itu, menurut Mas Mansoer, jelas-jelas yirik. Di luar Muhammadiyah upaya purifikasi serupa juga dilakukan oleh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam melalui tulisan dan karya-karyanya, khususnya penentangannya terhadap konsep tawassul yang sudah terlalu banyak disalahartikan oleh umat Islam di Indonesia sehingga menjurus ke arah kemusyrikan. Tawassul memang masih mendapatkan legitimasi dalam agama, sejauh hal itu dilakukan dengan benar, yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan mentaati seluruh perintah-Nya. Hassan ingin menegaskan bahwa manusia harus membangun hubungan secara langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara, seperti melalui roh orang-orang yang sudah meninggal. Kedua tokoh ini, Mansoer dan Hassan, dapat dipandang sebagai representasi dari era penegasan dasar-dasar akidah, dengan memurnikan keyakinan dari elemen-elemen politeisme yang banyak menjangkiti perilaku keagamaan umat Islam saat itu.
3. Pada era berikutnya, Hamka (1908 – 1981), tampil sebagai sosok yang mampu membuka terobosan baru dalam mengembangkan wacana tajdid di persyarikatan ini. Dia dapat dipandang sebagai representasi dari era rekonstruksi pemahaman umat Islam tentang agamanya. Wacana yang dikembangkan Hamka bukan lagi masalah adat yang bertentangan dengan kebenaran wahyu, tetapi sudah menyangkut kemampuan akal manusia untuk memahami kebenaran. Dia menekankan perlunya umat Islam memiliki pemahaman yang benar tentang doktrin agama mereka bagi kemajuan kehidupan duniawi mereka. Dalam uraiannya tentang qadla’ dan qadar, misalnya, Hamka menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan masalah taqdir adalah dimaksudkan untuk membangkitkan semangat umat Islam dan sekaligus menyatukan mereka dalam satu tujuan yang sama untuk mencapai kemajuan. Hamka, dengan demikian, telah mempelopori suatu pandangan teologis yang cukup radikal dengan mengadopsi suatu penafsiran yang rasional tentang keyakinan pada qadla’ dan qadar ini. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa pengaruh negatif dari doktrin fatalisme dan hilangnya jiwa kebebasan kehendak (free will) telah mengakibatkan umat Islam di Indonesia jatuh ke dalam keterbelakangan dan keterpurukan. Oleh karena itu, ayat-ayat fatalistik yang terdapat di dalam al-Qur’an seharusnya tidak dimaknai untuk memberikan lisensi pada umat Islam untuk bersikap submissive, serba pasrah, atau berjiwa kekanak-kanakan dengan mengandalkan akan memperoleh perlindungan dari Allah. Mereka dituntut untuk berusaha, melakukan ikhtiyar, guna mendapatkan kesejahteraan duniawi mereka. Penegasan Hamka ini tidak lepas dari pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an yang telah disinggung di muka, bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubah nasib mereka. Dalam mengutarakan pemikirannya seperti tersebut di atas, Hamka memang tidak sendirian. Selain Hamka, layak disebut beberapa tokoh lain di lingkungan Muhammadiyah, seperti H.A. Malik Ahmad dan Abd Rahim Nur, sekedar untuk menyebut beberapa contoh. Mereka ini juga memiliki persepsi tidak jauh berbeda dengan Hamka dalam memaknai qadla’ dan qadar, dan mengusung semangat yang sama dalam menekankan pentingnya merombak pola fikir umat agar tidak terjebak dalam stigma fatalisme dalam menyikapi kehidupan. Namun konsepsi Hamka yang tersebar luas melalui karya monementalnya, Tafsir al-Azhar, layak merepresentasikan semangat zamannya. Di samping itu, wacana yang ditawarkan oleh Hamka ini pada hakekatnya merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara perkembangan pemikiran teologis sebelumnya (baca: Kitab al-Iman Himpunan Putusan Tarjih, Mas Mansoer, Hassan), dengan perkembangan pemikiran yang terjadi sesudanya di tangan para sarjana yang kebanyakan adalah produk pendidikan tinggi di Barat dan memiliki komitmen untuk tetap berkhidmah di persyarikatan.
4. Pada tahapan keempat ini tampil tokoh-tokoh yang telah mampu memadukan pemikiran teologis mereka dengan perkembangan ilmu-ilmu modern, yang memberikan spektrum lebih luas terhadap pemahaman doktrin Islam dalam konteks kekinian. Banyak tokoh yang layak disebutkan di sini, seperti M. Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Muslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah, dan Abdul Munir Mulkhan. Mereka telah menelorkan berbagai produk pemikiran dalam karya-karya yang cukup signifikan dan memiliki pengaruh luas bagi perkembangan wacana teologis di lingkungan persyarikatan dan di luarnya. Di sini tidak perlu dirinci lebih jauh tentang ide-ide dasar yang telah mereka tawarkan dan telah memperkaya khazanah pemikiran umat secara lebih luas. Sekedar menyebut sebuah contoh, tawaran M. Amien Rais tentang Tauhid Sosial dan Membangun Politik Adiluhung, kiranya perlu diperhitungkan lebih cermat untuk memaknai wacana tajdid pemikiran kali ini. Perlu ditekankan pula di sini bahwa seluruh rangkaian wacana teologis mulai dari penjabaran arkan al-iman dalam “Kitab al-Iman” hingga “Tauhid Sosial” ini merupakan suatu continuum yang tak terpisahkan. Semuanya merupakan suatu rangkaian yang menunjukkan adanya perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan tahapan sebelumnya merupakan landasan yang harus diciptakan untuk memberikan akses bagi perkembangan berikutnya.
Demikianlah, jika dewasa ini kita melihat kegelisahan anak-anak muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), maka kegelisahan semacam itu adalah suatu hal yang positif dalam rangka mengaktualisasikan diri di tengah kekayaan wacana yang telah berkembang begitu pesat, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di luar itu. Mereka bukan saja merasa tertantang oleh superioritas wacana yang ditampilkan oleh para senior mereka, tetapi juga oleh dinamika dan progresifitas pemikiran yang cenderung liberal yang dimunculkan oleh saudara-saudara mereka di kalangan muda nahdliyin dan kelompok-kelompok lain. Demikian pula dengan munculnya berbagai tuntutan yang memerlukan responsi cepat seperti perlunya merealiasikan dakwah kultural yang hingga kini belum menemukan formatnya yang jelas. Mungkin kelompok inilah yang cukup berhasil mengekspresikan kepekaan mereka terhadap pentingnya dakwah kultural ini. Mereka menyadari betul perlunya mengimplementasikan ajaran Islam dengan cara mengapresiasi realitas kultural secara konstruktif, rasional dan objektif, tanpa terjebak dalam sindroma menjauhi, memusuhi, atau bahkan menolaknya dengan alasan budaya seperti itu akan merusak kemurnian akidah.
Di sinilah persoalannya. Jargon purifikasi yang mendasari gerakan tajdid di kalangan Muhammadiyah selama ini ditengarai telah membawa nuansa keagamaan yang kering, rigid dan kurang imajinatif. Tidak jarang timbul kesan Muhammadiyah menjadi asing dengan budaya yang berkembang di masyarakat, sementara ia sendiri tidak bisa memberikan alternatif model budaya Islami mana yang paling sesuai untuk dikembangkan di tanah air. Persoalan yang mendasar ini kiranya sudah cukup terlambat untuk disadari oleh para pemuka persyarikatan, sebab baru pada awal abad ke-21 ini saja wacana tentang dakwah kultural dimunculkan secara eksplisit. Dibandingkan dengan kelompok tradisionalis, dalam menangani budaya lokal ini Muhammadiyah jelas kurang beruntung. Dari sudut pandang teologis Muhammadiyah sudah memposisikan diri pada sikap aloof atau mengambil jarak, sebagai konsekwensi logis dari seruannya untuk mengedepankan kemurnian doktrin Islam, meskipun untuk keperluan tersebut tidak identik dengan membuang jauh-jauh semua bentuk peradaban lokal dan menjadikan Islam di Indonesia persis betul dengan format budaya Islam Timur Tengah. Oleh karena itu harus diakui bahwa kalangan tradisionalis lebih diuntungkan sebab mereka tidak memiliki beban psikologis yang terlalu berat untuk akrab dengan kalangan grass root dan tradisi abangan, dengan corak budayanya yang bermacam-macam. Mereka mampu menawarkan atmosfir keagamaan yang lebih sejuk dan imajinatif, tidak kering dan rigid. Ini, antara lain, karena mereka cukup kental dengan tradisi Sufisme yang menjadi ciri keberagamaan mereka, meskipun dalam hal ini berbagai kritik cukup sering dilontarkan.
Membawakan Islam yang murni ke tanah air memang suatu kebutuhan dan, bagi Muhammadiyah, merupakan suatu tuntutan tajdid serta sudah menjadi keniscayaan sejarah yang tak bisa dihindari. Namun Islam yang murni saja tidak cukup. Ia harus dibawa turun pada realitas kongkrit yang dihadapi umat manusia yang akan menerima doktrin itu. Sangat tepat sekali ungkapan yang disampaikan Nurcholish Madjid, bahwa ada dua tugas utama bagi umat Islam Indonesia untuk dapat berperan secara konstruktif dalam membangun kehidupan sosial-budaya dan politik di negeri ini: Pertama adalah memahami doktrin agamanya secara benar, dan yang kedua memahami karakter budaya masyarakat di mana doktrin agama itu akan diterapkan. Tanpa itu, Islam akan tetap mengawang-awang, tidak membumi, dan tidak banyak memberi makna pada upaya peningkatan kualitan kehidupan umat manusia di negeri ini.
Dalam kurun waktu satu dekade ke depan, insya Allah Muhammadiyah akan genap berusia satu abad. Berbahagialah warga persyarikatan yang dapat menyaksikan peringatan satu abad Muhammadiyah, tahun 2012 yang akan datang. Sementara itu pergulatan pemikiran terus berlangsung dengan dinamika yang semakin tinggi. Masalah tajdid yang selalu menjiwai gerak langkah persyarikatan harus terus dilaksanakan secara konsisten. Untuk itulah tajdid dalam konteks pemikiran ini harus selalu mendapat perhatian dari para kader. Perlunya tajdid dalam bidang pemikiran ini ialah agar Muhammadiyah selalu dapat menawarkan konsep-konsep baru sesuai dengan dinamika yang dihadapi umat dalam realitas berbangsa dan berbudaya. Sesuai dengan karakter dasar dari persyarikatan ini maka tajdid pemikiran tersebut sebenarnya telah memiliki landasan yang cukup kokoh, khususnya jika dirujukkan pada pandangan teologis yang diadopsi oleh persyarikatan ini.
Sebagaimana halnya dengan kelompok-kelompok lain umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah secara teologis menganut faham Sunni dan mengikuti ajaran Ahl al-Haqq wa’l-Sunnah, seperti tertera dalam buku Himpunan Putusan Tarjih. Arah pembaharuan yang dijalankan oleh persyarikatan ini, dengan mengacu pada prinsip di atas, adalah bagaimana membangun konsistensi dalam menjalankan doktrin agama, tanpa mengabaikan faktor sosial-budaya masyarakat penerima doktrin itu. Kalau di atas diuraikan kecenderungan kaum tradisionalis yang sangat akomodatif terhadap budaya lokal—dan dengan begitu mereka lebih diuntungkan—maka sebenarnya Muhammadiyah tidak terlalu “dirugikan” dengan konsistensi teologis cum-tajdid yang dibangunnya. Dapat dibayangkan akan menjadi seperti apa Islam yang berkembang di Indonesia seandainya Muhammadiyah tidak pernah lahir di negeri ini. Mungkin tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di beberapa wilayah di Amerika Tengah, di mana Islam tinggal simbol-simbol seremonial dan tradisi keagamaan populer yang sudah tercerabut dari akar doktrinnya. Hal itu terjadi akibat proses Islamisasi yang tidak pernah berjalan sempurna, karena terputus dari sumber ortodoksi Islam di Timur Tengah. Jika gerakan purifikasi tidak pernah dilancarkan oleh Muhammadiyah maka yang akan dominan di sini adalah Agami Islam Jawi—meminjam istilah Koentjaraningrat, atau Islam singkretis yang didominasi oleh spiritualisme Jawa, dan Islam selamanya akan menjadi lapisan tipis di atas tradisi Hindu-Buda dan Animisme yang sangat kokoh (a light veneer of symbols attached to a solid core of animistic and Hindu-Buddhist meaning). Jadi Muhammadiyah dengan gerakan tajdidnya telah berhasil mendekonstruksi tradisi keislaman yang selama berabad-abad didominasi oleh unsur-unsur asing yang berasal dari ajaran animisme dan Hindu-Budisme, untuk dikembalikan kepada semangat dan karakternya yang asli.
Di sisi lain, kehadiran Muhammadiyah telah berhasil merombak performance dan citra Islam di mata kelompok elit. Di mata penguasa, Islam pada awal abad keduapuluh tidak lebih dari sampah tradisi yang terus dibawa-bawa sepanjang sejarahnya sejak abad tengah. Citra Islam yang buruk seperti itulah yang dicekokkan penguasa Belanda kepada elit Jawa agar mereka semakin jauh dari Islam, dan lebih memihak kepada penguasa kolonial. K.H. Ahmad Dahlan melihat kondisi tersebut sebagai sebuah tantangan yang harus direspon dengan tepat. Oleh karena itu dia mengarahkan gerakannya untuk dapat merangkul kalangan elit, agar mereka tidak terlalu alergi terhadap Islam. Kyai Dahlan berusaha menampilkan Islam yang maju, rasional, progresif dan mencerahkan, dengan mengadopsi ide-ide pembaruan dari Timur Tengah serta bersikap akomodatif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan modern ala Barat. Ketika Islam ternyata dapat ditampilkan dalam format yang modern dan mampu beradaptasi dengan kemajuan seperti itulah maka sedikit demi sedikit kalangan priyayi mulai menunjukkan simpatinya pada Islam. Bahkan, dalam banyak kasus, Islam mampu mengukuhkan jati diri mereka sebagai pemimpin rakyat, dan akhirnya menjadi simbol perlawanan mereka terhadap penguasa kolonial itu.
Nurcholish Madjid, di hadapan K.H. A.R. Fakhruddin, di awal tahun 1980-an, pernah menyatakan indebtedness-nya pada Muhammadiyah. Dia menyatakan banyak belajar dari Muhammdiyah dalam menyikapi penguasa yang otoriter dan selalu berusaha memarjinalkan posisi umat Islam di tanah air. Selama berpuluh-puluh tahun umat Islam selalu disudutkan sebagai kelompok yang hanya beraspirasi untuk mendirikan negara Islam, dan itu berarti menjadi musuh negara. Dia berkesimpulan tidak ada salahnya untuk mengambil langkah mundur beberapa jengkal ke belakang, agar kelak dapat melompat lebih jauh ke depan. Prinsip itulah yang ia pegangi untuk menawarkan konsepnya tentang gerakan Islam kultural, terlepas dari fanatisme ideologis yang selalu dilekatkan oleh penguasa kepada para pemimpin umat sebelumnya. Dia mencoba menawarkan gerakan yang lebih akomodatif dan membuka kemungkinan untuk bisa bekerjasama dengan elemen bangsa yang lain, termasuk kalangan tehnokrat, birokrasi dan (waktu itu) ABRI. Dia berusaha menampilkan Islam yang bisa diterima oleh kalangan elit penguasa dan, seperti yang dicontohkan oleh Kyai Dahlan, menjadikan para pemimpin elit tidak alergi terhadap Islam. Didukung oleh kekuatan kaum intelektual, khususnya yang dimotori Harun Nasution, gerakan kultural ini mampu menyajikan Islam yang lebih ramah dan bisa diterima oleh fihak-fihak yang lebih luas, tanpa beban psikologis yang terlalu berat. Untuk menjadi Muslim yang baik, dalam atmosfir ini, tidak harus menjadi anggota organisasi keagamaan atau Partai Islam tertentu. Islam bisa diakses secara lebih terbuka oleh siapa saja. Gerakan kultural seperti itu layak untuk menjadi agenda kita bersama, agar Islam tidak menjadi agama kaum pinggiran.
Di sini penulis tidak bermaksud menyarankan agar Muhammadiyah meniru apa yang berhasil dilakukan oleh orang lain. Muhammadiyah sejauh yang saya tahu, telah menggariskan platform gerakannya sendiri berdasarkan landasan teologis yang kuat. Keberhasilan amal usaha yang merambah berbagai sektor kehidupan sosial ekonomi dan budaya menunjukkan betapa persyarikatan ini tetap menguasai medan dan “memenuhi tuntutan pasar.” Kegelisahan kader-kader muda persyarikatan, sebagaimana diungkapkan di atas, menunjukkan betapa mereka berusaha merebut ruang ekspresi yang lebih luas. Dibandingkan dengan kalangan muda NU yang telah membentuk jaringan yang cukup mapan dan luas, kehadiran JIMM hendaknya tidak didasari niat untuk “memberontak” pada tatanan yang digariskan oleh Muhammdiyah. Jika kehadiran jaringan anak-anak muda NU diidentikkan dengan les enfants terribles, maka JIMM, terlepas dari bentuk wacana yang mereka tawarkan, hendaknya tetap berada dalam bingkai pengembangan tajdid pemikiran yang bermanfaat baik bagi persyarikatan maupun umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Mereka tidak perlu meniru predikat les enfants terrible tersebut, sebab kondisi kelahiran serta bentuk hubungan mereka dengan induknya tidak persis sama dengan kelahiran anak-anak muda NU tersebut. Di sini perlu digarisbawahi kiranya bahwa suasana egalitarianisme (musawah) yang menonjol di kalangan anggota Muhammadiyah akan sangat bermanfaat untuk mendinamisasikan tajdid pemikiran. Sejauh yang saya tahu, Muhammadiyah menentang berkembangnya religious feudalism and spiritual slavery.
Dengan semua potensi yang dimiliki Muhammadiyah berupa tradisi, kelembagaan dan sejarah yang mengantarkannya menjadi seperti apa yang ada sekarang ini sebenarnya persyarikatan ini telah memainkan peran yang amat penting dalam membangun “tradisi besar” (the greater tradition) bagi perkembangan Islam di Indonesia. Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mengarahkan perhatiannya agar Islam yang berkembang di Indonesia tidak didominasi oleh tradisi-tradisi lokal sehingga agama ini kehilangan elan vital-nya. Kehadiran persyarikatan ini sejak hampir satu abad yang lalu telah memelopori bangkitnya semangat keagamaan yang didasarkan pada rasionalitas dan keinginan untuk meraih kemajuan, dengan tetap memperhatikan tuntutan riil kehidupan manusia abad modern, agar agama tidak terpinggirkan. Pasang surut perkembangan pergerakan ini telah menghantarkan umat Islam pada keyakinan bahwa kemampuan merasionalisasikan doktrin agama (baca ijtihad) dalam konteks kemajuan zaman telah membantu menciptakan kondisi di mana Islam bisa diterima secara lebih luas dan meningkatkan citra agama itu sendiri. Pada perkembangan lebih lanjut, semangat seperti itu ternyata tidak hanya dimiliki oleh warga Muhammadiyah saja. Keinginan agar Islam menjadi milik warga bangsa dengan nilai-nilai kultural yang bisa diserap secara mudah semakin mewarnai semangat pemikiran keagamaan yang dimunculkan oleh perorangan maupun kelompok. Sebenarnya Muhammadiyah telah memelopori terciptanya bangunan tradisi keagamaan yang lebih besar di negeri ini. Namun ia tidak boleh ketinggalan dari kelompok lain ketika kejenuhan sudah mulai menggayuti kreatifitas berfikir para kader mudanya. Di sini tajdid pemikiran harus dikembangkan dengan mengarahkan perhatian para pemimpin dan kadernya kepada faktor-faktor kultural di mana Islam ini akan terus dijadikan anutan oleh warga bangsanya.
DAN WACANA MEMBANGUN “THE GREATER TRADITION”
Dalam Persyarikatan Muhammadiyah
Oleh Fauzan Saleh*)
Hari-hari ini kita menyaksikan saudara kita, kalangan nahdliyin, sedang “ribut” menggelar gawe besar, muktamar NU ke-31, di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Sejak dua dekade yang lalu, dalam setiap muktamar seperti ini, mereka disibukkan oleh persoalan keharusan menjaga konsistensi khitah 1926 sebagai landasan gerak jam’iyah ini. Pada dasarnya wacana yang berkembang menghendaki agar NU tidak kehilangan jati dirinya sebagai jam’iyah diniyah dengan mengembalikan karakter organisasi kepada khittah yang disakralkan ini. Kontroversi selalu muncul dan orang dibuat tersedot perhatiannya untuk membicarakan soal yang satu ini, khususnya ketika kelompok elit mereka selalu tergoda untuk membawa organisasi ini ke kancah politik, atau cenderung untuk menjadikannya sebagai kendaraan politik.
Saya tidak berpretensi ingin membandingkan “keributan” NU dalam membahas khittah dengan kalangan Muhammadiyah, yang sedang punya gawe besar juga, dalam mengupas soal tajdid. Namun atensi publik dari konstituen kedua organisasi ini tampak tidak jauh berbeda terhadap kedua isu tersebut, khittah 1926 dan tajdid. Tajdid, seolah-olah telah menjadi trade mark dan karakter dasar pergerakan Muhammadiyah sejak awal kelahiran persyarikatan ini. Oleh karena itu, sampai kapan pun tajdid tidak bisa lepas dari Muhammadiyah, sehingga sekarang orang masih terus mencari-cari relevansi tajdid dalam konteks bermuhammadiyah di awal millenium ketiga ini. Mungkin ada semacam kekhawatiran jika tajdid tidak direvitalisasi, Muhammadiyah akan kehilangan jati dirinya.
Suatu kajian yang cukup komprehensif mengenai tajdid saya dapatkan dalam bukunya Dr. Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (2004), khususnya pada. Bab I. Tajdid dalam hal ini memiliki makna “pembaharuan” atau “reformasi” yang erat kaitannya dengan makna revivalisme, purifikasi, dan sekaligus modernisasi, sesuai dengan konteks zaman dan budaya yang memunculkannya. Tajdid dalam Islam memiliki landasan teologis yang cukup valid, seperti diyakini bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya seorang pembaharu bagi agama ini pada setiap seratus tahun. Di samping itu tajdid sangat dibutuhkan dalam rangka merevitalisasi kehidupan keagamaan dan menyegarkan semangat umat, setelah berbagai faktor sosial-politik dan ekonomi mengakibatkan kejenuhan dan melemahkan gairah keagamaan yang ditimbulkan oleh berbagai penyimpangan. Perlu ditambahkan bahwa Islam, sebagaimana diklaim juga oleh Yahudi dan Kristen, adalah agama yang sangat peduli terhadap kemurnian doktrinnya. Upaya mempertahankan kemurnian doktrin ini menjadi sangat menonjol dan telah memunculkan banyak tokoh yang dikenal sebagai heresiographers, semisal al-Asy’ari, al-Ghazali, al-Baghdadi, al-Syahrastani dan lain-lain. Mereka telah menuliskan karya-karya yang sangat berpengaruh dalam menunjukkan kepada umat Islam doktrin agama yang “standar” dan baku, terlepas dari berbagai bentuk penyimpangan.
Dalam bahasa agama, para tokoh ini telah mengupayakan berlangsungnya proses “ortodoksifikasi” dalam Islam, seperti diistilahkan oleh Fazlur Rahman. Ortodoksi sendiri merupakan suatu istilah yang sangat umum dalam semua agama, dan dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan antara ajaran yang benar dan yang salah, yang murni dan yang sudah menyimpang. Memang istilah ortodoksi itu sendiri tidak memiliki padanannya dalam bahasa Arab dan tidak memiliki tempat dalam Islam. Namun hampir tidak mungkin untuk mengatakan bahwa konsep itu tidak dikenal di kalangan umat Islam. Dengan merujuk kepada pengertian umum tentang ortodoksi sebagai keyakinan yang benar dan murni sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi—tidak dicampuri oleh unsur-unsur asing yang berasal dari luar Islam—maka dapat dimengerti jika umat Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap konsep ini. Dalam hal ini Muhammadiyah, melalui gerakan tajdidnya, jelas sangat peduli terhadap upaya-upaya menjaga kemurnian doktrin dan praksis keagamaan dengan mengeliminir semua bentuk penyimpangan yang diistilahkan dengan takhayyul, bid’ah, dan khurafat. Inilah fakta yang amat fenomenal dari persyarikatan ini sejak awal berdirinya, tahun 1912.
Seperti telah banyak dibahas oleh para pengamat, di dalam mengembangkan misi tajdidnya, Muhammadiyah sejak awal berusaha memudahkan pemahaman keagamaan bagi konstituennya. Islam yang murni adalah agama yang cukup sederhana, simpel, rasional dan tidak dibebani oleh tradisi-tradisi yang menjadikan agama ini sangat absurd. Karena itulah Muhammadiyah mempelopori adanya khutbah berbahasa Indonesia (atau Jawa), penerangan agama untuk publik (baca: pengajian umum), dan menerjemahkan teks-teks suci keagamaan ke dalam bahasa lokal. Sekali lagi ini dimaksudkan agar umat Islam lebih mudah memahami hakekat doktrin agamanya. Ini merupakan terobosan yang, untuk konteks waktu itu, tergolong radikal. Masih sangat kuat anggapan sebagian besar umat Islam di Indonesia bahwa khutbah Jum’at, sebagai suatu ritual yang sakral, hanya boleh disampaikan dalam bahasa Arab, meskipun isinya tidak bisa difahami oleh jama’ah yang hadir. Karena itulah pemahaman keagamaan menjadi sangat lambat, untuk tidak mengatakan mandeg. Bahkan pengajaran agama di pesantren hampir seluruhnya disampaikan dengan menggunakan teks-teks berbahasa Arab yang berasal dari tulisan para ulama’ abad tengah yang konteks sosial-budayanya sudah terlalu jauh dari pengalaman sehari-hari masyarakat kita. Merubah metode pengajaran seperti itu dianggap haram dan menyimpang, dan oleh karena itu ditentang habis-habisan. Sebagian besar pemuka agama di tanah air ketika itu memandang inovasi-inovasi kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai sesuatu yang tidak benar dan, akibatnya, menimbulkan banyak ketegangan antara kedua belah pihak.
Dengan memberikan pemahaman yang mudah dan sederhana seperti itulah sebenarnya persyarikatan Muhammadiyah mengajak umat Islam di Indonesia untuk dapat menjalankan agamanya dengan benar, sesuai dengan semangat dan dinamika asli yang diajarkan oleh agama itu. Para pemuka Muhammadiyah awal, terinspirasi oleh gerakan-gerakan pembaharuan yang sudah bermunculan sejak abad kesembilanbelas di berbagai belahan dunia, merasa sangat prihatin terhadap keterpurukan umat Islam di negeri ini. Mereka kemudian melakukan berbagai ijtihad untuk mengatasi keterpurukan itu dengan berusaha menggali kembali semangat dasar yang diajarkan oleh agama ini. Mereka yakin bahwa Islam tidak menghendaki umatnya menjadi tertindas dan terpuruk, jatuh di bawah hegemoni bangsa Barat yang kafir. Mereka juga percaya bahwa jika ajaran Islam difahami secara benar maka umat Islam akan tampil sebagai bangsa yang maju. Islam tidak harus identik dengan ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan. Selain itu, mereka percaya bahwa hanya dengan keyakinan yang benar dan murni mereka akan mampu merasionalisasikan ajaran-ajaran pokok agama mereka dan dapat beradaptasi dengan kehidupan modern yang semakin maju.
Mulai saat itu muncullah jargon-jargon penuh semangat membangkitkan kesadaran umat Islam, agar mereka mau berusaha untuk keluar dari keterpurukan dan keterbelakangan. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari berbagai battle cry yang diambil dari al-Qur’an, seperti “Allah tidak akan merubah kondisi atau nasib suatu bangsa, jika bangsa itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubah dirinya” (Q.S. 13:11), “Berlomba-lobalah dalam kebaikan” (Q.S. 2:148, 5:48), “Kamu adalah sebaik-baik umat” (3:110), “Nun, demi qalam dan apa yang mereka tuliskan” (68:1), dan lain-lain. Ayat-ayat ini telah menjadi jargon penggugah semangat yang sangat efektif untuk melakukan tajdid, menyegarkan jiwa, dan meningkatkan kesadaran keagamaan umat. Jargon-jargon ini pula yang kemudian menjadi tema utama dari wacana pembaharuan yang dilancarkan oleh para kader persyarikatan, dan akhirnya menjadi karakteristik yang membedakan gerakan ini dari gerakan keagamaan lain yang bermuculan setelah kelahiran Muhammadiyah. Demikianlah, seperti diakui sendiri oleh kalangan tradisionalis, jika Muhammadiyah banyak mengusung tema-tema perubahan dan semangat pembaharuan—dengan mengacu pada ayat-ayat di atas—kelompok tradisionalis, sebaliknya, lebih suka mengangkat tema-tema keakhiratan, tawakal, dan submisifme dalam beragama untuk materi khutbah atau ceramah keagamaan mereka.
Secara teologis, perkembangan wacana tajdid oleh persyarikatan Muhammadiyah sejak awal berdirinya dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut.
1. Dimulai dari penjabaran dasar-dasar keimanan berbahasa Arab disertai penjelasannya dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan dalil-dalil tekstualnya seperti tertuang dalam “Kitab al-Iman” dari Himpunan Putusan Tarjih (mula-mula dirumuskan tahun 1929). Meskipun kelihatan sederhana, penjabaran ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran umat tentang keyakinan yang harus mereka ikuti, sehingga mereka akan meluruskan jalan hidup mereka sesuai dengan doktrin agama yang benar dan membebaskan diri mereka dari berbagai keyakinan palsu yang berasal dari tradisi lokal, yang bertentangan dengan doktrin Islam.
2. Pada tahapan berikutnya tampil K.H. Mas Mansoer (w. 1949) dengan rumusan purifikasi yang tegas. Mansoer menekankan bahwa untuk memperkokoh aqidah umat Islam mereka harus menjauhkan diri dari unsur-unsur politeisme yang secara tidak sadar dijalankan oleh umat Islam. Padahal, unsur-unsur politeisme yang berasal dari tradisi lokal itu telah menyebabkan kelemahan dan keterbelakangan umat Islam selama ini. Dalam risalahnya yang cukup sederhana, Risalah Tauhid dan Sjirik, dia mengkritisi kebiasaan meminta-minta kepada arwah orang yang sudah meninggal untuk keperluan duniawi, seperti mengobati penyakit, mendapatkan jodoh, mencari kekayaan, dan lain-lain. Praktik seperti itu, menurut Mansoer, jelas-jelas perbuatan syirik, sebab orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada pihak lain selain Tuhan. Dengan kata lain orang tersebut telah mempercayai adanya kekuatan lain di luar Tuhan yang mampu memenuhi permohonannya. Perbuatan seperti itu, menurut Mas Mansoer, jelas-jelas yirik. Di luar Muhammadiyah upaya purifikasi serupa juga dilakukan oleh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam melalui tulisan dan karya-karyanya, khususnya penentangannya terhadap konsep tawassul yang sudah terlalu banyak disalahartikan oleh umat Islam di Indonesia sehingga menjurus ke arah kemusyrikan. Tawassul memang masih mendapatkan legitimasi dalam agama, sejauh hal itu dilakukan dengan benar, yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan mentaati seluruh perintah-Nya. Hassan ingin menegaskan bahwa manusia harus membangun hubungan secara langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara, seperti melalui roh orang-orang yang sudah meninggal. Kedua tokoh ini, Mansoer dan Hassan, dapat dipandang sebagai representasi dari era penegasan dasar-dasar akidah, dengan memurnikan keyakinan dari elemen-elemen politeisme yang banyak menjangkiti perilaku keagamaan umat Islam saat itu.
3. Pada era berikutnya, Hamka (1908 – 1981), tampil sebagai sosok yang mampu membuka terobosan baru dalam mengembangkan wacana tajdid di persyarikatan ini. Dia dapat dipandang sebagai representasi dari era rekonstruksi pemahaman umat Islam tentang agamanya. Wacana yang dikembangkan Hamka bukan lagi masalah adat yang bertentangan dengan kebenaran wahyu, tetapi sudah menyangkut kemampuan akal manusia untuk memahami kebenaran. Dia menekankan perlunya umat Islam memiliki pemahaman yang benar tentang doktrin agama mereka bagi kemajuan kehidupan duniawi mereka. Dalam uraiannya tentang qadla’ dan qadar, misalnya, Hamka menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan masalah taqdir adalah dimaksudkan untuk membangkitkan semangat umat Islam dan sekaligus menyatukan mereka dalam satu tujuan yang sama untuk mencapai kemajuan. Hamka, dengan demikian, telah mempelopori suatu pandangan teologis yang cukup radikal dengan mengadopsi suatu penafsiran yang rasional tentang keyakinan pada qadla’ dan qadar ini. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa pengaruh negatif dari doktrin fatalisme dan hilangnya jiwa kebebasan kehendak (free will) telah mengakibatkan umat Islam di Indonesia jatuh ke dalam keterbelakangan dan keterpurukan. Oleh karena itu, ayat-ayat fatalistik yang terdapat di dalam al-Qur’an seharusnya tidak dimaknai untuk memberikan lisensi pada umat Islam untuk bersikap submissive, serba pasrah, atau berjiwa kekanak-kanakan dengan mengandalkan akan memperoleh perlindungan dari Allah. Mereka dituntut untuk berusaha, melakukan ikhtiyar, guna mendapatkan kesejahteraan duniawi mereka. Penegasan Hamka ini tidak lepas dari pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an yang telah disinggung di muka, bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu sendiri tidak mau berusaha untuk merubah nasib mereka. Dalam mengutarakan pemikirannya seperti tersebut di atas, Hamka memang tidak sendirian. Selain Hamka, layak disebut beberapa tokoh lain di lingkungan Muhammadiyah, seperti H.A. Malik Ahmad dan Abd Rahim Nur, sekedar untuk menyebut beberapa contoh. Mereka ini juga memiliki persepsi tidak jauh berbeda dengan Hamka dalam memaknai qadla’ dan qadar, dan mengusung semangat yang sama dalam menekankan pentingnya merombak pola fikir umat agar tidak terjebak dalam stigma fatalisme dalam menyikapi kehidupan. Namun konsepsi Hamka yang tersebar luas melalui karya monementalnya, Tafsir al-Azhar, layak merepresentasikan semangat zamannya. Di samping itu, wacana yang ditawarkan oleh Hamka ini pada hakekatnya merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara perkembangan pemikiran teologis sebelumnya (baca: Kitab al-Iman Himpunan Putusan Tarjih, Mas Mansoer, Hassan), dengan perkembangan pemikiran yang terjadi sesudanya di tangan para sarjana yang kebanyakan adalah produk pendidikan tinggi di Barat dan memiliki komitmen untuk tetap berkhidmah di persyarikatan.
4. Pada tahapan keempat ini tampil tokoh-tokoh yang telah mampu memadukan pemikiran teologis mereka dengan perkembangan ilmu-ilmu modern, yang memberikan spektrum lebih luas terhadap pemahaman doktrin Islam dalam konteks kekinian. Banyak tokoh yang layak disebutkan di sini, seperti M. Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Muslim Abdurrahman, M. Amin Abdullah, dan Abdul Munir Mulkhan. Mereka telah menelorkan berbagai produk pemikiran dalam karya-karya yang cukup signifikan dan memiliki pengaruh luas bagi perkembangan wacana teologis di lingkungan persyarikatan dan di luarnya. Di sini tidak perlu dirinci lebih jauh tentang ide-ide dasar yang telah mereka tawarkan dan telah memperkaya khazanah pemikiran umat secara lebih luas. Sekedar menyebut sebuah contoh, tawaran M. Amien Rais tentang Tauhid Sosial dan Membangun Politik Adiluhung, kiranya perlu diperhitungkan lebih cermat untuk memaknai wacana tajdid pemikiran kali ini. Perlu ditekankan pula di sini bahwa seluruh rangkaian wacana teologis mulai dari penjabaran arkan al-iman dalam “Kitab al-Iman” hingga “Tauhid Sosial” ini merupakan suatu continuum yang tak terpisahkan. Semuanya merupakan suatu rangkaian yang menunjukkan adanya perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan tahapan sebelumnya merupakan landasan yang harus diciptakan untuk memberikan akses bagi perkembangan berikutnya.
Demikianlah, jika dewasa ini kita melihat kegelisahan anak-anak muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), maka kegelisahan semacam itu adalah suatu hal yang positif dalam rangka mengaktualisasikan diri di tengah kekayaan wacana yang telah berkembang begitu pesat, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di luar itu. Mereka bukan saja merasa tertantang oleh superioritas wacana yang ditampilkan oleh para senior mereka, tetapi juga oleh dinamika dan progresifitas pemikiran yang cenderung liberal yang dimunculkan oleh saudara-saudara mereka di kalangan muda nahdliyin dan kelompok-kelompok lain. Demikian pula dengan munculnya berbagai tuntutan yang memerlukan responsi cepat seperti perlunya merealiasikan dakwah kultural yang hingga kini belum menemukan formatnya yang jelas. Mungkin kelompok inilah yang cukup berhasil mengekspresikan kepekaan mereka terhadap pentingnya dakwah kultural ini. Mereka menyadari betul perlunya mengimplementasikan ajaran Islam dengan cara mengapresiasi realitas kultural secara konstruktif, rasional dan objektif, tanpa terjebak dalam sindroma menjauhi, memusuhi, atau bahkan menolaknya dengan alasan budaya seperti itu akan merusak kemurnian akidah.
Di sinilah persoalannya. Jargon purifikasi yang mendasari gerakan tajdid di kalangan Muhammadiyah selama ini ditengarai telah membawa nuansa keagamaan yang kering, rigid dan kurang imajinatif. Tidak jarang timbul kesan Muhammadiyah menjadi asing dengan budaya yang berkembang di masyarakat, sementara ia sendiri tidak bisa memberikan alternatif model budaya Islami mana yang paling sesuai untuk dikembangkan di tanah air. Persoalan yang mendasar ini kiranya sudah cukup terlambat untuk disadari oleh para pemuka persyarikatan, sebab baru pada awal abad ke-21 ini saja wacana tentang dakwah kultural dimunculkan secara eksplisit. Dibandingkan dengan kelompok tradisionalis, dalam menangani budaya lokal ini Muhammadiyah jelas kurang beruntung. Dari sudut pandang teologis Muhammadiyah sudah memposisikan diri pada sikap aloof atau mengambil jarak, sebagai konsekwensi logis dari seruannya untuk mengedepankan kemurnian doktrin Islam, meskipun untuk keperluan tersebut tidak identik dengan membuang jauh-jauh semua bentuk peradaban lokal dan menjadikan Islam di Indonesia persis betul dengan format budaya Islam Timur Tengah. Oleh karena itu harus diakui bahwa kalangan tradisionalis lebih diuntungkan sebab mereka tidak memiliki beban psikologis yang terlalu berat untuk akrab dengan kalangan grass root dan tradisi abangan, dengan corak budayanya yang bermacam-macam. Mereka mampu menawarkan atmosfir keagamaan yang lebih sejuk dan imajinatif, tidak kering dan rigid. Ini, antara lain, karena mereka cukup kental dengan tradisi Sufisme yang menjadi ciri keberagamaan mereka, meskipun dalam hal ini berbagai kritik cukup sering dilontarkan.
Membawakan Islam yang murni ke tanah air memang suatu kebutuhan dan, bagi Muhammadiyah, merupakan suatu tuntutan tajdid serta sudah menjadi keniscayaan sejarah yang tak bisa dihindari. Namun Islam yang murni saja tidak cukup. Ia harus dibawa turun pada realitas kongkrit yang dihadapi umat manusia yang akan menerima doktrin itu. Sangat tepat sekali ungkapan yang disampaikan Nurcholish Madjid, bahwa ada dua tugas utama bagi umat Islam Indonesia untuk dapat berperan secara konstruktif dalam membangun kehidupan sosial-budaya dan politik di negeri ini: Pertama adalah memahami doktrin agamanya secara benar, dan yang kedua memahami karakter budaya masyarakat di mana doktrin agama itu akan diterapkan. Tanpa itu, Islam akan tetap mengawang-awang, tidak membumi, dan tidak banyak memberi makna pada upaya peningkatan kualitan kehidupan umat manusia di negeri ini.
Dalam kurun waktu satu dekade ke depan, insya Allah Muhammadiyah akan genap berusia satu abad. Berbahagialah warga persyarikatan yang dapat menyaksikan peringatan satu abad Muhammadiyah, tahun 2012 yang akan datang. Sementara itu pergulatan pemikiran terus berlangsung dengan dinamika yang semakin tinggi. Masalah tajdid yang selalu menjiwai gerak langkah persyarikatan harus terus dilaksanakan secara konsisten. Untuk itulah tajdid dalam konteks pemikiran ini harus selalu mendapat perhatian dari para kader. Perlunya tajdid dalam bidang pemikiran ini ialah agar Muhammadiyah selalu dapat menawarkan konsep-konsep baru sesuai dengan dinamika yang dihadapi umat dalam realitas berbangsa dan berbudaya. Sesuai dengan karakter dasar dari persyarikatan ini maka tajdid pemikiran tersebut sebenarnya telah memiliki landasan yang cukup kokoh, khususnya jika dirujukkan pada pandangan teologis yang diadopsi oleh persyarikatan ini.
Sebagaimana halnya dengan kelompok-kelompok lain umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah secara teologis menganut faham Sunni dan mengikuti ajaran Ahl al-Haqq wa’l-Sunnah, seperti tertera dalam buku Himpunan Putusan Tarjih. Arah pembaharuan yang dijalankan oleh persyarikatan ini, dengan mengacu pada prinsip di atas, adalah bagaimana membangun konsistensi dalam menjalankan doktrin agama, tanpa mengabaikan faktor sosial-budaya masyarakat penerima doktrin itu. Kalau di atas diuraikan kecenderungan kaum tradisionalis yang sangat akomodatif terhadap budaya lokal—dan dengan begitu mereka lebih diuntungkan—maka sebenarnya Muhammadiyah tidak terlalu “dirugikan” dengan konsistensi teologis cum-tajdid yang dibangunnya. Dapat dibayangkan akan menjadi seperti apa Islam yang berkembang di Indonesia seandainya Muhammadiyah tidak pernah lahir di negeri ini. Mungkin tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di beberapa wilayah di Amerika Tengah, di mana Islam tinggal simbol-simbol seremonial dan tradisi keagamaan populer yang sudah tercerabut dari akar doktrinnya. Hal itu terjadi akibat proses Islamisasi yang tidak pernah berjalan sempurna, karena terputus dari sumber ortodoksi Islam di Timur Tengah. Jika gerakan purifikasi tidak pernah dilancarkan oleh Muhammadiyah maka yang akan dominan di sini adalah Agami Islam Jawi—meminjam istilah Koentjaraningrat, atau Islam singkretis yang didominasi oleh spiritualisme Jawa, dan Islam selamanya akan menjadi lapisan tipis di atas tradisi Hindu-Buda dan Animisme yang sangat kokoh (a light veneer of symbols attached to a solid core of animistic and Hindu-Buddhist meaning). Jadi Muhammadiyah dengan gerakan tajdidnya telah berhasil mendekonstruksi tradisi keislaman yang selama berabad-abad didominasi oleh unsur-unsur asing yang berasal dari ajaran animisme dan Hindu-Budisme, untuk dikembalikan kepada semangat dan karakternya yang asli.
Di sisi lain, kehadiran Muhammadiyah telah berhasil merombak performance dan citra Islam di mata kelompok elit. Di mata penguasa, Islam pada awal abad keduapuluh tidak lebih dari sampah tradisi yang terus dibawa-bawa sepanjang sejarahnya sejak abad tengah. Citra Islam yang buruk seperti itulah yang dicekokkan penguasa Belanda kepada elit Jawa agar mereka semakin jauh dari Islam, dan lebih memihak kepada penguasa kolonial. K.H. Ahmad Dahlan melihat kondisi tersebut sebagai sebuah tantangan yang harus direspon dengan tepat. Oleh karena itu dia mengarahkan gerakannya untuk dapat merangkul kalangan elit, agar mereka tidak terlalu alergi terhadap Islam. Kyai Dahlan berusaha menampilkan Islam yang maju, rasional, progresif dan mencerahkan, dengan mengadopsi ide-ide pembaruan dari Timur Tengah serta bersikap akomodatif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan modern ala Barat. Ketika Islam ternyata dapat ditampilkan dalam format yang modern dan mampu beradaptasi dengan kemajuan seperti itulah maka sedikit demi sedikit kalangan priyayi mulai menunjukkan simpatinya pada Islam. Bahkan, dalam banyak kasus, Islam mampu mengukuhkan jati diri mereka sebagai pemimpin rakyat, dan akhirnya menjadi simbol perlawanan mereka terhadap penguasa kolonial itu.
Nurcholish Madjid, di hadapan K.H. A.R. Fakhruddin, di awal tahun 1980-an, pernah menyatakan indebtedness-nya pada Muhammadiyah. Dia menyatakan banyak belajar dari Muhammdiyah dalam menyikapi penguasa yang otoriter dan selalu berusaha memarjinalkan posisi umat Islam di tanah air. Selama berpuluh-puluh tahun umat Islam selalu disudutkan sebagai kelompok yang hanya beraspirasi untuk mendirikan negara Islam, dan itu berarti menjadi musuh negara. Dia berkesimpulan tidak ada salahnya untuk mengambil langkah mundur beberapa jengkal ke belakang, agar kelak dapat melompat lebih jauh ke depan. Prinsip itulah yang ia pegangi untuk menawarkan konsepnya tentang gerakan Islam kultural, terlepas dari fanatisme ideologis yang selalu dilekatkan oleh penguasa kepada para pemimpin umat sebelumnya. Dia mencoba menawarkan gerakan yang lebih akomodatif dan membuka kemungkinan untuk bisa bekerjasama dengan elemen bangsa yang lain, termasuk kalangan tehnokrat, birokrasi dan (waktu itu) ABRI. Dia berusaha menampilkan Islam yang bisa diterima oleh kalangan elit penguasa dan, seperti yang dicontohkan oleh Kyai Dahlan, menjadikan para pemimpin elit tidak alergi terhadap Islam. Didukung oleh kekuatan kaum intelektual, khususnya yang dimotori Harun Nasution, gerakan kultural ini mampu menyajikan Islam yang lebih ramah dan bisa diterima oleh fihak-fihak yang lebih luas, tanpa beban psikologis yang terlalu berat. Untuk menjadi Muslim yang baik, dalam atmosfir ini, tidak harus menjadi anggota organisasi keagamaan atau Partai Islam tertentu. Islam bisa diakses secara lebih terbuka oleh siapa saja. Gerakan kultural seperti itu layak untuk menjadi agenda kita bersama, agar Islam tidak menjadi agama kaum pinggiran.
Di sini penulis tidak bermaksud menyarankan agar Muhammadiyah meniru apa yang berhasil dilakukan oleh orang lain. Muhammadiyah sejauh yang saya tahu, telah menggariskan platform gerakannya sendiri berdasarkan landasan teologis yang kuat. Keberhasilan amal usaha yang merambah berbagai sektor kehidupan sosial ekonomi dan budaya menunjukkan betapa persyarikatan ini tetap menguasai medan dan “memenuhi tuntutan pasar.” Kegelisahan kader-kader muda persyarikatan, sebagaimana diungkapkan di atas, menunjukkan betapa mereka berusaha merebut ruang ekspresi yang lebih luas. Dibandingkan dengan kalangan muda NU yang telah membentuk jaringan yang cukup mapan dan luas, kehadiran JIMM hendaknya tidak didasari niat untuk “memberontak” pada tatanan yang digariskan oleh Muhammdiyah. Jika kehadiran jaringan anak-anak muda NU diidentikkan dengan les enfants terribles, maka JIMM, terlepas dari bentuk wacana yang mereka tawarkan, hendaknya tetap berada dalam bingkai pengembangan tajdid pemikiran yang bermanfaat baik bagi persyarikatan maupun umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Mereka tidak perlu meniru predikat les enfants terrible tersebut, sebab kondisi kelahiran serta bentuk hubungan mereka dengan induknya tidak persis sama dengan kelahiran anak-anak muda NU tersebut. Di sini perlu digarisbawahi kiranya bahwa suasana egalitarianisme (musawah) yang menonjol di kalangan anggota Muhammadiyah akan sangat bermanfaat untuk mendinamisasikan tajdid pemikiran. Sejauh yang saya tahu, Muhammadiyah menentang berkembangnya religious feudalism and spiritual slavery.
Dengan semua potensi yang dimiliki Muhammadiyah berupa tradisi, kelembagaan dan sejarah yang mengantarkannya menjadi seperti apa yang ada sekarang ini sebenarnya persyarikatan ini telah memainkan peran yang amat penting dalam membangun “tradisi besar” (the greater tradition) bagi perkembangan Islam di Indonesia. Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mengarahkan perhatiannya agar Islam yang berkembang di Indonesia tidak didominasi oleh tradisi-tradisi lokal sehingga agama ini kehilangan elan vital-nya. Kehadiran persyarikatan ini sejak hampir satu abad yang lalu telah memelopori bangkitnya semangat keagamaan yang didasarkan pada rasionalitas dan keinginan untuk meraih kemajuan, dengan tetap memperhatikan tuntutan riil kehidupan manusia abad modern, agar agama tidak terpinggirkan. Pasang surut perkembangan pergerakan ini telah menghantarkan umat Islam pada keyakinan bahwa kemampuan merasionalisasikan doktrin agama (baca ijtihad) dalam konteks kemajuan zaman telah membantu menciptakan kondisi di mana Islam bisa diterima secara lebih luas dan meningkatkan citra agama itu sendiri. Pada perkembangan lebih lanjut, semangat seperti itu ternyata tidak hanya dimiliki oleh warga Muhammadiyah saja. Keinginan agar Islam menjadi milik warga bangsa dengan nilai-nilai kultural yang bisa diserap secara mudah semakin mewarnai semangat pemikiran keagamaan yang dimunculkan oleh perorangan maupun kelompok. Sebenarnya Muhammadiyah telah memelopori terciptanya bangunan tradisi keagamaan yang lebih besar di negeri ini. Namun ia tidak boleh ketinggalan dari kelompok lain ketika kejenuhan sudah mulai menggayuti kreatifitas berfikir para kader mudanya. Di sini tajdid pemikiran harus dikembangkan dengan mengarahkan perhatian para pemimpin dan kadernya kepada faktor-faktor kultural di mana Islam ini akan terus dijadikan anutan oleh warga bangsanya.
Trend Perkembangan Islam
MENCERMATI TREND PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
PASKA REFORMASI:
SUATU ARUS BALIK?
Oleh Fauzan Saleh*)
Thanks to the hard works of the walis, Islam has been a real force, more overwhelming than that of yours. If you strive against it and assault it, you will never be able to subjugate it. The only way workable is to embrace it to a limited extent. Give Muslims their delicious side dishes, but, candidly and gradually, reduce their meal. Clad in Muslim attire to incite their admiration, but fill the heart beyond that attire with new fascinating legends instead of with exhortations of the walis. Meanwhile make them threatened with your personal glory by inventing these legends…. like your love affairs with Nyi Roro Kidul [the South Ocean Goddess].
Ki Jurumartani
The Islamization of Indonesia is still in process, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that people who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
G.W.J. Drewes.
Mungkin Anda pernah membaca sebuah karya besar yang amat menarik dari novelis terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul Arus Balik. Novel sejarah ini bercerita tentang upaya mengembalikan arah perjalanan sejarah, menentang “arus utara” yang begitu kuat merambah kawasan Nusantara sejak awal abad ke-16. Karya besar Pramoedya ini juga membawa semangat dan missi ingin membangkitkan “arus selatan,” untuk menandingi kuatnya penetrasi “arus utara” yang mula-mula didatangkan oleh para penjelajah Portugis. Semangat “arus selatan” sebenarnya bukan hanya milik para Sultan di sepanjang pantai utara Jawa abad ke-16 dan 17, tetapi juga dikumadangkan oleh para penguasa Muslim di berbagai wilayah yang kekuasaan mereka mulai digerogoti oleh para pendatang dari Barat. Mereka mengusung semangat yang sama: bagaimana kejayaan yang tadinya berasal dari selatan—dan kemudian hilang—bisa diraih kembali.
Semangat selatan dalam menggerakkan “arus balik” dalam novel sejarah ini, sayangnya, tidak diakhiri dengan happy ending. Akhir cerita tersebut justru menunjuk-kan betapa semakin tak berdayanya Selatan berhadapan dengan Utara. Islam yang mulai bertahan sebagai kekuatan baru mewakili wilayah selatan (menggantikan kekuatan Hindu-Buddha sebelumnya) dan berusaha mengembangkan sayapnya di tanah Jawa tak mampu berhadapan dengan berbagai tantangan yang sangat kompleks: Ia belum mampu tampil sebagai kekuatan politik yang solid menyatukan seluruh wilayah bekas kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha yang digantikannya. Di sisi lain, Islam juga belum sepenuhnya berhasil merubah tatanan nilai dan struktur budaya setempat, sesuai dengan doktrin yang sebenaranya diajarkan oleh agama ini. Islam baru diterima secara superfisial, sekedar lapisan luar yang tipis di atas inti budaya animisme atau Hinduisme yang masih kokoh. Islam sekedar menjadi “wadah” dari substansi animisme atau budaya lokal yang belum banyak berubah. Bersamaan dengan itu, kekuatan Islam yang belum seberapa tersebut harus berhadapan dengan penetrasi Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain yang datang kemudian. Kedatangan para penjelajah Eropa ini tidak hanya berusaha merebut sumber-sumber ekonomi rakyat pribumi, tetapi juga ingin mempengaruhi tatanan nilai dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat. Jelasnya, mereka juga berkepentingan untuk mengubah keyakinan penduduk pribumi untuk beralih menjadi pengikut agama mereka. Menentang semua bentuk penetrasi Utara inilah sebenarnya yang menjadi semangat Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan novel sejarahnya.
Selintas tentang Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam batas-batas tertentu, Pramoedya dengan novelnya tersebut juga memberi gambaran tentang awal perkembangan Islam di Indonesia sebagai suatu kekuatan sosial, politik dan militer pada periode formative. Dalam novel tersebut kita juga mendapatkan suatu gambaran bahwa meskipun Indonesia berada begitu jauh dari pusat penyebaran Islam di Timur Tengah, proses Islamisasi di Indonesia—sekalipun berlangsung cukup lambat—tidak pernah berhenti. Pasang surut proses Islamisasi terus dialami oleh setiap generasi di berbagai wilayah Nusantara. Masa-masa surut tentu saja dialami pada era penjajahan Belanda selama beberapa ratus tahun. Penguasa Belanda secara serius ber-usaha membatasi ruang gerak ummat Islam dengan mendekati golongan aristokrat yang, karena alasan-alasan politik tertentu, dikenal sebagai penganut Islam “setengah hati” atau bahkan memusuhi pemimpin-pemimpin Islam yang dianggap “militan.” Dengan mendekati golongan aristokrat ini pula penguasa Belanda berusaha menyebarkan keyakinan mereka, dengan dalih “fishing with the net proved to be more efficient than fishing with the hook” (menangkap ikan dengan jaring atau jala terbukti lebih berhasil daripada menggunakan kail). Para aristokrat, sebagai penguasa lokal, telah diperguna-kan oleh Belanda sebagai “jaring” untuk mengajak rakyatnya berpindah agama secara massive. Atau, paling tidak, dengan memberikan pendidikan model Belanda yang anti-Islam kepada mereka, kalangan aristokrat tersebut menjadi semakin jauh dari Islam dan tak peduli dengannya. Mereka sangat dibatasi untuk mengenal Islam dan kepada mereka diajarkan bahwa agama yang sesuai dengan kepribadian dan budaya mereka adalah agama nenek moyang sebelum datangnya Islam. Islam seperti yang diajarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional dianggap tidak lebih dari sekedar “sampah dari abad pertengahan yang dibawa-bawa oleh penganut agama ini sepanjang sejarahnya.”
Namun di balik semua usaha kaum penjajah untuk menjauhkan penduduk pribumi dari Islam, Islam masih memiliki daya tarik tersendiri dan tetap menjadi benteng pertahanan yang cukup kuat untuk menghadapi penetrasi budaya asing tersebut. Ini terbukti dengan adanya enclaves atau kantung berupa kampung “kauman,” “putihan” dan pesantren di berbagai wilayah Nusantara. Terlepas dari propaganda pihak Belanda kepada kalangan aristokrat tentang kejelekan Islam, di wilayah-wilayah kantung ini Islam masih terus dijadikan keyakinan rakyat setempat dan menjadi sumber semangat mempertahankan diri dari penetrasi penjajah. Di tempat-tempat seperti inilah semua warisan tradisi keislaman dilestarikan. Di sini pula ummat Islam di Nusantara berusaha memperdalam keyakinan dan mengembangkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran agama. Bahkan pendidikan Belanda yang tadinya dimaksudkan untuk menjauhkan penduduk pribumi dari Islam, dalam batas-batas tertentu, juga memberi manfaat bagi penyebaran Islam sendiri. Di antara pegawai rendahan yang diangkat oleh Belanda (khususnya yang di Sumatra) ternyata masih banyak yang memiliki komitmen terhadap Islam. Mereka dianggap oleh rakyat sebagai kalangan terdidik yang telah mencapai kemajuan yang sangat hebat. Keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan dan menjalankan ajaran Islam juga sangat dikagumi rakyat dan menumbuhkan semangat mereka untuk tetap menganut agama ini. Di samping itu, penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara juga mempunyai peran yang sangat besar bagi penyebaran Islam. Salah satunya, karena bahasa Melayu (masih) menggunakan huruf Arab sebagai medium penulisannya maka hal itu memperteguh keyakinan sebagian rakyat bahwa mereka akan bisa maju dan terdidik jika mareka mau memeluk agama Islam. Di sisi lain, pengetahuan modern yang diberikan oleh lembaga pendidikan Barat telah membukakan wawasan rakyat pribumi untuk mengenal kemajuan dan mendorong mereka untuk meninggalkan tradisi animisme atau dinamisme, suatu proses pencerahan yang menjadi salah satu tujuan dari missi penyebaran Islam itu sendiri.
Polarisasi Modernis – Tradisionalis
Mengikuti perkembangan Islam di Indonesia semenjak diperkenalkannya sistim pendidikan modern oleh kaum penjajah kita menyaksikan berbagai variabel yang semakin mengkristal. Semenjak dekade kedua abad ke-20, ummat Islam di Indonesia terpolarisasi menjadi kelompok modernis dan tradisionalis, masing-masing dengan cirinya yang khas. Menurut pengamatan Clifford Geertz yang terkenal dengan kajiannya tentang karakteristik Islam di Indonesia yang ia bedakan menjadi santri, abangan dan priyayi, Islam di Indonesia pada dekade 1950-an dapat dicirikan sebagai adanya pertentangan antara kalangan modernis dan tradisionalis. Secara garis besar perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
1. Kalangan tradisionalis lebih menekankan hubungan dengan Tuhan dari sisi berkah dan ganjaran dari kebaikan moral dan amal adalah sepenuhnya merupakan ketentuan dari kehendakNya. Bagi kalangan modernis, bentuk hubungan dengan Tuhan ini diwujudkan dengan adanya kerja keras dan penentuan nasib sendiri (self determination).
2. Kaum tradisionalis cenderung berpandangan “totalistik” dalam hal peran agama dalam kehidupan, di mana seluruh aspek kehidupan didasarkan atas pertimbangan agama, dan batasan antara agama dan kehidupan profan menjadi kabur. Bagi kaum modernis hubungan antara agama dan kehidupan duniawi ini lebih sempit, yaitu sebatas hal-hal yang telah didefinisikan secara tegas, sehingga batasan antara yang sakral dan yang profan menjadi tegas.
3. Kelompok tradisionalis cenderung kurang peduli (meskipun masih tetap peduli) dengan issue kemurnian akidah mereka dan membiarkan praktek-praktek ritual non-Islam, setidak-tidaknya sebagian kecil darinya, untuk tetap dijadikan amalan mereka. Kalangan modernis lebih menjaga kemurnian akidah dan praktek keagamaan mereka dari hal-hal yang berasal dari luar Islam.
4. Kaum tradisionalis menekankan “aspek konsumtif” dari amaliah keagamaan, dan mementingkan pengalaman keagamaan. Bagi kaum modernis, aspek instrumental dari agama lebih ditekankan, dan mereka lebih peduli dengan sikap keagamaan, ketimbang pengalaman keagamaan semata.
5. Kaum tradisionalis cenderung membenarkan praktek-praktek yang didasar-kan pada adat-istiadat dan pendapat para ulama masa lalu. Kaum modernis lebih menggunakan jastifikasi keagamaan berdasarkan nilai-nilai pragmantis-nya dalam kehidupan kontemporer dan merujuk kepada teks-teks al-Qur’an dan Hadits serta menafsirkannya secara longgar.
Pada dasarnya pebedaan antara keduanya dalam hal doktrin dapat disimpulkan sebagai yang bersandar kepada “ketentuan nasib” lawan “penentuan nasib sendiri,” pandangan keagamaan yang totalistik melawan pandangan yang terbatas, yang sinkretis melawan yang puritan, kecenderungan mementingkan pengalaman beragama melawan penekanan kepada aspek instrumental dari agama, dan kecenderungan membenarkan praktek-praktek keagamaan berdasarkan adat-istiadat dan pendapat para ulama masa lalu berhadapan dengan pembenaran berdasarkan bunyi teks al-Qur’an dan Hadits. Berdasar-kan perbedaan ini semua, Geertz menegaskan bahwa bukanlah suatu kebetulan semata jika orang beranggapan bahwa kalangan tradisionalis, secara kultural, sebenarnya lebih dekat dengan kelompok abangan. Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa karena pembedaan ini didasarkan pada penelitian Geertz pada dekade 1950-an, maka tidak semua aspek yang dibedakan tersebut tetap berlaku sampai sekarang. Kaum tradisio-nalis, terlepas dari gambaran yang diberikan oleh Geertz di atas, sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Kalangan tradisionalis—sebagaimana halnya “kaum santri” lainnya—juga telah terangkat tingkat sosial dan ekonominya selama beberapa dekade belakangan. Bersamaan dengan itu, dengan semakin tingginya fluktuasi gesekan atau mobilitas yang mereka alami, mereka semakin terbuka terhadap pemahaman doktrin-doktrin yang lebih murni. Perubahan serupa juga dialami oleh kalangan abangan, meskipun dalam kadar yang berbeda.
Skripturalis – Substansialis
Dalam karyanya yang lain, Islam Observed (1967), Geertz masih menunjukkan kepeduliannya dengan karakteristik Islam di Indonesia, dengan menyoroti sikap keaga-maan kaum modernis yang cenderung mengarah kepada skripturalisme. Geertz meng-asumsikan betapa kuatnya kecenderungan skripturalis dari kalangan modernis ini, sehingga ia berkesimpulan bahwa kecenderungan inilah yang sangat dominan mewarnai kehidupan ummat Islam di Indonesia. Berdasarkan pengamatannya pula Geertz mene-gaskan bahwa dinamika modernisasi tidak mampu menggoyahkan pemikiran skripturalis ini. Lebih jauh Geertz beranggapan bahwa pemikiran skripturalis inilah yang menjadi mainstream Islam di Indonesia dan mendominasi perdebatan intelektual ummat Islam di negeri ini selama dekade 1950-an. Sayang, Geertz sudah kurang tertarik untuk melihat perkembangan Islam di Indonesia pada beberapa dekade sesudahnya. Pengamatan terha-dap perkembangan Islam di Indonesia selanjutnya diteruskan oleh para Indonesianis lain, seperti Robert W. Hefner, Mitsuo Nakamura, James L. Peacock, R. William Liddle, Daniel S. Lev dan lain-lain. Mereka mengemukakan pandangan yang berbeda-beda tentang perkembangan Islam di Indonesia di era kontemporer sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing.
Berbeda dengan pandangan pessimistis Clifford Geertz di atas, pengamatan lebih terkemudian terhadap perkembangan Islam di Indonesian menunjukkan bahwa ruang gerak pemikiran Islam skripturalis semakin menyempit, dan hampir kehilangan pesona-nya. Melalui proses sosio-kultural yang panjang, pemikiran-pemikiran keislaman yang bercorak skripturalis mulai melemah, sejalan dengan semakin luasnya kesempatan ummat Islam untuk mendapatkan akses ke pendidikan modern yang memperluas wawasan mereka. Sejak dekade 1970-an, corak pemikiran yang berkembang dan terus menguat ialah pemikiran keislaman yang substansialis. Model pemikiran ini semakin diminati dan mendapat sambutan yang semakin luas, karena dinilai lebih cocok dengan realitas masyarakat Indonesia yang plural. Proses modernisasi yang intensif sejak awal 1970-an telah mendorong penguatan pemikiran Islam substansialis dan sekaligus mem-persempit ruang gerak pemikiran kaum skripturalis, sekalipun tidak mungkin bisa meng-gantikannya atau menghilangkannya sama sekali.
Modernisasi telah membawa perubahan besar pada hampir semua dimensi kehi-dupan masyarakat. Modernisasi juga telah mengantarkan masyarakat Muslim ke sebuah wacana atau pemikiran baru yang lebih relevan dengan kemajuan zaman. Melalui proses modernisasi pula ummat Islam mampu tampil secara modern, merambah ke berbagai spektrum kehidupan sosial, budaya dan politik. Islam, jauh dari kesan tradisional, kolot dan terbelakang, telah begitu menjiwai modernitas zaman serta menjadi spirit dalam dinamika kemodernan itu sendiri. Ini tercapai, antara lain, berkat semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan modern, baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun yang diupayakan oleh lembaga-lembaga swasta. Pendidikan, dalam hal ini, telah berfungsi sebagai fasilitas yang menjembatani kesenjangan antara kebodohan dan konservatisme massa rakyat dengan modernitas yang ditonjolkan oleh kalangan penguasa.
Mengapa ruang gerak skripturalis menjadi sempit dalam proses modernisasi tersebut? Ini tidak lepas dari beberapa ciri pemikiran skripturalis, antara lain: (1) Bersifat normatif, bertumpu semata-mata pada teks yang menjadi pedoman bakunya. (2) Kurang memberi tempat kepada upaya penafsiran baru atas teks-teks normatif. (3) Sering menutup rapat pintu dialog untuk mengembangkan wacana pemikiran alternatif. (4) Kurang toleran terhadap perbedaan pendapat, karena terkungkung oleh nilai-nilai normatif yang menjadi pegangannya, dan (5) lebih mengutamakan dimensi formalisme-legalisme dan simbolisme. Dengan ciri-ciri seperti ini maka dapat dikatakan bahwa ekspresi pemikiran keislaman skripturalis cenderung mementingkan label daripada substansi, kemasan jauh lebih diutamakan dari isi. Ide tentang negara Islam, partai Islam, dan segala sesuatu yang berlabel Islam merupakan wujud nyata dari pandangan skripturalis ini.
Berbeda dengan ciri-ciri skripturalis di atas, pemikiran substansialis dapat disebutkan ciri-cirinya, antara lain: (1) Tidak terkungkung semata-mata oleh nilai normatif, sehingga lebih leluasa dalam memahami teks dan tradisi Islam secara terbuka dan dinamis. (2) Teks dan tradisi Islam tidak dijadikan sebagai sistim kredo yang beku, sehingga tidak menutup peluang bagi interpretasi baru sesuai dengan perkembangan kontemporer. (3) Dalam pemikiran kaum substansialis, teks-teks normatif itu akan lebih bermakna bila dilakukan penafsiran ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, di mana pemahaman terhadap teks tak bisa lepas dari pemahaman terhadap konteks. (4) Isi jauh lebih dipentingkan dari bentuk atau label, sehingga sedapat mungkin berusaha menjauhi hal-hal yang bersifat simbolis, legal formalistis semata. (5) Berusaha agar nilai-nilai universal Islam seperti keadilan sosial, demokrasi, toleransi dan egalitarianisme dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat untuk dijadikan etika sosial. Dalam hal terakhir ini upaya mewujudkan keadilan sosial jauh lebih penting dari berdebat soal negara Islam atau partai Islam.
Selain faktor modernisasi, pemikiran substansialis dapat berkembang lebih subur karena kesadaran akan adanya pluralisme. Berbeda dengan asumsi Geertz tahun 1950-an, pada era 1980-an ke depan pemikiran Islam substansialis telah menjadi mainstream dalam pemikiran keislaman di Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia yang majemuk telah menyediakan lahan subur bagi berkembangnya pemikiran substansialis ini. Para pemikir substansialis lebih peduli dengan upaya menyuarakan pesan moral daripada menonjolkan atribut formal, sehingga memungkinkan untuk mengakomodasi kepen-tingan bangsa yang lebih luas. Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia selama lebih kurang dua dekade terakhir juga ditandai oleh munculnya ketegangan-ketegangan kreatif antara kedua corak pemikiran yang berdeda tersebut, terutama pada tataran artikulasi politik. Dalam hal ini artikulasi pemikiran politik kalangan skripturalis lebih kental warna ideologisnya, dengan semangat memperjuangkan agar Islam menjadi kekuatan legal dalam kehidupan kenegaraan. Wujud kongkrit yang dicita-citakan ialah penegasan Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Dalam memperjuangkan agenda politiknya mereka menggunakan pendekatan non-integratif dan bersifat partisan, serta memandang bahwa parlemen merupakan pilihan tunggal untuk dijadikan medan perjuangan. Dengan menggunakan logika linear, mereka beranggapan bahwa partai Islam adalah wadah satu-satunya untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam.
Suatu Perkembangan Baru
Namun dari berbagai macam perkembangan tersebut ada suatu bentuk perkem-bangan baru yang cukup menjanjikan bagi suasana kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang. Selama beberapa dekade terakhir abad ke-20, Islam di Indonesia telah tampil secara lebih elegan, bisa diterima oleh berbagai pihak dengan mengesampingkan kecurigaan-kecurigaan atau asumsi-asumsi negatif yang pada masa sebelumnya cukup lekat dengannya. Islam sudah tidak dicurigai sebagai agama yang ekstrim, hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dan tidak peduli dengan kepentingan bangsa secara umum. Kecurigaan tehadap ambisi ingin mendirikan negara Islam di Indonesia sudah semakin tipis, dan kesediaan ummat Islam untuk ikut serta dalam proses modernisasi dan pembangunan sudah cukup nyata kelihatan. Tokoh-tokoh yang tampil sudah bukan dari kalangan yang sebelumnya dicurigai sebagai yang terobsesi ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Terlepas dari berbagai kritikan dan koreksi terhadap “pemaksaan” penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial dan politik yang ada, hal tersebut telah mengkondisikan adanya kehar-monisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan intern ummat bergama juga semakin kondusif untuk saling membuka diri dan memungkinkan dieliminirnya sekat-sekat sektarianisme atau keterikatan primordialisme.
Untuk menjadi Muslim yang baik, orang tidak harus menetapkan label golongan tertentu atau mengikuti suatu madzhab tertentu sebagai anutannya. Sebaliknya, kecen-derungan untuk saling mencemooh atau mendeskreditkan kelompok lain karena perbe-daan cara-cara mengamalkan ritual agamanya juga semakin berkurang. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa suatu masjid yang tadinya diklaim sebagai milik kelompok tertentu juga didatangi oleh anggota kelompok lain untuk melaksanakan ibadah atau menghadiri pengajiannya. Bahkan semakin banyak masjid dibangun tidak atas nama suatu kelompok atau mewakili suatu warna kelompok tertentu. Demikian pula dengan fasilitas pendi-dikan yang dikelola oleh suatu kelompok sering dipenuhi oleh pemuda-pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan dari anggota kelompok lain yang berbeda afiliasi keagama-annya. Dalam hal ini fasilitas pendidikan agama yang diberikan oleh pemerintah juga sangat besar sekali peranannya. Sebagai lembaga pendidikan publik yang difasilitasi pemerintah ia harus mengayomi semua golongan dan sudah barang tentu tidak boleh memihak atau mencirikan warna golongan tertentu. Ini sesuai dengan janji pemerintah bahwa pemerintahan dibangun untuk melindungi kepentingan semua golongan, terma-suk dalam hal ini ialah yang berkaitan dengan aqidah dan keyakinan. Yang jelas, selama masa tersebut, sekat-sekat sektarianisme tampak begitu mencair dan tidak ada hambatan psikologis untuk saling menyapa dan bersahabat akrab.
Dalam kondisi seperti itu pula sebenarnya ummat Islam telah menuai banyak keuntungan kultural. Kalau dulu, pada tahun 1950-an, orang saling mencaci karena pendukung partai tertentu dianggap “tidak santri” meskipun ia taat beribadah dan menjalankan semua perintah agamanya, pada masa dekade-dekade terakhir abad ke-20 orang semakin sadar bahwa untuk menjadi Muslim yang baik orang tidak mesti harus mendukung suatu partai atau kelompok tertentu yang mengusung label Islam secara eksklusif. Hilangnya sekat-sekat sektarianisme di kalangan ummat Islam sungguh merupakan suatu prestasi yang layak disyukuri dan dipertahankan oleh semua pihak. Ini merupakan hasil perjuangan dan penyadaran yang terus menerus diupayakan dengan tidak mengenal lelah selama bertahun-tahun. Dengan mengedepankan Islam yang inklusif, tidak sektarian, Islam telah mampu menarik banyak kalangan untuk bergabung atau menyatakan diri secara tegas sebagai Muslim yang taat. Lebih dari itu semua, sekarang tidak ada hambatan bagi seseorang untuk menyatakan diri sebagai Muslim atau menggunakan simbol-simbol identitas keislaman. Kenyataan terkini bahwa pendirian partai politik berlabel Islam tidak menimbulkan banyak kecurigaan—bahkan dilihat sebagai hal yang wajar untuk menyuarakan hak politik suatu kelompok—pada dasarnya merupakan bagian dari “keuntungan kultural” ini.
Bila kita cermati keseluruhan perkembangan Islam di Indonesia sejak kurang lebih tiga dekade terakhir abad ke-20, akan kita lihat beberapa kemajuan yang dapat di-sebut sebagai perluasan budaya santri atas budaya abangan, sejalan dengan semakin semaraknya kesadaran beragama pada sebagian besar anggota masyarakat. Ada bebe-rapa faktor yang dapat digaris-bawahi sebagai pendukung terhadap perluasan budaya santri ini, seperti:
1. Adanya upaya terus menerus dari para ulama dan intelektual Muslim untuk mem-berikan rumusan doktrin teologis yang mudah diterima dan bisa dijadikan pedoman dalam memperkuat keyakinan. Formulasi instan dalam wacana teologis ini barang-kali pertama-tama diberikan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1929, dalam rumusan Kitab al-Iman. Dengan menggunakan rumusan bahasa Indonesia, di samping teks Arabnya, Kitab al-Iman telah memberikan kemudahan kepada masya-rakat luas untuk memahami doktrin pokok keyakinan ini. Begitu rumusan dasar ini telah digariskan secara mapan dan dilanjutkan dengan elaborasi beberapa pokok keyakinan berkaitan dengan upaya-upaya pemurnian tauhid oleh tokoh-tokoh yang lain (K.H. Mas Mansoer, A. Hassan, Hamka, dll.), maka tampillah Harun Nasution dengan rumusan teologisnya yang lebih sistimatis dengan muatan-muatan yang lebih kompleks. Upaya-upaya Harun Nasution telah membuahkan sukses besar, terutama karena dukungan kelembagaan yang diberikan oleh IAIN dalam menyebarkan pandangan-pandangan teologisnya yang innovatif. Kedatangan Nurcholish Madjid memperteguh keberhasilan pengembangan wacana teologis yang dipelopori Harun Nasution. Madjid tidak hanya memperbaiki substansi dasar wacana teologis yang diberikan oleh Nasution, tetapi juga memperluas basis wacana tersebut dengan menjabarkan bagaimana menempatkan wacana teologis yang lebih canggih ini dalam konteks budaya Indonesia yang bisa diterima secara luas untuk menunjang proses demokratisasi.
2. Pembaharuan sistim politik yang secara tidak sengaja telah memberikan dukungan terhadap penyebaran budaya santri. Salah satu kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru ialah kebijakan “massa mengambang” (floating mass), yang dengannya partai politik tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas politiknya di tingkat desa. Demi menunjang keberhasilan pembangunan, rakyat di-depolitisir, atau dijauhkan dari persoalan-persoalan politis, kecuali sekali dalam lima tahun, yaitu dalam pemilihan umum. Bagi ummat Islam, meskipun kebijakan ini dinilai telah merugikan hak-hak politik mereka, mereka tetap mendapatkan manfaat tersendiri, yaitu dengan semakin berkurangnya konflik-konflik ideologis yang ditim-bulkan oleh perbedaan afinitas ideologis-primordial. Demikian pula halnya dengan kebijakan asas tunggal yang semula banyak ditentang, ternyata masih bisa memberikan dampak positif tersendiri bagi ummat Islam berupa terciptanya kohesifitas ummat. Dalam masa seperti itu, tidak ada lagi satu partai Islam pun yang secara legitimate bisa mengklaim ideologi partainya sebagai satu-satunya representasi Islam di Indonesia. Lebih dari itu, seperti telah disinggung di atas, tidak ada lagi ancaman politis bagi warga masyarakat untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang sebenarnya. Menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang taat sudah tidak perlu dicap sebagai orang yang fanatik, sehingga semakin banyak pula orang yang tidak ragu-ragu untuk menyatakan keislamannya, baik di tempat kerja, ruang publik maupun di tempat-tempat rekreasi.
3. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama sangat besar sekali peranannya dalam mengembangkan budaya santri ini. Semua siswa pada seluruh tingkat pendidikan diharuskan mengikuti pelajaran agama, termasuk dalam pendidikan umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi juga semakin menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan mahasiswanya dalam mengamalkan perintah agama atau memperdalam pengetahuan agama mereka. Banyak dana telah dihimpun untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan di kampus ini. Oleh karena itu tidak heran jika justru dari perguruan-perguruan tinggi umum inilah tampil banyak pemimpin agama atau muballigh yang tekenal secara luas, seperti Imaduddin Abdurrahim, Jalaluddin Rahmat, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan M. Amien Rais, sekedar menunjuk beberapa contoh.
4. Intensifikasi pelaksanaan dakwah Islam. Kegiatan dakwah yang semakin intensif telah memenuhi sebagian besar keinginan masyarakat untuk memperkaya pengeta-huan agama mereka. Dakwah yang bersifat fleksibel dan disajikan dengan berbagai variasi ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan budaya santri. Tampaknya dengan intensifikasi pelaksanaan dakwah ini pula sisa-sisa animisme, takhayul dan khurafat semakin terkikis. Salah seorang pengamat Barat yang mengkaji tentang tradisi slametan menunjukkan bahwa pelaksanaan dakwah yang intensif telah ikut berperan dalam mengurangi sisa-sisa animisme dalam tradisi slametan ini. Slametan yang tadinya merupakan ritual pemberian sesaji kepada kekuatan ghaib untuk mendapatkan perlindungan dari segala bencana atau mala-petaka, menurut Eldar Braten, sudah semakin diwarnai oleh unsur-unsur keislaman. Bahkan istilah slametan sekarang sudah banyak ditinggalkan, diganti dengan istilah tahlilan, suatu terminologi yang bersumber dari doktrin Islam. Oleh karena itu, terlepas dari makna simbolis dari makanan yang disajikan (ini pun juga sudah semakin jauh dari makna animistis), slametan sudah semakin dekat dengan tradisi yang diakui oleh Islam. Demikian pula halnya dengan tradisi ziarah qubur yang tadinya lebih kental dengan simbol-simbol animistis berupa pemujaan kepada arwah nenek moyang untuk mendapatkan berkah, wangsit dan pangestu dengan memberi-kan sesaji tertentu, sekarang sudah semakin banyak ditinggalkan. Dengan semakin dalamnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran agamanya, sekarang ziarah qubur tidak lagi dimaksudkan untuk mendapatkan berkah tetapi sekedar untuk mendoakan ahli kubur atau mengingatkan seseorang akan akhir kehidupan duniawinya. Dengan kata lain, orientasi keagamaan yang bersifat animistis dengan “memuja” nenek moyang telah berubah menjadi lebih dekat kepada doktrin Islam yang sebenarnya, dengan mereorientasikan keyakinan mereka kepada Allah semata. Namun yang lebih penting lagi ialah suatu kenyataan bahwa nama Allah lebih banyak disuarakan dan disebut dalam kehidupan sehari-hari, lewat pengeras suara di masjid-masjid, pengajian umum, dan oleh anak-anak yang belajar membaca kitab suci al-Qur’an.
Dengan gambaran seperti di atas, tampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya Islam di Indonesia, secara teologis, sudah berkembang semakin positif. Semakin banyaknya anggota masyarakat Muslim yang menyadari perlunya meninggalkan tradisi-tradisi lama yang tidak memiliki dasar dalam sumber doktrin Islam merupakan cerminan dari perluasan budaya santri di atas budaya abangan. Kondisi seperti ini pula kiranya yang menjadi perhitungan pihak-pihak pengambil keputusan dalam bidang politik semenjak beberapa waktu yang lalu. Ummat Islam sebagai konstituen terbesar di tanah air, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, layak menda-patkan perhatian secara proporsional dari setiap penentu kebijakan. Mungkin atas dasar pertimbangan seperti ini pula bahwa pemimpin partai pemenang pemilu 1999 yang lalu harus meluruskan persepsi bahwa nasib ummat Islam di Indonesia sebetulnya tidak hanya menjadi perhatian dan kepedulian partai-parati berlabel Islam semata, tetapi juga harus menjadi kepedulian seluruh partai yang memiliki kesadaran terhadap perlunya mempertahankan kesatuan atau integritas bangsa.
Paska Reformasi?
Sekarang, bagaimana kita melihat perkembangan lebih lanjut dari semua prestasi yang pernah dicapai seperti diuraikan di atas? Kalau kita semua sepakat bahwa hilang-nya sekat-sekat sektarianisme sebagai suatu prestasi yang layak kita syukuri bersama serta mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan Islam, maka sejauh mana kondisi sekarang ini mendukung “prestasi” tersebut. Bisakah suasana saling akrab dan ramah menyapa antara sesama Muslim di Indonesia yang pernah terbina sebelum ini kita wujudkan kembali? Atau, gambaran apa yang sebenarnya lebih tepat kita gunakan untuk mendeskripsikan hubungan antar ummat Islam sekarang ini, setelah gelombang reformasi berjalan selama kurang lebih empat tahun? Apakah suasana saling menghujat, bahkan seruan yang amat ekstrim “menghalalkan darah” orang Islam lain—karena perbedaan visi politik—itu bukan merupakan titik balik dari semua upaya membangun Islam yang inklusif selama ini? Masih bisakah kita temukan sisa-sisa pengakuan atas hak-hak asasi orang lain untuk mengemukakan aspirasinya tanpa merasa terancam keselamatannya oleh kelompok yang merasa dominan? Indonesia yang diklaim sebagai negara hukum—bukan negara kekuasaan—tampaknya semakin jauh dari idealisme seperti itu jika kita mengacu kepada perkembangan yang terjadi belakangan. Ketidak mampuan suatu kelompok untuk melihat adanya perbedaan tampaknya akan membalik-kan kita semua kepada suatu masa di mana segala sesuatu harus seragam (pakaian, ideologi, wacana, dan bahkan mungkin pola fikir), dan menyalahi keseragaman adalah hambatan yang harus dimusuhi, bahkan kalau perlu dibasmi.
Kembali kepada “arus balik” yang disuarakan oleh Pramoedya Ananta Toer di awal uraian ini, ada semacam kekhawatiran bahwa semangat itu sekarang sedang ditum-buhkan oleh mereka yang berkepentingan. “Arus balik” bisa dimunculkan untuk suatu kepentingan tertentu dan dengan menggunakan berbagai pretext, termasuk upaya-upaya dekonstruksionisme yang menjiwai postmodernisme atau post-tradisionalisme. Apakah memang arah itu yang sedang ditempuh dalam perjalanan bangsa kita ke depan? Mudah-mudahan asumsi ini tidak benar, dan barangkali akan sangat bijak jika kita ikuti suatu seruan untuk memelihara hal-hal yang baik dari khazanah masa lalu yang mendatangkan manfaat, sementara kita juga bersikap akomodatif dan terbuka terhadap hal-hal baru yang sekiranya akan mempersegar semangat kita untuk berinovasi dalam menyongsong masa depan. Pengakuan dan kesa-daran bahwa pluralisme adalah suatu keniscayaan sejarah seharusnya dapat membim-bing kita kepada kedewasaan untuk mempercepat proses demokratisasi. Perkembangan Islam yang telah diupayakan sebagai agama yang ramah, santun dan mengayomi hendaknya terus kita pertahankan, bukan lagi Islam—meminjam istilah Akbar S. Ahmed—yang diasosiasikan dengan ancaman bom, keberingasan, pembakaran atau pengrusakan.
Memang harus diakui bahwa, seperti yang dikemukakan oleh Drewes dalam kutipan di awal tulisan ini, sampai saat ini pun proses Islamisasi di Indonesia masih belum final. Islamisasi di tanah air kita masih terus berlangsung; bukan hanya dalam pengertian bahwa Islam terus menyebar kepada masyarakat pagan, tetapi juga bahwa anggota masyarakat yang telah mengaku menganut agama Islam sejak berpuluh-puluh atau bahkan beratus tahun yang lalu sekarang semakin sadar akan perlunya memenuhi standar kehidupan yang lebih Islami. Setidak-tidaknya hal tersebut tercermin dalam penampilan simbolis yang semakin semarak. Namun yang simbolis itu masih belum cukup, meskipun sudah lebih baik. Ada yang lebih essensial dari sekedar menampakkan simbol, yaitu mewujudkan kommitmen keagamaan dalam kehidupan yang lebih kongkrit dalam bentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial, serta perilaku keaga-maan yang lebih cerdas. Dalam euforia reformasi yang masih terus menggelora, kita tidak boleh kehilangan momentum untuk meningkatkan kualitas kehidupan bergama ini. Kommitmen kita pada ajaran-ajaran Islam harus dapat kita wujudkan dalam upaya memperkokoh semangat menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih positif.
Kesadaran atau komitmen terhadap kebenaran agama harus kita refleksikan dalam mencegah segala bentuk penyimpangan baik dalam perilaku sosial, praktek-praktek ekonomi maupun perilaku politik berupa penyalah-gunaan kekuasaan. Untuk itu perlu diingatkan kembali seruan salah seorang pemimpin nasional kita, Dr. M. Amien Rais, beberapa tahun yang lalu tentang perlunya menjunjung tinggi supremasi moral, dengan menjadikan moralitas sebagai “panglima.” Korupsi, kebiasaan menyuap, kolusi dan nepotisme yang benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan ini harus dihentikan, kalau kita menghendaki tegaknya supremasi hukum. Untuk itu, seperti yang dianjurkan oleh M. Amien Rais lagi, sistim moralitas yang lembek harus segera ditinggalkan, diganti dengan sistim atau tatanan moralitas yang tegas dan rigid. Dengan tatanan moralitas yang tegas dan rigid inilah kiranya batasan halal dan haram itu diakui dengan tegas, sehingga hal-hal yang dalam istilah agama disebut syubuhat itu akan dengan mudah dijauhi. Namun sistim moralitas yang tegas itu tampaknya tidak akan terwujud kalau landasan teologisnya tidak kuat. Dengan kata lain, untuk mewujudkan tatanan moralitas yang tegas diperlukan adanya sandaran teologis yang tegas pula. Untuk itu, teologi al-Asy’ari yang telah berabad-abad dijadikan anutan oleh kalangan ummat Islam Sunni, termasuk yang di Indonesia, perlu ditinjau ulang, terutama karena sifatnya yang permissive dan terlalu toleran terhadap pelanggaran norma-norma agama dan moral. Memang untuk menjadi Muslim, pertama-tama orang hanya dituntut untuk mengucapkan syahadat. Namun sebagai seorang Muslim ia selanjutnya dituntut untuk menjalankan syari’at agamanya, mengikuti semua doktrin teologis dan menunjukkan kommitmennya terhadap tatanan moralitas yang diajarkan oleh agama ini.
Theistic Subjectivism –Rationalistic Objectivism
Kiranya sudah tiba saatnya bagi ummat Islam di Indonesia untuk mengarahkan perhatiannya kepada teologi rasional sebagai landasan untuk menegakkan tatanan moralitas yang lebih tegas. Moralitas lembek (soft morality) dan permissive yang biasa dikaitkan dengan teologi al-Asy’ari telah sering disalahgunakan untuk mentolerir berba-gai bentuk penyimpangan dalam perilaku sosial seseorang maupun dalam kegiatan- kegiatan ekonomi dan politik. Moralitas lembek juga tak mampu berbuat banyak untuk mengembangkan upaya-upaya meningkatkan disiplin pribadi seseorang. Ini terutama karena lemahnya rasa tanggungjawab manusia dalam sistim “teologi permissive” al-Asy’ari yang mendasarinya. Teologi al-Asy’ari yang banyak dianut oleh ummat Islam Indonesia (termasuk kaum modernisnya) lebih menyandarkan segala keputusan kepada kehendak Allah yang Maha Kuasa. Oleh karena itu sistim moralitas yang dibangunnya pun bersifat “theistic subjectivism.” Sebutan “subjektivisme” dipakai untuk menunjuk-kan bahwa setiap nilai atau kualitas dari suatu tindakan ditentukan oleh “kemauan” subjek yang menghendaki terjadinya tindakan itu, baik berupa perintah, pernyataan, anjuran, larangan ataupun persetujuan dan ketidak-setujuan. Ia juga disebut “theistic” karena subjek dimaksud adalah Tuhan sendiri. Pemahaman teologi seperti ini kurang memberi tempat yang tegas pada tanggungjawab manusia atas tindakan-tindakan yang dilakukan. Bahkan secara arbitrer, orang yang menganut faham teologis seperti ini merasa tidak bersalah atas suatu tindakan yang merugikan orang lain, dengan alasan “tidak sengaja” atau menganggap tak ada jalan lain untuk memenuhi keinginannya. Dengan begitu ia dengan enaknya merasa tak bersalah dan ingin bebas dari segala tuntutan atau tanggungjawab serta tidak peduli dengan akibat kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh tindakannya itu atas diri “korban”-nya. Dalam lingkungan masyarakat yang cukup kental warna “feodalisme religious”-nya sikap theistic subjectivism mendapat lahan yang subur untuk berkembang, karena tokoh-tokoh tertentu dianggap memiliki otoritas lebih untuk berbicara tentang atau atas nama agama, tanpa kritik dari pengikut mereka. Lebih lanjut, “feodalisme religious” sering berkembang menjadi “spiritual slavery,” suatu bentuk penghambaan spiritual bukan kepada Tuhan yang menjanjikan kebebasan individu, tetapi suatu penghambaan kepada sesama manusia atas keunggulan otoritas spiritual yang diklaimnya.
Lawan dari theistic subjectivism adalah “rationalistic objectivism.” Dalam pan-dangan rationalistic objectivism, setiap tindakan, baik yang dilakukan oleh manusia maupun Tuhan, memiliki nilai etisnya tersendiri secara objektif. Baik dan buruk bukan ditentukan oleh adanya perintah dan larangan dari Tuhan semata-mata, tetapi karena karakteristik dari perbuatan itu sendiri. Karena nilai baik dan buruk adalah suatu entitas yang objektif, dia tidak bisa berubah sekedar karena adanya keinginan, pernyataan atau pemikiran pihak luar yang ingin melakukan value judgement, sekalipun yang meng-hendaki seperti itu adalah Tuhan sendiri. Sebagai contoh, berbuat adil itu adalah baik bukan karena Tuhan memerintahkan manusia berlaku adil, tetapi semata-mata karena nilai-nilai objektif dari kebaikan yang terkandung dalam keadilan itu sendiri. Jadi keadilan itu baik bukan karena hal itu diperintahkan oleh Tuhan, tetapi karena karakter perbuatan itu sendiri dan nilai-nilai objektif yang tekandung di dalamnya.
Karena nilai baik-buruk adalah suatu hal yang objektif, maka manusia, sesuai dengan prinsip al-lutf yang memungkinkan adanya taklif dari Allah, harus mampu menemukannya sendiri dan menjadikannya pedoman dalam perilaku sosialnya. Lebih dari itu, karena baik dan buruk semata-mata tidak ditentukan oleh “kehendak subjektif” dari Tuhan, maka manusia memiliki tanggungjawab yang penuh atas semua tindakan yang dilakukannya. Ia tidak mudah melemparkan tanggungjawab atas kesalahan yang ditimbulkan oleh perbuatannya kepada pihak lain dengan alasan “tidak sengaja,” atau karena adanya “hambatan” dan “keterpaksaan” yang tak mungkin dihindari. Hidayat Ilahi dalam konteks ini lebih berfungsi sebagai upaya mempermudah proses penyadaran tentang nilai-nilai baik-buruk yang bersifat objektif itu. Oleh karena itu, jika kesadaran teologis yang seperti ini dapat kita wujudkan dalam sikap hidup seorang Muslim, maka moralitas yang lebih tegas akan dapat kita tegakkan dan pengaruh negatif dari moralitas yang lembek akan mudah dieliminir, sehingga akhirnya moralitas benar-benar dapat kita jadikan sebagai “panglima.”
Kilas Balik
Secara simbolis, Islam di Indonesia paska reformasi sudah berkembang jauh lebih dinamis dibandingkan masa-masa sebelumnya. Namun dari sisi komitmen teologis dapat dikatakan kualitasnya masih belum banyak berubah. Berbagai wacana memang telah berkembang amat pesat, baik yang bercorak fundamentalis, liberal, maupun yang cenderung kekiri-kirian. Demikian pula halnya dengan semangat mengekspresikan nilai-nilai keagamaan pada level simbolis-institusional. Wanita Muslimah berjilbab sudah sangat umum, masjid dibangun hampir di setiap sudut kampung, dan semangat pergi haji atau umrah mengalahkan perhitungan-perhitungan ekonomis riel, dan bukan sekedar memenuhi tuntutan menjalankan kewajiban agama semata. Namun di balik realitas luar seperti itu belum nampak adanya peningkatan kualitas kehidupan yang mencerminkan kommitmen kegamaan yang lebih mendalam. Ini dapat dilihat, misalnya, dari kenyataan bahwa meskipun wanita Muslimah telah banyak menggunakan jilbab, namun, pada saat adzan maghrib dikumandangkan, mereka justru memadati supermarket atau pusat-pusat perbelanjaan di kota, sementara masjid yang dibangun di mana-mana hanya diisi oleh satu-dua baris jamaah dan hanya sebagian kecil daripadanya adalah jamaah putri. Meskipun ratusan masjid pada saat-saat sholat fardu masih banyak yang kosong, semangat membangun masjid baru tidak pernah kendor. Ironisnya lagi, pertambahan jumlah masjid di pusat-pusat pemukiman ummat Islam tidak selalu identik dengan menurunnya tingkat dan kualitas kejahatan yang terjadi di lingkungan tersebut. (Inikah yang belakangan ditengarai sebagai merebaknya “gejala STMJ,” sholat terus, maksiat [tetap] jalan?).
Beberapa pengamat Barat terkagum-kagum dengan dinamika Muslimah di negeri kita. Meskipun mereka tetap berjilbab dengan amat rapi, mereka tidak kurang lincah dan trampil dalam kehidupan sosial dan aktifitas publik, termasuk …. mengemudikan mobil sendiri di jalan raya. Hal seperti itu, kata pengamat Barat tersebut, tak mungkin mereka dapati di Timur Tengah atau di Pakistan. Namun mereka, para pengamat Barat itu, mungkin saja tidak memperhatikan bagaimana sebagian mahasiswi di perguruan tinggi Islam negeri (yang berjilbab) itu berboncengan sepeda motor dengan laki-laki yang belum tentu muhrimnya dengan mempertontonkan kemesraan, layaknya sedang berpa-caran. Dalam beberapa hal, jilbab yang mereka kenakan pun belakangan lebih nampak sekedar formalitas saja dan belum menunjukkan semangat yang semestinya dari makna jilbab yang mereka kenakan itu. Belum lagi jika dipertimbangkan kehidupan kampus UIN/IAIN/STAIN yang sering ditengarai semakin “liberal,” bukan hanya dalam pemikiran, tetapi juga dalam soal kebebasan hubungan sesama mahasiswanya, antara yang laki-laki dan perempuan. Beberapa kasus pelanggaran norma hubungan lelaki-perempuan yang terjadi di antara sesama penghuni kampus sering mencuat tanpa bisa ditutup-tutupi lagi.
Sementara upaya-upaya mencerdaskan kehidupan beragama terus digalakkan melalui perguruan-perguruan tinggi agama sampai ke tingkat magister dan doktoral, seorang tokoh yang bertitel haji di daerah jalur Pantura Jawa mengembangkan bisnisnya dalam pelayanan jasa bagi mereka yang memerlukan berbagai jenis azimat, khizib, mantra, rajah, mahabbah dan lain-lainnya, dengan memasang iklan yang cukup besar di sebuah koran lokal. Kepatuhan anggota masyarakat terhadap hukum, seperti kita ketahui bersama, juga sangat memprihatinkan, seolah-olah agama yang katanya menji-wai kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak ada pengaruhnya sama sekali pada penyadaran akan perlunya mentaati kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Bahkan terdapat kecenderungan untuk menafikan hukum dengan sering bertindak main hakim sendiri. Daftar ini tentu bisa dibuat lebih panjang lagi dengan mencatat semua bentuk paradoksi dari semaraknya kehidupan beragama paska reformasi.
Contoh-contoh kejadian seperti ini sepertinya telah membenarkan suatu sinyale-men bahwa adanya setumpuk norma dan sederet khotbah agama tidak menjamin sese-orang menjadi lebih baik akhlaqnya dan menjadi seorang yang agamis. Hal ini, seperti diungkap oleh Dr. Komaruddin Hidayat, antara lain karena yang menggerakkan perilaku seseorang bukan setumpuk kaidah agama yang diceramahkan lewat pengajian, radio atau TV, tetapi emosi dan nilai-nilai yang telah terinternalisasi ke dalam sistim bawah sadar seseorang, yang merupakan akumulasi dari kebiasaan, cita-cita dan naluri instingtif manusia. Wacana dan retorika keagamaan bisa saja memenuhi ruang angkasa dan dunia percetakan. Tetapi sepertinya tidak banyak dari retorika moral kegamaan itu yang cukup meresap dan menjiwai perilaku kehidupan ummat. Ini karena yang mengisi lapisan bawah sadar masyarakat kita adalah emosi dan imajinasi lain yang justru bersebarangan dengan norma-norma agama yang banyak diceramahkan tersebut.
Kalau paradoksi-paradoksi seperti ini terus bertambah, maka apa yang terjadi sekarang menunjukkan bahwa perkembangan kehidupan beragama di Indonesia belum terlalu jauh berbeda dari gambaran yang diberikan oleh Ki Jurumartani yang dikutip pada permulaan tulisan ini.… “clad in a Muslim attire to incite their admiration, but fill the heart beyond that attire with new fascinating legends instead of with the exhortations of the walis.” Artinya, to a certain degree, Islam di Indonesia masih diterima secara superfisial. Islam sebagai sistim keyakinan hanya berfungsi sebagai “wadah” dari “isi” tradisi Jawa yang kental dengan unsur-unsur budaya lama. Mudah-mudahan ini tidak harus diartikan bahwa “to be a Javanese does not necessarily means to be a Muslim, but merely an abangan,” suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan yang terjadi di Malaysia, bahwa “to be a Malay equally means to be a Muslim.”
BIBLIOGRAPHY
Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise. London and
New York: Routledge, 1992.
Benda, Harry J. “Christian Snouck Hurgronje and Foundation of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” dalam Ahmad Ibrahim et al. (eds.), Readings on Islam in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985, h. 61-69.
Berg, C.C. “The Islamization of Java.” Studia Islamica, vol. 1 (1953), h. 111-142.
Braten, Eldar. “To Colour, Not Oppose: Spreading Islam in Rural Java,” in Leif Manger
(ed.), Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts. Surrey, England:
Curzon Press, 1990, h. 150-172.
Cederroth, Sven. “Indonesia and Malaysia,” dalam David Westerlund dan Ingvar
Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World. New York: St. Martin’s Press,
1999, h. 253-277.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glenco, 1960.
Hidayat, Komaruddin. “Menimbang Harga Diri Bangsa,” Kompas, 6 Maret 2001, h. 4-5.
Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbar. Oxford:
Clarendon Press, 1971.
--------. “Divine Justice and Human Reason in Mu’tazilite Ethical Theology,” dalam
Richard G. Hovannisian (ed.), Ethics in Islam. Malibu: Udena Publications,
1983, h. 73-83.
Ibrahim, Ahmad et al (eds.) Readings on Islam in Southeast Asia Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 1985.
Koentjaraningrat, “Javanese Terms for God and Supernatural Beings and the Idea of
Power,” dalam Ahmad Ibrahim et al (eds.), Readings on Islam in Southeast Asia Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985.
Liddle, R. William. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sydney: Asian
Studies Association of Australia, 1996.
--------. “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik
Islam di Indonesia Masa Orde Baru,” dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali-
Fauzi. Bandung: Mizan, 1998, h. 283-311.
Ma’arif, A. Syafii. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Martin, Richard C. et al., Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval
School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld, 1997.
Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1983.
Pranowo, Bambang. Islam Faktual antara Tradisi dan Relasi Kuasa. Jakarta: Adi Cita,
1999.
Radar Yogya – Jawa Pos, 27 Februari 2001.
Rais, M. Amien. Refleksi Amien Rais dari Persoalan Semut sampai Gajah. Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
--------. “Panglima.” Republika Online, http://www.rad.net.id/republika/9603/14, 14 Maret
1996.
Ricklefs, M.C. “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam. New York: Holmes and Meier, 1979, h. 100-128.
Saleh, Fauzan. Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century
Indonesia. Leiden: E.J. Brill, 2001.
Simon, Gottfried. The Progress and Arrest of Islam in Sumatra. London: Marshall
Brothers, 1912.
Toer, Pramoedya Ananta. Arus Balik: Sebuah Novel Sejarah. Jakarta: Hasta Mitra,
1995.
Wertheim, W.F. Indonesian Society in Transition: A Study in Social Change. The
Hague: W. van Hoeve, 1964.
Westerlund, David dan Ingvar Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World. New
York: St. Martin’s Press, 1999.
Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of
Yogyakarta. Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
--------. (ed.) Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj.
Ihsan Ali-Fauzi. Bandung: Mizan, 1998.
PASKA REFORMASI:
SUATU ARUS BALIK?
Oleh Fauzan Saleh*)
Thanks to the hard works of the walis, Islam has been a real force, more overwhelming than that of yours. If you strive against it and assault it, you will never be able to subjugate it. The only way workable is to embrace it to a limited extent. Give Muslims their delicious side dishes, but, candidly and gradually, reduce their meal. Clad in Muslim attire to incite their admiration, but fill the heart beyond that attire with new fascinating legends instead of with exhortations of the walis. Meanwhile make them threatened with your personal glory by inventing these legends…. like your love affairs with Nyi Roro Kidul [the South Ocean Goddess].
Ki Jurumartani
The Islamization of Indonesia is still in process, not only in the sense that Islam is still spreading among pagan tribes, but also in that people who went over to Islam centuries ago are living up more and more to the standard of Muslim orthodoxy.
G.W.J. Drewes.
Mungkin Anda pernah membaca sebuah karya besar yang amat menarik dari novelis terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul Arus Balik. Novel sejarah ini bercerita tentang upaya mengembalikan arah perjalanan sejarah, menentang “arus utara” yang begitu kuat merambah kawasan Nusantara sejak awal abad ke-16. Karya besar Pramoedya ini juga membawa semangat dan missi ingin membangkitkan “arus selatan,” untuk menandingi kuatnya penetrasi “arus utara” yang mula-mula didatangkan oleh para penjelajah Portugis. Semangat “arus selatan” sebenarnya bukan hanya milik para Sultan di sepanjang pantai utara Jawa abad ke-16 dan 17, tetapi juga dikumadangkan oleh para penguasa Muslim di berbagai wilayah yang kekuasaan mereka mulai digerogoti oleh para pendatang dari Barat. Mereka mengusung semangat yang sama: bagaimana kejayaan yang tadinya berasal dari selatan—dan kemudian hilang—bisa diraih kembali.
Semangat selatan dalam menggerakkan “arus balik” dalam novel sejarah ini, sayangnya, tidak diakhiri dengan happy ending. Akhir cerita tersebut justru menunjuk-kan betapa semakin tak berdayanya Selatan berhadapan dengan Utara. Islam yang mulai bertahan sebagai kekuatan baru mewakili wilayah selatan (menggantikan kekuatan Hindu-Buddha sebelumnya) dan berusaha mengembangkan sayapnya di tanah Jawa tak mampu berhadapan dengan berbagai tantangan yang sangat kompleks: Ia belum mampu tampil sebagai kekuatan politik yang solid menyatukan seluruh wilayah bekas kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha yang digantikannya. Di sisi lain, Islam juga belum sepenuhnya berhasil merubah tatanan nilai dan struktur budaya setempat, sesuai dengan doktrin yang sebenaranya diajarkan oleh agama ini. Islam baru diterima secara superfisial, sekedar lapisan luar yang tipis di atas inti budaya animisme atau Hinduisme yang masih kokoh. Islam sekedar menjadi “wadah” dari substansi animisme atau budaya lokal yang belum banyak berubah. Bersamaan dengan itu, kekuatan Islam yang belum seberapa tersebut harus berhadapan dengan penetrasi Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain yang datang kemudian. Kedatangan para penjelajah Eropa ini tidak hanya berusaha merebut sumber-sumber ekonomi rakyat pribumi, tetapi juga ingin mempengaruhi tatanan nilai dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat. Jelasnya, mereka juga berkepentingan untuk mengubah keyakinan penduduk pribumi untuk beralih menjadi pengikut agama mereka. Menentang semua bentuk penetrasi Utara inilah sebenarnya yang menjadi semangat Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan novel sejarahnya.
Selintas tentang Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam batas-batas tertentu, Pramoedya dengan novelnya tersebut juga memberi gambaran tentang awal perkembangan Islam di Indonesia sebagai suatu kekuatan sosial, politik dan militer pada periode formative. Dalam novel tersebut kita juga mendapatkan suatu gambaran bahwa meskipun Indonesia berada begitu jauh dari pusat penyebaran Islam di Timur Tengah, proses Islamisasi di Indonesia—sekalipun berlangsung cukup lambat—tidak pernah berhenti. Pasang surut proses Islamisasi terus dialami oleh setiap generasi di berbagai wilayah Nusantara. Masa-masa surut tentu saja dialami pada era penjajahan Belanda selama beberapa ratus tahun. Penguasa Belanda secara serius ber-usaha membatasi ruang gerak ummat Islam dengan mendekati golongan aristokrat yang, karena alasan-alasan politik tertentu, dikenal sebagai penganut Islam “setengah hati” atau bahkan memusuhi pemimpin-pemimpin Islam yang dianggap “militan.” Dengan mendekati golongan aristokrat ini pula penguasa Belanda berusaha menyebarkan keyakinan mereka, dengan dalih “fishing with the net proved to be more efficient than fishing with the hook” (menangkap ikan dengan jaring atau jala terbukti lebih berhasil daripada menggunakan kail). Para aristokrat, sebagai penguasa lokal, telah diperguna-kan oleh Belanda sebagai “jaring” untuk mengajak rakyatnya berpindah agama secara massive. Atau, paling tidak, dengan memberikan pendidikan model Belanda yang anti-Islam kepada mereka, kalangan aristokrat tersebut menjadi semakin jauh dari Islam dan tak peduli dengannya. Mereka sangat dibatasi untuk mengenal Islam dan kepada mereka diajarkan bahwa agama yang sesuai dengan kepribadian dan budaya mereka adalah agama nenek moyang sebelum datangnya Islam. Islam seperti yang diajarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tradisional dianggap tidak lebih dari sekedar “sampah dari abad pertengahan yang dibawa-bawa oleh penganut agama ini sepanjang sejarahnya.”
Namun di balik semua usaha kaum penjajah untuk menjauhkan penduduk pribumi dari Islam, Islam masih memiliki daya tarik tersendiri dan tetap menjadi benteng pertahanan yang cukup kuat untuk menghadapi penetrasi budaya asing tersebut. Ini terbukti dengan adanya enclaves atau kantung berupa kampung “kauman,” “putihan” dan pesantren di berbagai wilayah Nusantara. Terlepas dari propaganda pihak Belanda kepada kalangan aristokrat tentang kejelekan Islam, di wilayah-wilayah kantung ini Islam masih terus dijadikan keyakinan rakyat setempat dan menjadi sumber semangat mempertahankan diri dari penetrasi penjajah. Di tempat-tempat seperti inilah semua warisan tradisi keislaman dilestarikan. Di sini pula ummat Islam di Nusantara berusaha memperdalam keyakinan dan mengembangkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran agama. Bahkan pendidikan Belanda yang tadinya dimaksudkan untuk menjauhkan penduduk pribumi dari Islam, dalam batas-batas tertentu, juga memberi manfaat bagi penyebaran Islam sendiri. Di antara pegawai rendahan yang diangkat oleh Belanda (khususnya yang di Sumatra) ternyata masih banyak yang memiliki komitmen terhadap Islam. Mereka dianggap oleh rakyat sebagai kalangan terdidik yang telah mencapai kemajuan yang sangat hebat. Keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan dan menjalankan ajaran Islam juga sangat dikagumi rakyat dan menumbuhkan semangat mereka untuk tetap menganut agama ini. Di samping itu, penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara juga mempunyai peran yang sangat besar bagi penyebaran Islam. Salah satunya, karena bahasa Melayu (masih) menggunakan huruf Arab sebagai medium penulisannya maka hal itu memperteguh keyakinan sebagian rakyat bahwa mereka akan bisa maju dan terdidik jika mareka mau memeluk agama Islam. Di sisi lain, pengetahuan modern yang diberikan oleh lembaga pendidikan Barat telah membukakan wawasan rakyat pribumi untuk mengenal kemajuan dan mendorong mereka untuk meninggalkan tradisi animisme atau dinamisme, suatu proses pencerahan yang menjadi salah satu tujuan dari missi penyebaran Islam itu sendiri.
Polarisasi Modernis – Tradisionalis
Mengikuti perkembangan Islam di Indonesia semenjak diperkenalkannya sistim pendidikan modern oleh kaum penjajah kita menyaksikan berbagai variabel yang semakin mengkristal. Semenjak dekade kedua abad ke-20, ummat Islam di Indonesia terpolarisasi menjadi kelompok modernis dan tradisionalis, masing-masing dengan cirinya yang khas. Menurut pengamatan Clifford Geertz yang terkenal dengan kajiannya tentang karakteristik Islam di Indonesia yang ia bedakan menjadi santri, abangan dan priyayi, Islam di Indonesia pada dekade 1950-an dapat dicirikan sebagai adanya pertentangan antara kalangan modernis dan tradisionalis. Secara garis besar perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:
1. Kalangan tradisionalis lebih menekankan hubungan dengan Tuhan dari sisi berkah dan ganjaran dari kebaikan moral dan amal adalah sepenuhnya merupakan ketentuan dari kehendakNya. Bagi kalangan modernis, bentuk hubungan dengan Tuhan ini diwujudkan dengan adanya kerja keras dan penentuan nasib sendiri (self determination).
2. Kaum tradisionalis cenderung berpandangan “totalistik” dalam hal peran agama dalam kehidupan, di mana seluruh aspek kehidupan didasarkan atas pertimbangan agama, dan batasan antara agama dan kehidupan profan menjadi kabur. Bagi kaum modernis hubungan antara agama dan kehidupan duniawi ini lebih sempit, yaitu sebatas hal-hal yang telah didefinisikan secara tegas, sehingga batasan antara yang sakral dan yang profan menjadi tegas.
3. Kelompok tradisionalis cenderung kurang peduli (meskipun masih tetap peduli) dengan issue kemurnian akidah mereka dan membiarkan praktek-praktek ritual non-Islam, setidak-tidaknya sebagian kecil darinya, untuk tetap dijadikan amalan mereka. Kalangan modernis lebih menjaga kemurnian akidah dan praktek keagamaan mereka dari hal-hal yang berasal dari luar Islam.
4. Kaum tradisionalis menekankan “aspek konsumtif” dari amaliah keagamaan, dan mementingkan pengalaman keagamaan. Bagi kaum modernis, aspek instrumental dari agama lebih ditekankan, dan mereka lebih peduli dengan sikap keagamaan, ketimbang pengalaman keagamaan semata.
5. Kaum tradisionalis cenderung membenarkan praktek-praktek yang didasar-kan pada adat-istiadat dan pendapat para ulama masa lalu. Kaum modernis lebih menggunakan jastifikasi keagamaan berdasarkan nilai-nilai pragmantis-nya dalam kehidupan kontemporer dan merujuk kepada teks-teks al-Qur’an dan Hadits serta menafsirkannya secara longgar.
Pada dasarnya pebedaan antara keduanya dalam hal doktrin dapat disimpulkan sebagai yang bersandar kepada “ketentuan nasib” lawan “penentuan nasib sendiri,” pandangan keagamaan yang totalistik melawan pandangan yang terbatas, yang sinkretis melawan yang puritan, kecenderungan mementingkan pengalaman beragama melawan penekanan kepada aspek instrumental dari agama, dan kecenderungan membenarkan praktek-praktek keagamaan berdasarkan adat-istiadat dan pendapat para ulama masa lalu berhadapan dengan pembenaran berdasarkan bunyi teks al-Qur’an dan Hadits. Berdasar-kan perbedaan ini semua, Geertz menegaskan bahwa bukanlah suatu kebetulan semata jika orang beranggapan bahwa kalangan tradisionalis, secara kultural, sebenarnya lebih dekat dengan kelompok abangan. Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa karena pembedaan ini didasarkan pada penelitian Geertz pada dekade 1950-an, maka tidak semua aspek yang dibedakan tersebut tetap berlaku sampai sekarang. Kaum tradisio-nalis, terlepas dari gambaran yang diberikan oleh Geertz di atas, sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Kalangan tradisionalis—sebagaimana halnya “kaum santri” lainnya—juga telah terangkat tingkat sosial dan ekonominya selama beberapa dekade belakangan. Bersamaan dengan itu, dengan semakin tingginya fluktuasi gesekan atau mobilitas yang mereka alami, mereka semakin terbuka terhadap pemahaman doktrin-doktrin yang lebih murni. Perubahan serupa juga dialami oleh kalangan abangan, meskipun dalam kadar yang berbeda.
Skripturalis – Substansialis
Dalam karyanya yang lain, Islam Observed (1967), Geertz masih menunjukkan kepeduliannya dengan karakteristik Islam di Indonesia, dengan menyoroti sikap keaga-maan kaum modernis yang cenderung mengarah kepada skripturalisme. Geertz meng-asumsikan betapa kuatnya kecenderungan skripturalis dari kalangan modernis ini, sehingga ia berkesimpulan bahwa kecenderungan inilah yang sangat dominan mewarnai kehidupan ummat Islam di Indonesia. Berdasarkan pengamatannya pula Geertz mene-gaskan bahwa dinamika modernisasi tidak mampu menggoyahkan pemikiran skripturalis ini. Lebih jauh Geertz beranggapan bahwa pemikiran skripturalis inilah yang menjadi mainstream Islam di Indonesia dan mendominasi perdebatan intelektual ummat Islam di negeri ini selama dekade 1950-an. Sayang, Geertz sudah kurang tertarik untuk melihat perkembangan Islam di Indonesia pada beberapa dekade sesudahnya. Pengamatan terha-dap perkembangan Islam di Indonesia selanjutnya diteruskan oleh para Indonesianis lain, seperti Robert W. Hefner, Mitsuo Nakamura, James L. Peacock, R. William Liddle, Daniel S. Lev dan lain-lain. Mereka mengemukakan pandangan yang berbeda-beda tentang perkembangan Islam di Indonesia di era kontemporer sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing.
Berbeda dengan pandangan pessimistis Clifford Geertz di atas, pengamatan lebih terkemudian terhadap perkembangan Islam di Indonesian menunjukkan bahwa ruang gerak pemikiran Islam skripturalis semakin menyempit, dan hampir kehilangan pesona-nya. Melalui proses sosio-kultural yang panjang, pemikiran-pemikiran keislaman yang bercorak skripturalis mulai melemah, sejalan dengan semakin luasnya kesempatan ummat Islam untuk mendapatkan akses ke pendidikan modern yang memperluas wawasan mereka. Sejak dekade 1970-an, corak pemikiran yang berkembang dan terus menguat ialah pemikiran keislaman yang substansialis. Model pemikiran ini semakin diminati dan mendapat sambutan yang semakin luas, karena dinilai lebih cocok dengan realitas masyarakat Indonesia yang plural. Proses modernisasi yang intensif sejak awal 1970-an telah mendorong penguatan pemikiran Islam substansialis dan sekaligus mem-persempit ruang gerak pemikiran kaum skripturalis, sekalipun tidak mungkin bisa meng-gantikannya atau menghilangkannya sama sekali.
Modernisasi telah membawa perubahan besar pada hampir semua dimensi kehi-dupan masyarakat. Modernisasi juga telah mengantarkan masyarakat Muslim ke sebuah wacana atau pemikiran baru yang lebih relevan dengan kemajuan zaman. Melalui proses modernisasi pula ummat Islam mampu tampil secara modern, merambah ke berbagai spektrum kehidupan sosial, budaya dan politik. Islam, jauh dari kesan tradisional, kolot dan terbelakang, telah begitu menjiwai modernitas zaman serta menjadi spirit dalam dinamika kemodernan itu sendiri. Ini tercapai, antara lain, berkat semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan modern, baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun yang diupayakan oleh lembaga-lembaga swasta. Pendidikan, dalam hal ini, telah berfungsi sebagai fasilitas yang menjembatani kesenjangan antara kebodohan dan konservatisme massa rakyat dengan modernitas yang ditonjolkan oleh kalangan penguasa.
Mengapa ruang gerak skripturalis menjadi sempit dalam proses modernisasi tersebut? Ini tidak lepas dari beberapa ciri pemikiran skripturalis, antara lain: (1) Bersifat normatif, bertumpu semata-mata pada teks yang menjadi pedoman bakunya. (2) Kurang memberi tempat kepada upaya penafsiran baru atas teks-teks normatif. (3) Sering menutup rapat pintu dialog untuk mengembangkan wacana pemikiran alternatif. (4) Kurang toleran terhadap perbedaan pendapat, karena terkungkung oleh nilai-nilai normatif yang menjadi pegangannya, dan (5) lebih mengutamakan dimensi formalisme-legalisme dan simbolisme. Dengan ciri-ciri seperti ini maka dapat dikatakan bahwa ekspresi pemikiran keislaman skripturalis cenderung mementingkan label daripada substansi, kemasan jauh lebih diutamakan dari isi. Ide tentang negara Islam, partai Islam, dan segala sesuatu yang berlabel Islam merupakan wujud nyata dari pandangan skripturalis ini.
Berbeda dengan ciri-ciri skripturalis di atas, pemikiran substansialis dapat disebutkan ciri-cirinya, antara lain: (1) Tidak terkungkung semata-mata oleh nilai normatif, sehingga lebih leluasa dalam memahami teks dan tradisi Islam secara terbuka dan dinamis. (2) Teks dan tradisi Islam tidak dijadikan sebagai sistim kredo yang beku, sehingga tidak menutup peluang bagi interpretasi baru sesuai dengan perkembangan kontemporer. (3) Dalam pemikiran kaum substansialis, teks-teks normatif itu akan lebih bermakna bila dilakukan penafsiran ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, di mana pemahaman terhadap teks tak bisa lepas dari pemahaman terhadap konteks. (4) Isi jauh lebih dipentingkan dari bentuk atau label, sehingga sedapat mungkin berusaha menjauhi hal-hal yang bersifat simbolis, legal formalistis semata. (5) Berusaha agar nilai-nilai universal Islam seperti keadilan sosial, demokrasi, toleransi dan egalitarianisme dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat untuk dijadikan etika sosial. Dalam hal terakhir ini upaya mewujudkan keadilan sosial jauh lebih penting dari berdebat soal negara Islam atau partai Islam.
Selain faktor modernisasi, pemikiran substansialis dapat berkembang lebih subur karena kesadaran akan adanya pluralisme. Berbeda dengan asumsi Geertz tahun 1950-an, pada era 1980-an ke depan pemikiran Islam substansialis telah menjadi mainstream dalam pemikiran keislaman di Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia yang majemuk telah menyediakan lahan subur bagi berkembangnya pemikiran substansialis ini. Para pemikir substansialis lebih peduli dengan upaya menyuarakan pesan moral daripada menonjolkan atribut formal, sehingga memungkinkan untuk mengakomodasi kepen-tingan bangsa yang lebih luas. Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia selama lebih kurang dua dekade terakhir juga ditandai oleh munculnya ketegangan-ketegangan kreatif antara kedua corak pemikiran yang berdeda tersebut, terutama pada tataran artikulasi politik. Dalam hal ini artikulasi pemikiran politik kalangan skripturalis lebih kental warna ideologisnya, dengan semangat memperjuangkan agar Islam menjadi kekuatan legal dalam kehidupan kenegaraan. Wujud kongkrit yang dicita-citakan ialah penegasan Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Dalam memperjuangkan agenda politiknya mereka menggunakan pendekatan non-integratif dan bersifat partisan, serta memandang bahwa parlemen merupakan pilihan tunggal untuk dijadikan medan perjuangan. Dengan menggunakan logika linear, mereka beranggapan bahwa partai Islam adalah wadah satu-satunya untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam.
Suatu Perkembangan Baru
Namun dari berbagai macam perkembangan tersebut ada suatu bentuk perkem-bangan baru yang cukup menjanjikan bagi suasana kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang. Selama beberapa dekade terakhir abad ke-20, Islam di Indonesia telah tampil secara lebih elegan, bisa diterima oleh berbagai pihak dengan mengesampingkan kecurigaan-kecurigaan atau asumsi-asumsi negatif yang pada masa sebelumnya cukup lekat dengannya. Islam sudah tidak dicurigai sebagai agama yang ekstrim, hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dan tidak peduli dengan kepentingan bangsa secara umum. Kecurigaan tehadap ambisi ingin mendirikan negara Islam di Indonesia sudah semakin tipis, dan kesediaan ummat Islam untuk ikut serta dalam proses modernisasi dan pembangunan sudah cukup nyata kelihatan. Tokoh-tokoh yang tampil sudah bukan dari kalangan yang sebelumnya dicurigai sebagai yang terobsesi ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Terlepas dari berbagai kritikan dan koreksi terhadap “pemaksaan” penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial dan politik yang ada, hal tersebut telah mengkondisikan adanya kehar-monisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan intern ummat bergama juga semakin kondusif untuk saling membuka diri dan memungkinkan dieliminirnya sekat-sekat sektarianisme atau keterikatan primordialisme.
Untuk menjadi Muslim yang baik, orang tidak harus menetapkan label golongan tertentu atau mengikuti suatu madzhab tertentu sebagai anutannya. Sebaliknya, kecen-derungan untuk saling mencemooh atau mendeskreditkan kelompok lain karena perbe-daan cara-cara mengamalkan ritual agamanya juga semakin berkurang. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa suatu masjid yang tadinya diklaim sebagai milik kelompok tertentu juga didatangi oleh anggota kelompok lain untuk melaksanakan ibadah atau menghadiri pengajiannya. Bahkan semakin banyak masjid dibangun tidak atas nama suatu kelompok atau mewakili suatu warna kelompok tertentu. Demikian pula dengan fasilitas pendi-dikan yang dikelola oleh suatu kelompok sering dipenuhi oleh pemuda-pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan dari anggota kelompok lain yang berbeda afiliasi keagama-annya. Dalam hal ini fasilitas pendidikan agama yang diberikan oleh pemerintah juga sangat besar sekali peranannya. Sebagai lembaga pendidikan publik yang difasilitasi pemerintah ia harus mengayomi semua golongan dan sudah barang tentu tidak boleh memihak atau mencirikan warna golongan tertentu. Ini sesuai dengan janji pemerintah bahwa pemerintahan dibangun untuk melindungi kepentingan semua golongan, terma-suk dalam hal ini ialah yang berkaitan dengan aqidah dan keyakinan. Yang jelas, selama masa tersebut, sekat-sekat sektarianisme tampak begitu mencair dan tidak ada hambatan psikologis untuk saling menyapa dan bersahabat akrab.
Dalam kondisi seperti itu pula sebenarnya ummat Islam telah menuai banyak keuntungan kultural. Kalau dulu, pada tahun 1950-an, orang saling mencaci karena pendukung partai tertentu dianggap “tidak santri” meskipun ia taat beribadah dan menjalankan semua perintah agamanya, pada masa dekade-dekade terakhir abad ke-20 orang semakin sadar bahwa untuk menjadi Muslim yang baik orang tidak mesti harus mendukung suatu partai atau kelompok tertentu yang mengusung label Islam secara eksklusif. Hilangnya sekat-sekat sektarianisme di kalangan ummat Islam sungguh merupakan suatu prestasi yang layak disyukuri dan dipertahankan oleh semua pihak. Ini merupakan hasil perjuangan dan penyadaran yang terus menerus diupayakan dengan tidak mengenal lelah selama bertahun-tahun. Dengan mengedepankan Islam yang inklusif, tidak sektarian, Islam telah mampu menarik banyak kalangan untuk bergabung atau menyatakan diri secara tegas sebagai Muslim yang taat. Lebih dari itu semua, sekarang tidak ada hambatan bagi seseorang untuk menyatakan diri sebagai Muslim atau menggunakan simbol-simbol identitas keislaman. Kenyataan terkini bahwa pendirian partai politik berlabel Islam tidak menimbulkan banyak kecurigaan—bahkan dilihat sebagai hal yang wajar untuk menyuarakan hak politik suatu kelompok—pada dasarnya merupakan bagian dari “keuntungan kultural” ini.
Bila kita cermati keseluruhan perkembangan Islam di Indonesia sejak kurang lebih tiga dekade terakhir abad ke-20, akan kita lihat beberapa kemajuan yang dapat di-sebut sebagai perluasan budaya santri atas budaya abangan, sejalan dengan semakin semaraknya kesadaran beragama pada sebagian besar anggota masyarakat. Ada bebe-rapa faktor yang dapat digaris-bawahi sebagai pendukung terhadap perluasan budaya santri ini, seperti:
1. Adanya upaya terus menerus dari para ulama dan intelektual Muslim untuk mem-berikan rumusan doktrin teologis yang mudah diterima dan bisa dijadikan pedoman dalam memperkuat keyakinan. Formulasi instan dalam wacana teologis ini barang-kali pertama-tama diberikan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1929, dalam rumusan Kitab al-Iman. Dengan menggunakan rumusan bahasa Indonesia, di samping teks Arabnya, Kitab al-Iman telah memberikan kemudahan kepada masya-rakat luas untuk memahami doktrin pokok keyakinan ini. Begitu rumusan dasar ini telah digariskan secara mapan dan dilanjutkan dengan elaborasi beberapa pokok keyakinan berkaitan dengan upaya-upaya pemurnian tauhid oleh tokoh-tokoh yang lain (K.H. Mas Mansoer, A. Hassan, Hamka, dll.), maka tampillah Harun Nasution dengan rumusan teologisnya yang lebih sistimatis dengan muatan-muatan yang lebih kompleks. Upaya-upaya Harun Nasution telah membuahkan sukses besar, terutama karena dukungan kelembagaan yang diberikan oleh IAIN dalam menyebarkan pandangan-pandangan teologisnya yang innovatif. Kedatangan Nurcholish Madjid memperteguh keberhasilan pengembangan wacana teologis yang dipelopori Harun Nasution. Madjid tidak hanya memperbaiki substansi dasar wacana teologis yang diberikan oleh Nasution, tetapi juga memperluas basis wacana tersebut dengan menjabarkan bagaimana menempatkan wacana teologis yang lebih canggih ini dalam konteks budaya Indonesia yang bisa diterima secara luas untuk menunjang proses demokratisasi.
2. Pembaharuan sistim politik yang secara tidak sengaja telah memberikan dukungan terhadap penyebaran budaya santri. Salah satu kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa Orde Baru ialah kebijakan “massa mengambang” (floating mass), yang dengannya partai politik tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas politiknya di tingkat desa. Demi menunjang keberhasilan pembangunan, rakyat di-depolitisir, atau dijauhkan dari persoalan-persoalan politis, kecuali sekali dalam lima tahun, yaitu dalam pemilihan umum. Bagi ummat Islam, meskipun kebijakan ini dinilai telah merugikan hak-hak politik mereka, mereka tetap mendapatkan manfaat tersendiri, yaitu dengan semakin berkurangnya konflik-konflik ideologis yang ditim-bulkan oleh perbedaan afinitas ideologis-primordial. Demikian pula halnya dengan kebijakan asas tunggal yang semula banyak ditentang, ternyata masih bisa memberikan dampak positif tersendiri bagi ummat Islam berupa terciptanya kohesifitas ummat. Dalam masa seperti itu, tidak ada lagi satu partai Islam pun yang secara legitimate bisa mengklaim ideologi partainya sebagai satu-satunya representasi Islam di Indonesia. Lebih dari itu, seperti telah disinggung di atas, tidak ada lagi ancaman politis bagi warga masyarakat untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang sebenarnya. Menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang taat sudah tidak perlu dicap sebagai orang yang fanatik, sehingga semakin banyak pula orang yang tidak ragu-ragu untuk menyatakan keislamannya, baik di tempat kerja, ruang publik maupun di tempat-tempat rekreasi.
3. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama. Perbaikan dalam bidang pendidikan agama sangat besar sekali peranannya dalam mengembangkan budaya santri ini. Semua siswa pada seluruh tingkat pendidikan diharuskan mengikuti pelajaran agama, termasuk dalam pendidikan umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Perguruan Tinggi juga semakin menunjukkan kepeduliannya terhadap kepentingan mahasiswanya dalam mengamalkan perintah agama atau memperdalam pengetahuan agama mereka. Banyak dana telah dihimpun untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaan di kampus ini. Oleh karena itu tidak heran jika justru dari perguruan-perguruan tinggi umum inilah tampil banyak pemimpin agama atau muballigh yang tekenal secara luas, seperti Imaduddin Abdurrahim, Jalaluddin Rahmat, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan M. Amien Rais, sekedar menunjuk beberapa contoh.
4. Intensifikasi pelaksanaan dakwah Islam. Kegiatan dakwah yang semakin intensif telah memenuhi sebagian besar keinginan masyarakat untuk memperkaya pengeta-huan agama mereka. Dakwah yang bersifat fleksibel dan disajikan dengan berbagai variasi ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan budaya santri. Tampaknya dengan intensifikasi pelaksanaan dakwah ini pula sisa-sisa animisme, takhayul dan khurafat semakin terkikis. Salah seorang pengamat Barat yang mengkaji tentang tradisi slametan menunjukkan bahwa pelaksanaan dakwah yang intensif telah ikut berperan dalam mengurangi sisa-sisa animisme dalam tradisi slametan ini. Slametan yang tadinya merupakan ritual pemberian sesaji kepada kekuatan ghaib untuk mendapatkan perlindungan dari segala bencana atau mala-petaka, menurut Eldar Braten, sudah semakin diwarnai oleh unsur-unsur keislaman. Bahkan istilah slametan sekarang sudah banyak ditinggalkan, diganti dengan istilah tahlilan, suatu terminologi yang bersumber dari doktrin Islam. Oleh karena itu, terlepas dari makna simbolis dari makanan yang disajikan (ini pun juga sudah semakin jauh dari makna animistis), slametan sudah semakin dekat dengan tradisi yang diakui oleh Islam. Demikian pula halnya dengan tradisi ziarah qubur yang tadinya lebih kental dengan simbol-simbol animistis berupa pemujaan kepada arwah nenek moyang untuk mendapatkan berkah, wangsit dan pangestu dengan memberi-kan sesaji tertentu, sekarang sudah semakin banyak ditinggalkan. Dengan semakin dalamnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran agamanya, sekarang ziarah qubur tidak lagi dimaksudkan untuk mendapatkan berkah tetapi sekedar untuk mendoakan ahli kubur atau mengingatkan seseorang akan akhir kehidupan duniawinya. Dengan kata lain, orientasi keagamaan yang bersifat animistis dengan “memuja” nenek moyang telah berubah menjadi lebih dekat kepada doktrin Islam yang sebenarnya, dengan mereorientasikan keyakinan mereka kepada Allah semata. Namun yang lebih penting lagi ialah suatu kenyataan bahwa nama Allah lebih banyak disuarakan dan disebut dalam kehidupan sehari-hari, lewat pengeras suara di masjid-masjid, pengajian umum, dan oleh anak-anak yang belajar membaca kitab suci al-Qur’an.
Dengan gambaran seperti di atas, tampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya Islam di Indonesia, secara teologis, sudah berkembang semakin positif. Semakin banyaknya anggota masyarakat Muslim yang menyadari perlunya meninggalkan tradisi-tradisi lama yang tidak memiliki dasar dalam sumber doktrin Islam merupakan cerminan dari perluasan budaya santri di atas budaya abangan. Kondisi seperti ini pula kiranya yang menjadi perhitungan pihak-pihak pengambil keputusan dalam bidang politik semenjak beberapa waktu yang lalu. Ummat Islam sebagai konstituen terbesar di tanah air, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, layak menda-patkan perhatian secara proporsional dari setiap penentu kebijakan. Mungkin atas dasar pertimbangan seperti ini pula bahwa pemimpin partai pemenang pemilu 1999 yang lalu harus meluruskan persepsi bahwa nasib ummat Islam di Indonesia sebetulnya tidak hanya menjadi perhatian dan kepedulian partai-parati berlabel Islam semata, tetapi juga harus menjadi kepedulian seluruh partai yang memiliki kesadaran terhadap perlunya mempertahankan kesatuan atau integritas bangsa.
Paska Reformasi?
Sekarang, bagaimana kita melihat perkembangan lebih lanjut dari semua prestasi yang pernah dicapai seperti diuraikan di atas? Kalau kita semua sepakat bahwa hilang-nya sekat-sekat sektarianisme sebagai suatu prestasi yang layak kita syukuri bersama serta mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi perkembangan Islam, maka sejauh mana kondisi sekarang ini mendukung “prestasi” tersebut. Bisakah suasana saling akrab dan ramah menyapa antara sesama Muslim di Indonesia yang pernah terbina sebelum ini kita wujudkan kembali? Atau, gambaran apa yang sebenarnya lebih tepat kita gunakan untuk mendeskripsikan hubungan antar ummat Islam sekarang ini, setelah gelombang reformasi berjalan selama kurang lebih empat tahun? Apakah suasana saling menghujat, bahkan seruan yang amat ekstrim “menghalalkan darah” orang Islam lain—karena perbedaan visi politik—itu bukan merupakan titik balik dari semua upaya membangun Islam yang inklusif selama ini? Masih bisakah kita temukan sisa-sisa pengakuan atas hak-hak asasi orang lain untuk mengemukakan aspirasinya tanpa merasa terancam keselamatannya oleh kelompok yang merasa dominan? Indonesia yang diklaim sebagai negara hukum—bukan negara kekuasaan—tampaknya semakin jauh dari idealisme seperti itu jika kita mengacu kepada perkembangan yang terjadi belakangan. Ketidak mampuan suatu kelompok untuk melihat adanya perbedaan tampaknya akan membalik-kan kita semua kepada suatu masa di mana segala sesuatu harus seragam (pakaian, ideologi, wacana, dan bahkan mungkin pola fikir), dan menyalahi keseragaman adalah hambatan yang harus dimusuhi, bahkan kalau perlu dibasmi.
Kembali kepada “arus balik” yang disuarakan oleh Pramoedya Ananta Toer di awal uraian ini, ada semacam kekhawatiran bahwa semangat itu sekarang sedang ditum-buhkan oleh mereka yang berkepentingan. “Arus balik” bisa dimunculkan untuk suatu kepentingan tertentu dan dengan menggunakan berbagai pretext, termasuk upaya-upaya dekonstruksionisme yang menjiwai postmodernisme atau post-tradisionalisme. Apakah memang arah itu yang sedang ditempuh dalam perjalanan bangsa kita ke depan? Mudah-mudahan asumsi ini tidak benar, dan barangkali akan sangat bijak jika kita ikuti suatu seruan untuk memelihara hal-hal yang baik dari khazanah masa lalu yang mendatangkan manfaat, sementara kita juga bersikap akomodatif dan terbuka terhadap hal-hal baru yang sekiranya akan mempersegar semangat kita untuk berinovasi dalam menyongsong masa depan. Pengakuan dan kesa-daran bahwa pluralisme adalah suatu keniscayaan sejarah seharusnya dapat membim-bing kita kepada kedewasaan untuk mempercepat proses demokratisasi. Perkembangan Islam yang telah diupayakan sebagai agama yang ramah, santun dan mengayomi hendaknya terus kita pertahankan, bukan lagi Islam—meminjam istilah Akbar S. Ahmed—yang diasosiasikan dengan ancaman bom, keberingasan, pembakaran atau pengrusakan.
Memang harus diakui bahwa, seperti yang dikemukakan oleh Drewes dalam kutipan di awal tulisan ini, sampai saat ini pun proses Islamisasi di Indonesia masih belum final. Islamisasi di tanah air kita masih terus berlangsung; bukan hanya dalam pengertian bahwa Islam terus menyebar kepada masyarakat pagan, tetapi juga bahwa anggota masyarakat yang telah mengaku menganut agama Islam sejak berpuluh-puluh atau bahkan beratus tahun yang lalu sekarang semakin sadar akan perlunya memenuhi standar kehidupan yang lebih Islami. Setidak-tidaknya hal tersebut tercermin dalam penampilan simbolis yang semakin semarak. Namun yang simbolis itu masih belum cukup, meskipun sudah lebih baik. Ada yang lebih essensial dari sekedar menampakkan simbol, yaitu mewujudkan kommitmen keagamaan dalam kehidupan yang lebih kongkrit dalam bentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial, serta perilaku keaga-maan yang lebih cerdas. Dalam euforia reformasi yang masih terus menggelora, kita tidak boleh kehilangan momentum untuk meningkatkan kualitas kehidupan bergama ini. Kommitmen kita pada ajaran-ajaran Islam harus dapat kita wujudkan dalam upaya memperkokoh semangat menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih positif.
Kesadaran atau komitmen terhadap kebenaran agama harus kita refleksikan dalam mencegah segala bentuk penyimpangan baik dalam perilaku sosial, praktek-praktek ekonomi maupun perilaku politik berupa penyalah-gunaan kekuasaan. Untuk itu perlu diingatkan kembali seruan salah seorang pemimpin nasional kita, Dr. M. Amien Rais, beberapa tahun yang lalu tentang perlunya menjunjung tinggi supremasi moral, dengan menjadikan moralitas sebagai “panglima.” Korupsi, kebiasaan menyuap, kolusi dan nepotisme yang benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan ini harus dihentikan, kalau kita menghendaki tegaknya supremasi hukum. Untuk itu, seperti yang dianjurkan oleh M. Amien Rais lagi, sistim moralitas yang lembek harus segera ditinggalkan, diganti dengan sistim atau tatanan moralitas yang tegas dan rigid. Dengan tatanan moralitas yang tegas dan rigid inilah kiranya batasan halal dan haram itu diakui dengan tegas, sehingga hal-hal yang dalam istilah agama disebut syubuhat itu akan dengan mudah dijauhi. Namun sistim moralitas yang tegas itu tampaknya tidak akan terwujud kalau landasan teologisnya tidak kuat. Dengan kata lain, untuk mewujudkan tatanan moralitas yang tegas diperlukan adanya sandaran teologis yang tegas pula. Untuk itu, teologi al-Asy’ari yang telah berabad-abad dijadikan anutan oleh kalangan ummat Islam Sunni, termasuk yang di Indonesia, perlu ditinjau ulang, terutama karena sifatnya yang permissive dan terlalu toleran terhadap pelanggaran norma-norma agama dan moral. Memang untuk menjadi Muslim, pertama-tama orang hanya dituntut untuk mengucapkan syahadat. Namun sebagai seorang Muslim ia selanjutnya dituntut untuk menjalankan syari’at agamanya, mengikuti semua doktrin teologis dan menunjukkan kommitmennya terhadap tatanan moralitas yang diajarkan oleh agama ini.
Theistic Subjectivism –Rationalistic Objectivism
Kiranya sudah tiba saatnya bagi ummat Islam di Indonesia untuk mengarahkan perhatiannya kepada teologi rasional sebagai landasan untuk menegakkan tatanan moralitas yang lebih tegas. Moralitas lembek (soft morality) dan permissive yang biasa dikaitkan dengan teologi al-Asy’ari telah sering disalahgunakan untuk mentolerir berba-gai bentuk penyimpangan dalam perilaku sosial seseorang maupun dalam kegiatan- kegiatan ekonomi dan politik. Moralitas lembek juga tak mampu berbuat banyak untuk mengembangkan upaya-upaya meningkatkan disiplin pribadi seseorang. Ini terutama karena lemahnya rasa tanggungjawab manusia dalam sistim “teologi permissive” al-Asy’ari yang mendasarinya. Teologi al-Asy’ari yang banyak dianut oleh ummat Islam Indonesia (termasuk kaum modernisnya) lebih menyandarkan segala keputusan kepada kehendak Allah yang Maha Kuasa. Oleh karena itu sistim moralitas yang dibangunnya pun bersifat “theistic subjectivism.” Sebutan “subjektivisme” dipakai untuk menunjuk-kan bahwa setiap nilai atau kualitas dari suatu tindakan ditentukan oleh “kemauan” subjek yang menghendaki terjadinya tindakan itu, baik berupa perintah, pernyataan, anjuran, larangan ataupun persetujuan dan ketidak-setujuan. Ia juga disebut “theistic” karena subjek dimaksud adalah Tuhan sendiri. Pemahaman teologi seperti ini kurang memberi tempat yang tegas pada tanggungjawab manusia atas tindakan-tindakan yang dilakukan. Bahkan secara arbitrer, orang yang menganut faham teologis seperti ini merasa tidak bersalah atas suatu tindakan yang merugikan orang lain, dengan alasan “tidak sengaja” atau menganggap tak ada jalan lain untuk memenuhi keinginannya. Dengan begitu ia dengan enaknya merasa tak bersalah dan ingin bebas dari segala tuntutan atau tanggungjawab serta tidak peduli dengan akibat kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh tindakannya itu atas diri “korban”-nya. Dalam lingkungan masyarakat yang cukup kental warna “feodalisme religious”-nya sikap theistic subjectivism mendapat lahan yang subur untuk berkembang, karena tokoh-tokoh tertentu dianggap memiliki otoritas lebih untuk berbicara tentang atau atas nama agama, tanpa kritik dari pengikut mereka. Lebih lanjut, “feodalisme religious” sering berkembang menjadi “spiritual slavery,” suatu bentuk penghambaan spiritual bukan kepada Tuhan yang menjanjikan kebebasan individu, tetapi suatu penghambaan kepada sesama manusia atas keunggulan otoritas spiritual yang diklaimnya.
Lawan dari theistic subjectivism adalah “rationalistic objectivism.” Dalam pan-dangan rationalistic objectivism, setiap tindakan, baik yang dilakukan oleh manusia maupun Tuhan, memiliki nilai etisnya tersendiri secara objektif. Baik dan buruk bukan ditentukan oleh adanya perintah dan larangan dari Tuhan semata-mata, tetapi karena karakteristik dari perbuatan itu sendiri. Karena nilai baik dan buruk adalah suatu entitas yang objektif, dia tidak bisa berubah sekedar karena adanya keinginan, pernyataan atau pemikiran pihak luar yang ingin melakukan value judgement, sekalipun yang meng-hendaki seperti itu adalah Tuhan sendiri. Sebagai contoh, berbuat adil itu adalah baik bukan karena Tuhan memerintahkan manusia berlaku adil, tetapi semata-mata karena nilai-nilai objektif dari kebaikan yang terkandung dalam keadilan itu sendiri. Jadi keadilan itu baik bukan karena hal itu diperintahkan oleh Tuhan, tetapi karena karakter perbuatan itu sendiri dan nilai-nilai objektif yang tekandung di dalamnya.
Karena nilai baik-buruk adalah suatu hal yang objektif, maka manusia, sesuai dengan prinsip al-lutf yang memungkinkan adanya taklif dari Allah, harus mampu menemukannya sendiri dan menjadikannya pedoman dalam perilaku sosialnya. Lebih dari itu, karena baik dan buruk semata-mata tidak ditentukan oleh “kehendak subjektif” dari Tuhan, maka manusia memiliki tanggungjawab yang penuh atas semua tindakan yang dilakukannya. Ia tidak mudah melemparkan tanggungjawab atas kesalahan yang ditimbulkan oleh perbuatannya kepada pihak lain dengan alasan “tidak sengaja,” atau karena adanya “hambatan” dan “keterpaksaan” yang tak mungkin dihindari. Hidayat Ilahi dalam konteks ini lebih berfungsi sebagai upaya mempermudah proses penyadaran tentang nilai-nilai baik-buruk yang bersifat objektif itu. Oleh karena itu, jika kesadaran teologis yang seperti ini dapat kita wujudkan dalam sikap hidup seorang Muslim, maka moralitas yang lebih tegas akan dapat kita tegakkan dan pengaruh negatif dari moralitas yang lembek akan mudah dieliminir, sehingga akhirnya moralitas benar-benar dapat kita jadikan sebagai “panglima.”
Kilas Balik
Secara simbolis, Islam di Indonesia paska reformasi sudah berkembang jauh lebih dinamis dibandingkan masa-masa sebelumnya. Namun dari sisi komitmen teologis dapat dikatakan kualitasnya masih belum banyak berubah. Berbagai wacana memang telah berkembang amat pesat, baik yang bercorak fundamentalis, liberal, maupun yang cenderung kekiri-kirian. Demikian pula halnya dengan semangat mengekspresikan nilai-nilai keagamaan pada level simbolis-institusional. Wanita Muslimah berjilbab sudah sangat umum, masjid dibangun hampir di setiap sudut kampung, dan semangat pergi haji atau umrah mengalahkan perhitungan-perhitungan ekonomis riel, dan bukan sekedar memenuhi tuntutan menjalankan kewajiban agama semata. Namun di balik realitas luar seperti itu belum nampak adanya peningkatan kualitas kehidupan yang mencerminkan kommitmen kegamaan yang lebih mendalam. Ini dapat dilihat, misalnya, dari kenyataan bahwa meskipun wanita Muslimah telah banyak menggunakan jilbab, namun, pada saat adzan maghrib dikumandangkan, mereka justru memadati supermarket atau pusat-pusat perbelanjaan di kota, sementara masjid yang dibangun di mana-mana hanya diisi oleh satu-dua baris jamaah dan hanya sebagian kecil daripadanya adalah jamaah putri. Meskipun ratusan masjid pada saat-saat sholat fardu masih banyak yang kosong, semangat membangun masjid baru tidak pernah kendor. Ironisnya lagi, pertambahan jumlah masjid di pusat-pusat pemukiman ummat Islam tidak selalu identik dengan menurunnya tingkat dan kualitas kejahatan yang terjadi di lingkungan tersebut. (Inikah yang belakangan ditengarai sebagai merebaknya “gejala STMJ,” sholat terus, maksiat [tetap] jalan?).
Beberapa pengamat Barat terkagum-kagum dengan dinamika Muslimah di negeri kita. Meskipun mereka tetap berjilbab dengan amat rapi, mereka tidak kurang lincah dan trampil dalam kehidupan sosial dan aktifitas publik, termasuk …. mengemudikan mobil sendiri di jalan raya. Hal seperti itu, kata pengamat Barat tersebut, tak mungkin mereka dapati di Timur Tengah atau di Pakistan. Namun mereka, para pengamat Barat itu, mungkin saja tidak memperhatikan bagaimana sebagian mahasiswi di perguruan tinggi Islam negeri (yang berjilbab) itu berboncengan sepeda motor dengan laki-laki yang belum tentu muhrimnya dengan mempertontonkan kemesraan, layaknya sedang berpa-caran. Dalam beberapa hal, jilbab yang mereka kenakan pun belakangan lebih nampak sekedar formalitas saja dan belum menunjukkan semangat yang semestinya dari makna jilbab yang mereka kenakan itu. Belum lagi jika dipertimbangkan kehidupan kampus UIN/IAIN/STAIN yang sering ditengarai semakin “liberal,” bukan hanya dalam pemikiran, tetapi juga dalam soal kebebasan hubungan sesama mahasiswanya, antara yang laki-laki dan perempuan. Beberapa kasus pelanggaran norma hubungan lelaki-perempuan yang terjadi di antara sesama penghuni kampus sering mencuat tanpa bisa ditutup-tutupi lagi.
Sementara upaya-upaya mencerdaskan kehidupan beragama terus digalakkan melalui perguruan-perguruan tinggi agama sampai ke tingkat magister dan doktoral, seorang tokoh yang bertitel haji di daerah jalur Pantura Jawa mengembangkan bisnisnya dalam pelayanan jasa bagi mereka yang memerlukan berbagai jenis azimat, khizib, mantra, rajah, mahabbah dan lain-lainnya, dengan memasang iklan yang cukup besar di sebuah koran lokal. Kepatuhan anggota masyarakat terhadap hukum, seperti kita ketahui bersama, juga sangat memprihatinkan, seolah-olah agama yang katanya menji-wai kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak ada pengaruhnya sama sekali pada penyadaran akan perlunya mentaati kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Bahkan terdapat kecenderungan untuk menafikan hukum dengan sering bertindak main hakim sendiri. Daftar ini tentu bisa dibuat lebih panjang lagi dengan mencatat semua bentuk paradoksi dari semaraknya kehidupan beragama paska reformasi.
Contoh-contoh kejadian seperti ini sepertinya telah membenarkan suatu sinyale-men bahwa adanya setumpuk norma dan sederet khotbah agama tidak menjamin sese-orang menjadi lebih baik akhlaqnya dan menjadi seorang yang agamis. Hal ini, seperti diungkap oleh Dr. Komaruddin Hidayat, antara lain karena yang menggerakkan perilaku seseorang bukan setumpuk kaidah agama yang diceramahkan lewat pengajian, radio atau TV, tetapi emosi dan nilai-nilai yang telah terinternalisasi ke dalam sistim bawah sadar seseorang, yang merupakan akumulasi dari kebiasaan, cita-cita dan naluri instingtif manusia. Wacana dan retorika keagamaan bisa saja memenuhi ruang angkasa dan dunia percetakan. Tetapi sepertinya tidak banyak dari retorika moral kegamaan itu yang cukup meresap dan menjiwai perilaku kehidupan ummat. Ini karena yang mengisi lapisan bawah sadar masyarakat kita adalah emosi dan imajinasi lain yang justru bersebarangan dengan norma-norma agama yang banyak diceramahkan tersebut.
Kalau paradoksi-paradoksi seperti ini terus bertambah, maka apa yang terjadi sekarang menunjukkan bahwa perkembangan kehidupan beragama di Indonesia belum terlalu jauh berbeda dari gambaran yang diberikan oleh Ki Jurumartani yang dikutip pada permulaan tulisan ini.… “clad in a Muslim attire to incite their admiration, but fill the heart beyond that attire with new fascinating legends instead of with the exhortations of the walis.” Artinya, to a certain degree, Islam di Indonesia masih diterima secara superfisial. Islam sebagai sistim keyakinan hanya berfungsi sebagai “wadah” dari “isi” tradisi Jawa yang kental dengan unsur-unsur budaya lama. Mudah-mudahan ini tidak harus diartikan bahwa “to be a Javanese does not necessarily means to be a Muslim, but merely an abangan,” suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan yang terjadi di Malaysia, bahwa “to be a Malay equally means to be a Muslim.”
BIBLIOGRAPHY
Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise. London and
New York: Routledge, 1992.
Benda, Harry J. “Christian Snouck Hurgronje and Foundation of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” dalam Ahmad Ibrahim et al. (eds.), Readings on Islam in Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985, h. 61-69.
Berg, C.C. “The Islamization of Java.” Studia Islamica, vol. 1 (1953), h. 111-142.
Braten, Eldar. “To Colour, Not Oppose: Spreading Islam in Rural Java,” in Leif Manger
(ed.), Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts. Surrey, England:
Curzon Press, 1990, h. 150-172.
Cederroth, Sven. “Indonesia and Malaysia,” dalam David Westerlund dan Ingvar
Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World. New York: St. Martin’s Press,
1999, h. 253-277.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glenco, 1960.
Hidayat, Komaruddin. “Menimbang Harga Diri Bangsa,” Kompas, 6 Maret 2001, h. 4-5.
Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al-Jabbar. Oxford:
Clarendon Press, 1971.
--------. “Divine Justice and Human Reason in Mu’tazilite Ethical Theology,” dalam
Richard G. Hovannisian (ed.), Ethics in Islam. Malibu: Udena Publications,
1983, h. 73-83.
Ibrahim, Ahmad et al (eds.) Readings on Islam in Southeast Asia Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 1985.
Koentjaraningrat, “Javanese Terms for God and Supernatural Beings and the Idea of
Power,” dalam Ahmad Ibrahim et al (eds.), Readings on Islam in Southeast Asia Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985.
Liddle, R. William. Leadership and Culture in Indonesian Politics. Sydney: Asian
Studies Association of Australia, 1996.
--------. “Skripturalisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik
Islam di Indonesia Masa Orde Baru,” dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali-
Fauzi. Bandung: Mizan, 1998, h. 283-311.
Ma’arif, A. Syafii. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Martin, Richard C. et al., Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval
School to Modern Symbol. Oxford: Oneworld, 1997.
Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1983.
Pranowo, Bambang. Islam Faktual antara Tradisi dan Relasi Kuasa. Jakarta: Adi Cita,
1999.
Radar Yogya – Jawa Pos, 27 Februari 2001.
Rais, M. Amien. Refleksi Amien Rais dari Persoalan Semut sampai Gajah. Jakarta:
Gema Insani Press, 1997.
--------. “Panglima.” Republika Online, http://www.rad.net.id/republika/9603/14, 14 Maret
1996.
Ricklefs, M.C. “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (ed.),
Conversion to Islam. New York: Holmes and Meier, 1979, h. 100-128.
Saleh, Fauzan. Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century
Indonesia. Leiden: E.J. Brill, 2001.
Simon, Gottfried. The Progress and Arrest of Islam in Sumatra. London: Marshall
Brothers, 1912.
Toer, Pramoedya Ananta. Arus Balik: Sebuah Novel Sejarah. Jakarta: Hasta Mitra,
1995.
Wertheim, W.F. Indonesian Society in Transition: A Study in Social Change. The
Hague: W. van Hoeve, 1964.
Westerlund, David dan Ingvar Svanberg (eds.), Islam Outside the Arab World. New
York: St. Martin’s Press, 1999.
Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of
Yogyakarta. Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
--------. (ed.) Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj.
Ihsan Ali-Fauzi. Bandung: Mizan, 1998.
Langganan:
Postingan (Atom)